JAKARTA – Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Ronny P Sasmita, mengatakan dampak jangka panjang pelemahan rupiah akan merubah konstruksi perhitungan biaya hidup pekerja. Alhasil upah minimum harus disesuaikan.
Dia menjelaskan, pelemahan rupiah memang sudah diprediksi oleh banyak pihak, mengingat besarnya capital outflow sejak beberapa bulan terakhir akibat perpaduan efek “strong dollar,” ketidakpastian global akibat melandainya pertumbuhan ekonomi di negara-negara besar, dan tendensi “hawkish” kebijakan suku bunga The Fed.
“Imbasnya kepada ekonomi riil di dalam negeri tentu pada harga-harga barang yang berbasiskan bahan baku impor, mulai dari makanan yang bahan baku gandum dan kedelai misalnya, sampai pada barang-barang elektronik,” kata Ronny.
Selain itu, kata dia, bukan hanya karena harga bahan bakunya semakin mahal dalam parameter rupiah, tapi juga biaya transportasi impornya juga ikut naik mengingat biaya transportasi dari luar ke dalam dikalkulasi memakai dolar.
“Jadi, dampak jangka pendeknya akan terasa pada harga-harga barang yang memiliki keterkaitan dengan bahan baku atau bahan pelengkap yang diimpor,” ujarnya.
Sedangkan dampak jangka menengah, pelemahan rupiah juga sangat berpengaruh pada harga BBM dalam negeri, mengingat eksposure impor pada BBM kita yang cukup besar.
Meskipun harga minyak dunia cenderung stagnan dalam beberapa bulan ini, kini kendalanya datang dari pelemahan rupiah yang juga berpengaruh besar terhadap harga BBM.
Risikonya, jika rupiah bertahan lama pada level harga hari ini yang hampir tembus 15600 per dolar, maka porsi subsidi BBM akan membesar dan ruang fiskal pemerintah semakin tertekan, yang akhirnya akan memunculkan opsi baru bagi pemerintah untuk menyesuaikan kembali harga BBM
“Dalam jangka panjang, kenaikan harga-harga (inflasi) dan kenaikan harga BBM, akan merubah konstruksi perhitungan biaya hidup pekerja. Mau tak mau, UMR harus disesuaikan,” ujarnya.
Risiko lanjutanya, biaya produksi semua barang di dalam negeri akan ikut naik, yang akan berimbas pada harga semua barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri, alias tidak hanya pada barang yang berbahan baku impor.
“Dan mau tak mau, kondisi ini akan memberikan tekanan pada pertumbuhan ekonomi kita di tahun mendatang, baik dari permintaan maupun penawaran. Kondisinya tentu akan semakin suram jika rupiah tembus Rp. 16.000 per dollar,” pungkasnya. lp6/mb06