
Sebanyak 154 orang dikabarkan tewas akibat kerumunan massa pada pesta Halloween di Distrik Itaewon, Korea Selatan Sabtu (29/10/2022) malam waktu setempat. Lebih dari 100.000 ribu orang mendatangi Itaewon hingga membuat massa berdesakan, terinjak-injak, tergencet, menyebabkan ratusan orang menjadi korban jiwa dalam tragedi tersebut. Para pemimpin negara di dunia menyampaikan belasungkawa atas insiden berdarah tersebut, tidak terkecuali Indonesia.
Melalui akun Twitternya, Presiden Jokowi menyampaikan belasungkawa atas tragedi Halloween di Itaewon. Ia menyatakan bahwa Indonesia bersama rakyat Korea Selatan sangat berduka dan berharap korban yang terluka bisa segera pulih. Sebagian besar korban meninggal dunia adalah para remaja berusia 20-an tahun. Sembilan belas diantaranya diyakini warga negara asing.
Distrik Itaewon populer di kalangan anak muda Korea Selatan dan ekspatriat. Puluhan bar dan restorannya dihias untuk Halloween setelah finansialnya mengalami penurunan tajam selama tiga tahun pandemi. Itaewon adalah salah satu kawasan terpopuler di Seoul untuk kegiatan di malam hari. Warga setempat dan orang-orang asing berduyun-duyun ke sana setiap akhir pekan, tetapi Halloween merupakan salah satu malam tersibuk sepanjang tahun.
Para saksi mata menggambarkan detik-detik tragedi Halloween Itaewon, ketika orang-orang berebut untuk keluar dari kerumunan yang terhimpit satu sama lain. Paramedis kewalahan oleh jumlah korban dan meminta orang-orang yang sedang melintas untuk memberi pertolongan pertama. Rupanya kerumunan mendorong orang-orang yang berada di depan sehingga terjatuh. Mereka kemudian terinjak-injak oleh orang-orang yang berada di belakang. Sejumlah potongan video di media sosial menunjukkan tim penyelamat berusaha sekuat tenaga menarik orang-orang supaya dapat keluar dari kerumunan.
Kita tentu prihatin atas tragedi Itaewon yang menewaskan ratusan orang. Hanya karena pesta, nyawa melayang. Tragedi Halloween Itaewon mengingatkan kita pada insiden Kanjuruhan. Ada kemiripan dari keduanya, yaitu sama-sama memakan korban jiwa untuk kegiatan yang sifatnya bersenang-senang. Satu karena permainan, satunya lagi karena pesta. Namun, ada sedikit perbedaan yang terlihat dari dua tragedi beda negara tersebut, yaitu respons pemerintah Indonesia terhadap keduanya.
Meski pemerintah memberi santunan dan menggratiskan biaya pengobatan untuk korban Kanjuruhan, tetapi tidak ada pernyataan perihal, “Pemerintah bersama korban tragedi Kanjuruhan,” sebagaimana terucap saat berduka pada warga Korea Selatan. Ini mengesankan pemerintah seolah lebih perhatian dengan nasib rakyat negara lain dibanding rakyat sendiri. Ketimpangan ini memang terlihat sepele, tetapi sangat berarti dan berdampak pada psikologis rakyat.
Walhasil, tragedi Halloween ini mestinya menjadi kontemplasi bagi diri penguasa agar lebih serius memperhatikan dan peduli terhadap nasib rakyat dan generasi di negeri ini. Distrik Itaewon populer sebagai lingkungan favorit anak-anak muda Korea Selatan. Tempat itu menjadi simbol kehidupan malam yang bebas di sana. Sebagai negara yang menganut ideologi sekuler kapitalisme, Korea Selatan sangat kental dengan kehidupan liberal, hedonis, dan permisif. Tidak heran banyak industri yang menawarkan berbagai produk dan jasa yang mewadahi muda mudinya mengejar kesenangan materi dan duniawi, semisal restoran, kelab malam, klinik oplas, dsb.
Tragedi Halloween menyiratkan potret kelam wajah kapitalisme. Pertama, pemujaan terhadap gaya hidup liberal dan hedonis. Generasi muda hanya tahu hidup untuk bersenang-senang tanpa berpikir tujuan hakiki kehidupan. Pada akhirnya, mereka meninggal dalam kondisi pesta pora yang berujung pada kesia-siaan. Kedua, kehidupan sekuler dan permisif menyuburkan berbagai perilaku maksiat. Sudah banyak peristiwa serupa, jika ada pesta atau hura-hura sering kali beriringan dengan konsumsi miras dan narkoba.
