
BANJARMASIN – Aksi unjuk rasa puluhan mahasiswa yang menolak pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Selatan sempat memanas.
Para mahasiswa dan anggota kepolisian yang mengamankan gedung DPRD Kalsel, sempat terlibat aksi saling dorong. Meski begitu, unjuk rasa tetap berjalan kondusif.
Memanasnya aksi itu, bermula dari dua wakil rakyat yakni Ketua Komisi I DPRD Kalsel Rachmah Norlias dan Anggota Komisi II Karlie Hanafi, meninggalkan para pengunjukrasa mahasiswa.
Karlie dan Rachmah meninggalkan dialog, karena tidak ingin menandatangani lembar perguruan dari mahasiswa tersebut.
“Kami hanya berdua, tidak mewakili lembaga. Kalau pribadi tidak enak dan kalau lembaga tidak cukup,” kilah Karlie Hanafi, usai menemui para mahasiswa tidak jauh dari gedung DPRD Kalsel, Jalan Lambung Mangkurat Banjarmasin, Rabu (14/12) siang.
Namun Karlie mengatakan, wakil rakyat di DPRD Kalsel siap meneruskan tuntutan penolakan KUHP yang diperjuangkan mahasiswa ke DPR RI. “Nanti ada beberapa orang akan ikut menyerahkan tuntutan mahasiswa,” jelasnya.
Politisi Partai Golkar ini mengaku posisinya jadi serba salah, dalam mengambil sikap tentang penolakan KUHP. Karena, menurutnya, ia tidak mengetahui pasal mana saja yang kontroversi, sehingga perlu adanya kajian.
Menurutnya, dewan Kalsel tidak mempunyai otoritas dalam menolak KUHP menjadi lembaran negara. “Karena ini bentuk Undang Undang (UU), maka ini ranah pemerintah pusat,” tambahnya.
Koordinator Wilayah (Korwil) BEM se-Kalsel M Yogi Ilmawan mengatakan, tuntutannya masih sama tentang penolakan pasal bermasalah di KUHP.
BEM Kalsel mencatat sedikitnya ada 60 pasal bermasalah dalam KUHP terbaru. Beberapa di antaranya seperti pasal 218 mengenai penghinaan presiden. Pelaku diancam hukuman tiga tahun penjara. Kemudian pasal 256, ancaman pidana bagi penyelenggara unjuk rasa tanpa pemberitahuan.
Hukumannya yakni enam bulan penjara. Pasal 349; penghinaan terhadap lembaga negara dengan ancaman hukuman penjara 1,5 tahun. Hukuman bisa diperberat apabila dilakukan melalui media sosial.
Terakhir, pasal 603 yang bunyinya koruptor paling sedikit dihukum penjara dua tahun dan maksimal 20 tahun. Selain itu, koruptor dapat dikenakan denda paling sedikit kategori II atau Rp 10 juta dan paling banyak Rp 2 miliar.
Kendati sudah disahkan oleh DPR RI pada 6 Desember lalu, menurut Yogi, upaya untuk menjegal aturan-aturan kontroversial itu masih ada kesempatan. rds