Kamis, Agustus 21, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

RKUHP: Ikhtiat Menasionalkan Hukum Kolonial

by matabanua
6 Desember 2022
in Opini
0
D:\2022\Desember 2022\7 Desember 2022\8\8\achmad muhalis.jpg
Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar, S.H., CFLS., CPSP.(Mahasiswa Magister Hukum Universitas Mulawarman)

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) saat ini telah masuk pada tahap draf final. Draf yang mengandung 627 Pasal ini pun telah diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia Ke 7, Bapak Joko Widodo yang nantinya akan disahkan. Dalam catatan perjalanannya, RKUHP ini telah menjadi penantian panjang yang agaknya segera berakhir. DPR dan Pemerintah telah memasang target untuk disahkan dalam waktu dekat, melansir Harian Tempo, RKUHP diproyeksikan akan disahkan menjadi Undang-Undang sebelum masa reses anggota DPR. Perlu diketahui kalau masa reses akan masuk pada tanggal 15 Desember 2022 mendatang. Bila tidak terjadi perubahan maka tinggal menghitung hari saja akan lahirnya KUHP baru di Indonesia.

Proses Wetboek van Strafrecht menjadi KUHP di Indonesia

Artikel Lainnya

Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Krisis Gaza (Pelaparan Sistemis) dan Momentum Kebangkitan Umat

20 Agustus 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Wisata Gunung Kayangan: Pesona Alam Terbengkalai

20 Agustus 2025
Load More

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan induk dari peraturan hukum pidana di Indonesia. Dalam catatan sejarahnya, KUHP ini mulanya bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch (WvSN) yang kemudian diberlakukan dan diterapkan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) berdasarkan asas concordantie yang termuat pada Regerings Reglement dan Pasal 131 Indische Staatsregeling. WvSNI ini berlaku di Hindia Belanda (sebutan Indonesia kala itu) sejak 1918. Sebagaimana diketahui bersama, setelah mengalami penjajahan oleh Belanda, Indonesia dijajah kembali oleh bangsa Jepang dan pada zaman pendudukan Jepang ini WvSNI tetap diberlakukan dengan dasar Osamu Serei (Undang-Undang) Nomor 1 Tahun 1942.

Pasca pendudukan Jepang berakhir dikarenakan telah takluk pada pemerintah sekutu, Belanda sebagai salah satu dari anggota pemerintahan sekutu pun kembali datang ke Indonesia dengan hajat menjajah lagi dan pada periode WvSNI diberlakukan kembali. Setelah memberikan perlawanan terhadap agresi Belanda, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan menjadi Negara Republik Indonesia. Akan tetapi, lahirnya UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana, WvSNI masih tetap diberlakukan, hanya saja semua perkataan “Nederlandsch Indie” atau “Nederlandsch-Indisch(e) (en)” harus dibaca “Indonesia”. Selanjutnya sebutan “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie” diubah menjadi “Wetboek van Strafrecht” dan dengan tegas disebutkan produk hukum tersebut dapat disebut juga “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”.

Tidak tersedianya KUHP Indonesia yang Resmi

Panjangnya proses pemberlakuan Wetboek van Strafrecht hingga berganti nama menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang kita kenal dengan KUHP dewasa ini, tidak dapat membantah fakta sejarah tersebut kalau Negara kita meskipun telah merdeka dari kolonialisme hingga detik ini ternyata masih memberlakukan produk warisan dari Belanda. Upaya/ikhtiar awal untuk membuat KUHP Nasional yang baru pertama kali digagas dalam Seminar Hukum Nasional I yang diadakan tahun 1963, kemudian dimulailah merancang RKUHP pada tahun 1970 hingga penghujung tahun 2022 pun masih belum disahkan juga.