Disinyalir, insiden tragis di Itaewon bermula dari pengguna narkoba yang berkelahi dengan beberapa orang hingga situasi tidak terkendali dan makin kacau. Meski memiliki kehidupan kelam, banyak generasi muda kita yang silau dan terpukau dengan serba-serbi Korea Selatan, seperti budaya, pakaian, makanan, cara bicara, teknologi, pendidikan, dan kemajuan infrastrukturnya. Bagi Korea Selatan, invasi budaya Barat ke negeri mereka mungkin dianggap wajar karena gaya hidupnya cenderung liberal, hedonis, bahkan ateis.
Tentu saja berbahaya bagi identitas dan keberlangsungan hidup generasi. Pemerintah mestinya tidak membiarkan budaya dan pemikiran asing menjamur di Indonesia. Perayaan sejenis Halloween yang memamerkan gaya hidup liberal sekuler tidak pernah dicegah atau dilarang. Pemerintah tampak tidak serius melakukan upaya preventif agar generasi muda tidak terpengaruh budaya asing. Jadilah generasi muda terkikis habis oleh kemaksiatan yang menjalar dalam kehidupan mereka, semisal seks bebas, kekerasan seksual, perundungan, tawuran, bunuh diri, aborsi, dan sebagainya.
Mari kita tengok sejarah tentang kelahiran para pemimpin besar yang dimulai dari generasi mudanya. Rasulullah saw. sebagai Nabi sekaligus kepala negara telah sukses mendidik para sahabat menjadi generasi terbaik Islam, yaitu generasi pemimpin peradaban. Sepuluh sahabat Nabi saw. yang dijamin masuk surga yang merupakan generasi pertama masuk Islam, semuanya adalah generasi muda. Di antara mereka hanya tiga yang berusia 30-an, yaitu Abu Bakar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf.
Di sisi lain, Rasul saw. juga membangun sistem ketatanegaraan yang bersandar pada syariat Islam. Kunci kesuksesan para sahabat menjadi generasi pemimpin yang taat adalah pola pendidikan Islam yang Rasul terapkan serta sistem sosial masyarakat berlandaskan syariat Islam.
Oleh karenanya, jika kita menginginkan kebangkitan sebuah peradaban mulia dan cemerlang, negara wajib memberikan perhatian besar terhadap karakter generasi muda.
Pertama, menerapkan pola asuh pendidikan keluarga berdasarkan akidah Islam. Keluarga adalah pintu pertama bagi pembentukan syakhsiah (kepribadian) generasi. Orang tua harus membekali diri dengan ilmu agama yang cukup agar dapat mendidik putra-putrinya menjadi generasi yang bertakwa.
Kedua, sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Negara harus menyelenggarakan kurikulum yang disusun sesuai akidah Islam. Dengan begitu, perangkat turunannya seperti rancangan pembelajaran, metode belajar, mata pelajaran, bahan ajar, dll, disusun berdasarkan paradigma Islam.
Ketiga, pembiayaan pendidikan ditopang dengan politik ekonomi Islam. Seluruh pembiayaan pendidikan di negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum). Pembiayaan pendidikan yang dimaksud meliputi fasilitas, infrastruktur, sarana dan prasaran sekolah, gaji guru, dan tenaga pengajar profesional,
Keempat, negara menerapkan sistem sosial masyarakat yang kondusif. Bayangkan jika individu keluarga bertakwa dan masyarakat terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar, apa iya kemaksiatan masih merajalela? Ketika sistem yang berlaku di tengah masyarakat adalah syariat Islam, tata pergaulan masyarakat pun ikut berubah dan berbenah menjadi masyarakat Islam yang khas.
Kelima, penetapan sistem sanksi yang memberi efek jera. Jika negara sudah melaksanakan syariat Islam di semua aspek, tetapi masih saja ada yang melanggarnya, sistem sanksi syariatlah pintu terakhir menjaga masyarakat dari maksiat dan perilaku kriminal. Begitulah gambaran negara melaksanakan syariat Islam kaffah dalam mewujudkan generasi unggul, cerdas, dan beradab. Jangan biarkan generasi kita berkubang dalam kebatilan.