
Majelis Rendah Parlemen Rusia pada Kamis (24/11/2022) meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang melarang promosi LGBT kepada semua orang dari semua usia. Di bawah RUU itu, setiap peristiwa atau tindakan yang dianggap sebagai upaya untuk mempromosikan LGBT, termasuk melalui online, film, buku, iklan, atau di depan umum dapat dikenakan denda yang berat. Denda bisa mencapai 400.000 rubel (Rp 103 juta) untuk individu dan hingga 5 juta rubel (Rp 1,2 miliar) untuk badan hukum.
Sedangkan untuk orang asing dapat menghadapi 15 hari kurungan dan pengusiran dari negara tersebut. Para kritikus melihat aturan tersebut merupakan upaya untuk lebih mengintimidasi dan menindas kelompok LGBT di Rusia. Sejauh ini, pihak berwenang menggunakan undang-undang yang ada untuk menghentikan pawai gay pride dan menahan sejumlah aktivis LGBT. Dilansir dari Reuters, undang-undang baru itu masih membutuhkan persetujuan dari majelis tinggi parlemen dan Presiden Vladimir Putin.
Sebelumnya, undang-undang tersebut hanya melarang promosi gaya hidup LGBT yang ditujukan untuk anak-anak. Anggota parlemen mengatakan mereka membela nilai-nilai tradisional Rusia, melawan Barat liberal yang mereka katakan bertekad untuk menghancurkannya. Ini jadi sebuah argumen yang juga semakin sering digunakan oleh para pejabat sebagai salah satu pembenaran untuk kampanye militer Rusia di Ukraina.
Di satu sisi, sejumlah aktivis hak asasi manusia menyampaikan bahwa langkah itu dirancang untuk melarang representasi kelompok minoritas seperti LGBT dalam kehidupan publik. “LGBT hari ini adalah elemen perang hibrida. Dan dalam perang hibrida ini kita harus melindungi nilai-nilai kita, masyarakat kita, dan anak-anak kita,” kata Alexander Khinstein, salah satu perancang RUU tersebut, bulan lalu.
Pakar hukum mengatakan ketidakjelasan bahasa RUU memberi ruang bagi penegak hukum untuk menafsirkannya seluas yang mereka inginkan. Hal ini membuat anggota komunitas LGBT dalam keadaan ketidakpastian yang lebih besar. Pihak berwenang telah menggunakan UU yang ada untuk menghentikan pawai kebanggaan gay dan menahan aktivis hak-hak gay. Kelompok hak asasi mengatakan undang-undang baru itu dimaksudkan untuk mendorong apa yang disebut gaya hidup LGBT non-tradisional yang dipraktikkan dari kehidupan publik sama sekali.
Di Rusia, TikTok didenda 3 juta rubel (Rp 777 juta) bulan lalu karena mempromosikan “video dengan tema LGBT”. Sementara itu, regulator media Rusia meminta para penerbit untuk menarik semua buku yang berisi “propaganda LGBT” dari penjualan. RUU tersebut perlu ditinjau oleh Majelis Tinggi Parlemen Rusia dan ditandatangani oleh Presiden Rusia Vladimir Putin sebelum diberlakukan.
Keberadaan dan perkembangan kelompok LGBT tidak terlepas dari perkembangan globalisasi, serangan budaya Barat. Globalisasi telah berkontribusi secara nyata dalam menyebarkan budaya dan identitas kelompok ini. Pergerakan organisasi dan komunitas LGBT di negeri ini pun banyak disokong oleh dana dari lembaga asing, seperti USAID, Aus AID, UNAIDS dan UNFPA, dan lain-lain. Dari sini terlihat jelas sekali bahwa penyebaran LGBT menjadi salah satu agenda Barat, khususnya AS dan Eropa.
Sistem sekuler kapitalisme yang saat ini eksis secara global telah menjamin kebebasan individu untuk berekspresi. Implementasi dari kebebasan ini ada dua. Pertama, setiap individu bebas mengekspresikan keinginannya, termasuk seksualitasnya. Kedua, setiap individu tidak boleh melanggar kebebasan individu lainnya. Sangat nyata, konsep kebebasan ala sekularisme telah menciptakan sifat individualis di tengah masyarakat.
Prinsip kebebasan berekspresi juga telah membungkam rasionalitas masyarakat. Mereka dipaksa memaklumi Penyimpangan sebagai suatu yang “normal”. Kaum pelangi pun sudah tidak malu mengakui dan mengekspos kecenderungan seksualnya yang menyimpang. Seolah kehilangan argumen saat HAM menjadi senjata, pemerintah juga terlihat mandul dan memilih diam, paling banter mengecam. Tidak ada langkah tegas menyikapi hal ini. Padahal, kondisi ini kian parah. Kaum pelangi terus menjajakan konsep-konsep mereka pada kalangan generasi.
Memang ada yang mengatakan bahwa perilaku penyimpangan seksual LGBT karena pengaruh genetis. padahal LGBT bukan bawaan, bukan karena faktor genetik, bukan pula sesuatu yang kodrati. Penyakit ini bisa terjadi karena pengaruh pola asuh orang tua dan lingkungan. Klaim bahwa homoseksual tidak bisa diubah secara psikologis juga keliru besar. Faktanya, penyakit ini bisa diobati dan disembuhkan jika memang punya niatan kuat untuk sembuh.
Akar masalah legalisasi perilaku menyimpang ini adalah karena paradigma sistemis. Oleh karenanya, penting mengkritisi hal ini dari sistem yang sedang berjalan. Kebebasan berkedok HAM telah menjadi senjata ampuh untuk membungkam nalar kritis terhadap perilaku menyimpang. Sistem sekuler kapitalisme sebagai induk dari paham kebebasan inilah yang harus kita kritisi juga. Selama ide kebebasan ini terus bercokol di benak masyarakat, selama itu pula negara mandul menyelesaikan permasalahan ini.