Dewasa ini, KUHP atau WvS yang aslinya berbahasa Belanda itu telah banyak diterjemahkan dan ditulis ke dalam bahasa Indonesia oleh para ahli hukum pidana Indonesia. Namun disayangkan, terjemahan-terjemahan tersebut acapkali memiliki perbedaan satu sama lain. Persoalan ini pun disebabkan oleh faktor penguasaan bahasa Belanda serta penguasaan wawasan hukum pidana yang dimiliki oleh penerjemah masing-masing berbeda, misalnya ketika melakukan proses penerjemahan dari KUHP yang berbahasa Belanda menjadi KUHP berbahasa Indonesia, seorang ahli hukum pidana tersebut tidak serta merta menerjemahkan secara bahasa semata melainkan seyogyanya mengetahui serta memahami tentang kondisi sosio budaya dan sosio filosofik dari bangsa tersebut, termasuk juga kondisi sosio politiknya. Hal tersebut dikarenakan suatu sistem hukum pidana pada suatu negara adalah cerminan dari sosio politik dari bangsa tersebut. selanjutnya Pada praktik dilapangan banyak timbul perbedaan pendapat atau penafsiran di kalangan akademik maupun para aparat penegak hukum. Adapun faktor yang menimbulkan persoalan ini dikarenakan tidak tersedianya KUHP Indonesia yang resmi dikeluarkan oleh Pemerintah.

Urgensi Lahirnya KUHP Nasional

Pembaharuan KUHP harus dilakukan, bahkan telah menjadi “harga mati”. Alasan yang mendasar ialah produk ini telah berusia ratusan tahun. Mengapa demikian? saat KUHP dibuat tentu keilmuan Hukum Pidana belum berkembang dan bertransformasi secara teori maupun doktrinal seperti sekarang ini. Begitu pula dengan kondisi-kondisi politik, sosio budaya, dan filosofik yang melatarbelakanginya, tidak selaras dengan Pancasila yang telah menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia.

Bila memperhatikan isi dari Kongres PBB 1976 tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders telah mengingatkan bahwa:

“…hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah usang dan tidak adil (obsolete and unjustices) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal), dikarenakan tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.”

Penggalan isi kongres tersebut dalam rangka melakukan pembaharuan KUHP, tidak boleh terlupakan. Ini perlu ditegaskan karena begitu lamanya sistem hukum pidana hukum kolonial ini berlaku di Indonesia, secara tidak langsung tentu sedikit banyaknya akan mempengaruhi pembelajaran studi hukum pidana di Indonesia. Begitu pun berimplikasi dengan penegakan ataupun penerapan hukum pidana di Indonesia.

Faktor berikutnya yang menjadi urgensi lahirnya KUHP Nasional adalah KUHP yang dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia saat ini tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat Indonesia. Selain itu, persoalan yang sifatnya mendasar menyangkut heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia, baik hukum adat maupun yang bersifat religius belum tersentuh oleh hukum pidana kita sekarang. Kemudian, semakin memprihatinkan lagi, ternyata KUHP yang sekarang diberlakukan merupakan warisan zaman kolonial dan berasal dari civil law system yang lebih menonjolkan paham individualisme, liberalisme dan hak individual yang bertolak belakang 180 derajat dengan Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

Bila dilihat dari sisi praktis mengapa perlu lahirnya KUHP Nasional ialah biasanya bekas-bekas negara jajahan mewarisi hukum yang menjajahnya dengan bahasa orisinilnya, yang kemudian banyak tidak dipahami oleh generasi muda dari negara yang baru merdeka tersebut. Fenomena ini dikarenakan negara yang baru merdeka tersebut ingin menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa kesatuan, sehingga bahasa dari negara penjajahnya hanya dimiliki dan dikuasai oleh generasi yang mengalami penjajahan. Hal ini pun sedang dialami oleh Indonesia yang sedang berupaya mengadakan pembaharuan hukumnya secara menyeluruh.

Dengan demikian, RKUHP saat ini merupakan ikhtiar untuk menasionalkan hukum kolonial di Indonesia. Besar harapan juga dalam Pembentukan RKUHP ini dilakukan dengan partisipasi publik yang lebih bermakna (meaningful participation) yang setidaknya ada tiga prasyarat agar dapat disebut partisipasi publik yang lebih bermakna, yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya; hak untuk dipertimbangkan pendapatnya; dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Partisipasi publik ini diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap rancangan yang sedang dibahas. Apabila partisipasi publik tidak diwujudkan sebagaimana harusnya maka tidak heran akan terjadi penolakan dimana-mana sehingga dipertanyakan lagi untuk apa dan siapa produk ini dibuat yang justru mengkhianati dari semangat untuk memiliki KUHP yang mengandung nilai-nilai keindonesiaan sebagai wujud dekolonialisasi dalam sistem hukum bangsa ini.

 

 

Tags: Ahmad Mukhallish Aqidi HasmarMahasiswa Magister Hukum Universitas MulawarmanRKUHPWvSNI
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA