Oleh: Bella Carmila (Aktivis Dakwah)
Ditengah derasnya arus penolakan terhadap beberapa pasal Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), DPR dan Pemerintah justru mensahkannya menjadi Undang-undang dalam rapat paripurna yang digelar di kompleks parlemen pada Selasa, 6 Desember 2022.
“Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengatakan pengesahan ini merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri” (Kanwil Kalbar, 10/12/2022).
Pengacara publik dari LBH Jakarta Charlie Meidino Albajili menyatakan pemerintah dan DPR tak mempunyai itikad baik dan menipu rakyat dengan mengesahkan Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU di tengah gelombang penolakan. Menurut Charlie, RKUHP yang kini telah disahkan menjadi UU cacat prosedur karena partisipasi masyarakat tidak diakomodasi dengan baik dan penuh. (CNN Indonesia, 10/12/2022).
Ketua Umum YLBHI, M. Isnur menyayangkan langkah pemerintah dan DPR yang justru tergesa-gesa ingin mengesahkan RKUHP. Isnur menilai pasal-pasal bermasalah RKUHP seharusnya diselesaikan terlebih dahulu oleh pemerintah. Ia melihat masukan koalisi masyarakat sipil juga tidak diakomodir oleh DPR. (Tirto.id, 10/12/2022).
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai, upaya buru-buru mengesahkan RKUHP membuktikan tuduhan bahwa pembahasan tidak terbuka, tidak partisipatif, dan tidak bermakna. Ia beralasan, perubahan yang diinisiasi pemerintah tidak dilakukan. Julius menilai, aksi pemerintah sudah seperti ‘kompeni’ di masa kolonial yang tidak mengganggap masyarakat sipil sebagai konstituen yang harus dijunjung tinggi. Masyarakat justru dikhianati dan dibohongi dalam isu RKUHP. Julius menegasan, “Sosialisasi belasan kali, publikasi di tv dan lain-lain jelas tdak mengubah kondisi bahwa penyusunan tidak partisipatif, apalagi bermakna. Perubahan beberapa pasal tidak signifikan.” (Tirto.id, 10/12/2022).
Mengamati dari lika-liku pengesahan RKUHP saat ini, menyiratkan bahwa ada kepentingan lain dibalik pengesahan RUU itu. Terbukti dengan masih banyaknya pihak didalamnya. Namun, pemerintah dan DPR seakan tak memerhatikan pengajuan keberatan dari beberapa elemen masyarakat. Mereka mempercepat pembahasan RKUHP dan segera membawa pada rapat paripurna. Padahal, jikalau kita meresapi lebih dalam. DPR dan pemerintah yang statusnya adalah wakil rakyat, mereka dipilih untuk menjalankan aspirasi rakyat. Artinya, ketika mereka membuat aturan, menurut demokrasi harus memperhatikan kepentingan rakyat. Namun pada kenyataannya ketika masih ada rakyat yang keberatan dengan aturan itu, justru tidak didengarkan.
Dalam prinsip demokrasi yang lain, mengedepankan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Bahkan, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan amanah UU Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Namun, pada praktiknya ternyata berbeda. Ada pasal dalam RKUHP yang dinilai dapat disalahgunakan untuk menggebuk pihak yang kontra terhadap pemerintah. Misalnya, pasal penghinaan presiden atau lembaga pemerintahan lainnya. Aturan yang disahkan bertolak belakang dengan prinsip demokrasi.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa setiap produk buatan manusia memiliki keterbatasan. Akal sebagai alat pembuat aturan tak mampu mengakomodir kebutuhan setiap rakyat. Secara otomatis, jika kita hanya bersandar pada akal manusia maka akan melahirkan perbedaan pendapat. Ini membuktikan kelemahan demokrasi secara nyata.
Sistem politik demokrasi di atas asas liberalisme telah memberikan wewenang penuh pada manusia untuk membuat UU yang mengatur seluruh aspek kehidupan sesuai kehendak mereka. Karena itu, KUHP yang disahkan adalah produk akal manusia yang dilegalisasi oleh negara. Inilah yang sejatinya menjadi akar perdebatan yang sering terjadi setiap pemerintah akan mengesahkan sebuah aturan perundang-undangan. Karena itulah, RKUHP atau UU lainnya sangat mudah direvisi sesuai kehendak yang sedang berkuasa. Proses panjang yang dialami RKUHP mengindikasikan bahwa hukum yang dibuat manusia dapat dengan mudah diutak-aik sesuai kepentingan yang ingin diraih. Disinilah potensi penyalahgunaan kekuasaan itu terjadi. Sekalipun ada lembaga yang mengawasi, hal itu tidaklah menjamin UU yang dihasilkan bebas dari kepentingan kekuasaan.
Aturan sistem demokrasi juga bertujuan untuk mengokohkan kekuasaan rezim yang berkuasa. Saking lenturnya, pasal-pasal karet kerap dijadikan alat untuk membungkam lawan politik penguasa. Alhasil, UU produk sistem politik demokrasi tidak akan mampu menjawab persoalan yang sedang masyarakat hadapi. Aturan yang ada justru menambah ruwet persoalan bahkan menimbulkan persoalan baru. Oleh karenanya tidak ada jalan lain selain mengubah secara total sistem politik demokrasi dengan sistem politik Islam.
Dalam sistem Islam, aturan yang diterapkan adalah syariat Islam. Legalitas UU yang dihasilkan bersumber dari Al-Quran dan as-Sunnah. Sebab hak membuat hukum hanyalah milik Allah. Manusia tidak berhak membuat dan menyusun aturan sendiri. Sebagaimana firman Allah SWT,
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus” (Q.S. Yusuf: 40).
Dari ayat ini sangatlah jelas, bahwa manusia hanyalah pelaksana hukum Allah. Dimana wewenang tersebut diberikan kepada Khalifah sebagai pemimpin negara. Adapun keberadaan wakil rakyat yang disebut sebagai majelis umat dalam Islam bertugas untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, menerima keluhan masyarakat untuk disampaikan kepada penguasa dan memberi masukan kepada khalifah meski masukan tersebut tidak mengikat. Majelis umat tidak memiliki wewenang membuat dan menyusun UU seperti halnya wakil rakyat dalam sistem demokrasi. Karena itu, tidak akan terjadi politik transaksional untuk meloloskan UU pesanan pihak tertentu. Karena aturan yang berlaku adalah hukum Allah, maka aturan tersebut tidak berpeluang untuk berubah-ubah mengikuti kehendak manusia.
Wallahu’alam..