Penyimpangan seksual juga tidak bisa sekadar diserahkan dalam konteks kebebasan individu karena berefek domino dalam lingkup pergaulan sosial di masyarakat. Telah terbukti bahwa perilaku menyimpang kaum sodom ini menginjeksi generasi. Seumpama penyakit menular, penyimpangan orientasi seksual yang mereka miliki dapat tertular ke orang lain. Di sisi lain,dalam kajian kesehatan, kelompok LGBT adalah kelompok yang berisiko terkena penyakit seksual seperti HIV/AIDS. Melihat kondisi ini, negara harus bertindak untuk menyelamatkan generasi.
Benarlah nasihat Imam Al-Ghazali bahwa agama dan kekuasaan saling memiliki keterkaitan. Agama adalah dasar (fondasi) dan penguasa merupakan penjaganya. Sesuatu yang tanpa fondasi akan roboh dan suatu fondasi tanpa penjaga akan hilang. Ketika saat ini negara bersikap sekuler liberal dengan membiarkan konten LGBT di media sosial, syariat tentang keharaman LGBT pun ditegakkan. Kaum yang dilaknat Allah Swt. ini juga bebas mempertontonkan gaya hidupnya dan didukung oleh media yang juga sekuler liberal.
Kelompok LGBT leluasa mengampanyekan perilaku liberalnya karena negara menerapkan sistem demokrasi yang melindungi kebebasan berpendapat dan bertingkah laku. Akhirnya, meski aktivitas LGBT haram secara agama, tetapi legal menurut demokrasi. Tidak hanya legal, mereka bahkan boleh mempromosikan gaya hidup rusaknya kepada masyarakat. Dengan demikian, sungguh sulit berharap dihapuskannya konten LGBT dalam sistem ini.
Demokrasi menjadikan manusia sebagai pembuat hukum/aturan sehingga hasilnya adalah aturan yang mencampakkan agama dan memuja kebebasan. Padahal, aktivitas LGBT haram berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah. Allah Swt. berfirman dalam QS Al-A’raf: 80—81,
“Dan (Kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya, ‘Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.’”
Rasulullah saw. juga bersabda, “Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth, beliau sampaikan sampai tiga kali.” (HR Ahmad)
Syariat pun menetapkan sejumlah syariat yang menjaga interaksi, baik laki-laki dengan perempuan, maupun interaksi sesama jenis. Islam bukan hanya menjelaskan batasan aurat antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga batasan aurat antarsesama jenis. Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak boleh bagi seorang laki-laki melihat aurat laki-laki dan wanita melihat aurat wanita. Dan tidak boleh seorang laki-laki dengan laki-laki dalam satu selimut dan wanita dengan wanita lainnya dalam satu selimut.” (HR Muslim)
Keharaman LGBT sudah demikian jelas, tetapi di bawah sistem demokrasi, keharaman tersebut diabaikan. Aktivitas LGBT dibiarkan dan bahkan dilindungi oleh undang-undang atas Hak Asasi Manusia (HAM). Demikianlah, demokrasi telah menghasilkan hukum/aturan yang melindungi LGBT. Realitas negara demokrasi ini sungguh berbeda dengan negara Islam (Khilafah). Berdasarkan Islam, kedaulatan adalah di tangan syarak. Allah Swt. adalah satu-satunya yang bertindak sebagai musyarri’ (pembuat hukum).
Negara berperan besar dalam menjaga fitrah manusia sesuai jenis kelamin. Untuk menjaga sehatnya kehidupan sosial masyarakat, negara wajib menjaga masyarakat agar interaksi yang terjadi tetap dalam koridor syariat. Adanya aplikasi-aplikasi kencan memberikan peluang terjadinya interaksi menyimpang. Dalam tataran fakta, para pelaku penyimpangan seksual mencari mangsa via aplikasi digital.
Demikian pula konten-konten dan sirkulasi informasi dari apa pun yang beraroma LGBT. Bukan satu dua kali media memuat berita kencan sesama jenis yang berujung tragis. Anehnya, negara seolah diam dan tidak melakukan tindakan nyata. Padahal, kondisi tersebut justru berujung pada kasus yang berulang. Aktivitas preventif ini dibarengi dengan sejumlah hukum yang mengatur sanksi yang diberikan negara atas pelaku penyimpangan. Rasulullah saw. bersabda,
“Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Tirmidzi)
Sebagai konsekuensinya, setiap hukum atau aturan yang ada dalam Negara Khilafah Islam selalu berdasarkan syariat, bukan pendapat manusia yang kental dengan hawa nafsu. LGBT yang haram berdasarkan syariat akan diharamkan pula dalam negara Khilafah. Pelakunya akan mendapatkan sanksi yang keras dari negara, yaitu hukum bunuh.
Islam menetapkan bahwa sanksi pelaku homoseksual adalah hukuman mati. Demikian juga pelaku lesbi dan perilaku menyimpang seksual lainnya, jenis sanksinya diserahkan pada Khalifah. Rasulullah saw. bersabda, “Lesbi (sihaaq) di antara wanita adalah (bagaikan) zina di antara mereka.” (HR Thabrani)
Ketegasan hukum dalam sistem pemerintahan Islam akan menciptakan atmosfer keimanan dan ketakutan melanggar syariat pada waktu yang sama. Sulit bagi seseorang untuk berperilaku menyimpang karena ketegasan hukum yang ada. Sungguh kontras dengan kondisi saat ini yang justru memfasilitasi munculnya kelompok LGBT. Jika negara ini fokus ingin menyelamatkan generasi, reduksi segala perilaku menyimpang seksual dengan Islam.