
“Jika hakim adalah wakil Tuhan di dunia maka pribadi dan putusannya tidak boleh salah sehingga haram untuk ditinjau ulang dan harus di hormati karena kebijaksanaannya”
Sejak manusia lahir dan berinteraksi dengan manusia lainnya maka permasalahan dalam suatu perkumpulan tidak dapat dihindarkan. Misalnya penyimpangan komunikasi dan tindakan sehingga mengakibatkan lahirnya konflik yang menuntut untuk diselesaikan. Oleh karena itu, dalam perkembangannya secara substansial dalam suatu kelompok akan bersepakat dalam menentukan dan meminta kesediaan seorang tokoh yang dianggap paling bijaksana diantara seluruh anggota kelompok. Untuk menjadi seorang pemimpin dan memberikan putusan ketika terjadinya suatu masalah yang dialami oleh para anggota kelompok.
Dalam perkembangannya, posisi tersebut memiliki berbagai sebutan tergantung pada pengaruh zaman dan sistem pemerintahan serta wilayah georafis. Misalnya sebutan raja untuk penganut sistem monarki yang identik di zaman pra penjajahan di Indonesia, sebutan kepala suku pada 1.340 suku di Indonesia, kepala kampung dan/atau datuk di sebagian besar wilayah Sumatera (khususnya Sumatera Barat dan Sumatera Utara).
Namun kondisi yang demikian ternyata kurang efektif dalam penyelesian suatu masalah. Apalagi ketika suatu permasalahan melibatkan keluarga dari pemimpin kelompok tersebut. Seringkali dalam kondisi demikian cenderung menguntungkan kerabat atau orang-orang yang memiliki ikatan erat dengan pemimpin tersebut.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan berbagai cita-cita hukum yang sangat menentukan hajat hidup orang banyak sekaligus sebagai salah satu jalan untuk mengimplementasikan suatu aturan yang mengandung berbagai nilai-nilai hukum itu sendiri, maka dibentuklah “profesi hakim”.
Selanjutnya, dalam teori sistem ketatanegaraan modern melalui teori Montesquieu “separation of power” maka dijadikan pembatasan kekuasan menjadi tiga yang disebut sebagai “trias politica” oleh Immanuel Kant. Yaitu dengan memisahkan eksekutif (pemerintah), legislatif (pembuat aturan) dan yudikatif (para hakim pemutus permasalahan atau pemberi keadilan).
Walaupun teorinya telah mendekati penjelasan yang sempurna, ternyata di negara Indonesia sebagai salah satu negara penganut teori Montesquieu belum mampu menjalankannya secara maksimal. Khususnya lembaga yudikatif sebagai “sarangnya” para hakim belum cukup menjanjikan bagi lahirnya putusan yang adil dan objektif karena masih dihantui oleh berbagai intervensi. Keadaan demikian melatarbelakangi lahirnya aturan mengenai kekuasaan kehakiman yang menjadi tameng bagi seluruh hakim untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara bijaksana.
Sebagaimana yang secara tegas diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Melalui aturan tersebut memperlihatkan kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa begitu pentingnya untuk memberikan kepastian bagi kemerdekaan hakim dalam memberikan putusan. Sehingga mampu memberikan putusan yang menjanjikan demi tercapainya tujuan penegakan hukum yang meliputi keadilan, kepastian hukum dan kebermanfaatan.
Hakim Bukan Wakil Tuhan
Di samping aturan hukum diatas terdapat pendekatan budaya ketimuran kepada bangsa Indonesia melalui kalimat magis yaitu “hakim adalah wakil Tuhan”. Namun, menurut hemat penulis pendekatan tersebut merupakan logical fallacy (kesalahan berfikir) yang sengaja disematkan dalam kalimat “hakim sebagai wakil Tuhan”. Yang secara langsung menciptakan suatu pandangan bahwa hakim merupakan profesi “suci”. Sehingga perlu diyakini bahwa keputusan hakim adalah keputusan yang menganut berbagai semangat nilai-nilai keadilan.
Pun pengagungan profesi hakim diatas menimbulkan suatu paradoks. Pertama, jika seorang hakim dihadapkan pada sebuah kasus namun dalam penyelesaiannya seseorang yang berprofesi sebagai hakim hanya mampu menyelesaikan melalui penggunaan teori hukum positivisme oleh Jhon Austin atau teori hukum murni oleh Hans Kelsen sehingga seringkali mengenyampingkan teori utilitarianisme karya Jeremy Bentham. Lalu, apakah ketidaksempurnaan penguasaan seorang hakim tersebut juga bagian dari pelecahan terhadap simbol “hakim sebagai wakil Tuhan” yang dilakukan oleh hakim itu sendiri? Sehingga sangat berdampak bagi kurangnya kebijaksanaan seorang hakim dalam memutuskan kasus hukum.
Kedua, dalam lingkungan peradilan di Indonesia yang jarang disorot tapi sangat berpotensi untuk merendahkan kedudukan dan kehormatan seorang hakim dalam memeriksa, mengadili serta memutus perkara. Misalnya dapat dilihat melalui putusan hakim di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA) yang tidak pernah bersifat final. Sehingga ketika terdapat putusan hakim tingkat pertama melalui peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer maka dalam hal adanya ketidakpuasan terhadap putusan tersebut, para pihak dapat mengajukan banding ke peradilan tinggi. Serta jika para pihak belum mendapatkan kepuasan terhadap putusan banding tersebut masih dapat diperiksa kembali melalui Mahmakah Agung melalui putusan tingkat akhir (kasasi).
Sehingga keadaan demikian juga seolah merendahkan filosofi “hakim sebagai wakil Tuhan” karena adanya kesadaran bahwa hakim juga seorang manusia yang tidak luput dari kelalaian dan tidak ada larangan untuk meragukan putusannya.
Terakhir, baru-baru ini dalam dunia kehakiman di Indonesia. Misalnya saja Presiden Republik Indonesia Jokowi Dodo yang menikahkan adik kandungnya dengan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman pada tanggal 26 Mei 2022 dan Pemberhentian Hakim MK, Aswanto oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 29 September 2022. Serta peristiwa yang tidak kalah fenomenal adalah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga saat ini telah menetapkan 11 orang tersangka di Mahkamah Agung (MA) termasuk di dalamnya 2 orang hakim agung (13/11).
Sehingga, dengan berbagai persoalan diatas menjadi masuk akal bahwa “hakim sebagai wakil Tuhan” adalah logical fallacy yang secara sengaja disematkan dalam dunia peradilan Indonesia melalui profesi seorang hakim. Dan juga terlihat bahwa tanpa adanya integritas dari hakim itu sendiri yang didukung dengan kerjasama dari tiga lembaga negara tersebut maka “Hakim sebagai wakil Tuhan” hanya akan menjadi mitos selama-lamanya dalam penegakan hukum di Inonesia. Sehingga keadilan hanyalah utopia bagi para pencari keadilan.
,