
Dunia literasi itu dinamis, berkembang mengikuti tren kebutuhan masyarakat. Istilah literasi sebelumnya memang identik dengan aktivitas baca tulis. Namun, beberapa tahun belakangan, terjadi perluasan makna yang menyebut literasi sebagai sebuah keberdayaan. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan guna peningkatan harkat dan martabat hidup bangsa gencar diperbincangkan.
Kepala Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando dalam setiap pertemuan selalu mengatakan, saat ini literasi adalah kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu tertentu. Ilmu tersebut diimplementasikan dengan inovasi untuk memproduksi barang dan jasa berkualitas tinggi, serta dapat dipakai dalam memenangkan persaingan global. Jadi bukan sebatas pada baca tulis.
Berbicara mengenai literasi, tentu akan melibatkan peran institusi/lembaga perpustakaan. Perpustakaan boleh dibilang institusi penggerak literasi bangsa. Perpustakaan bukan sebatas penyimpanan, tempat baca, mengolah buku, dan pelayanan peminjaman. Perpustakaan kini melangkah jauh, menapaki jalur peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Perpustakaan beradaptasi menyesuaikan perubahan zaman. Kegiatan perpustakaan dibawa ke arah literasi terapan. Tidak hanya mendorong masyarakat membaca tetapi juga membekali pelatihan. Perpustakaan menghadirkan praktik-praktik literasi dari koleksi atau sumber informasi lainnya. Masyarakat akan merasakan manfaat perpustakaan dalam hal pengembangan dan pemberdayaan diri.
Karena itulah, Perpusnas terus memperjuangkan supaya kesan-kesan miring tentang perpustakaan berubah. Ada dana alokasi khusus (DAK) fisik pembangunan gedung perpustakaan daerah, bantuan pengembangan sarana prasarana berbasis teknologi semacam mobil multimedia, serta pojok baca digital. Perpusnas mendorong perpustakaan di daerah mengemas kegiatan produktif berbasis pemberdayaan masyarakat umum, termasuk kaum disabilitas.
Literasi inklusif
Hasil perjuangan Perpusnas terlihat sejak diluncurkannya Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) sebagai Program Prioritas Nasional. Inklusi sosial berarti melibatkan semua lapisan masyarakat (inklusif). Transformasi perpustakaan menekankan pendekatan layanan yang berkomitmen pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan tujuan negara, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berdasarkan kajian Perpusnas tahun 2022 mengenai dampak program TPBIS kepada masyarakat diperoleh hasil mengesankan. Data memperlihatkan 85% pemustaka membaca di perpustakaan, 96% minat baca meningkat, 85% mengalami peningkatan prestasi akademik. Selanjutnya 74% merasa lebih sehat setelah mengakses informasi seputar kesehatan, 43% mendapat tawaran kerja, 72% memperoleh pekerjaan, dan 75% turut berkegiatan sosial kemasyarakatan di perpustakaan.
Perpusnas menyatakan di Indonesia terdapat 164.610 perpustakaan. Dari jumlah sekian, sebanyak 2.900 perpustakaan sudah bertransformasi dan 1.250 di antaranya perpustakaan di tingkat desa. Sampai tahun 2021, sebanyak 32 provinsi 159 kabupaten/kota telah mengadopsi dan melaksanakan program TPBIS.
TPBIS dipandang paling tepat mendorong penguatan institusi perpustakaan mewujudkan keberdayaan bangsa. Perpustakaan berbenah menyusun langkah baru, mengubah pola pengembangan, layanan, maupun kegiatan. Itu yang dimaksud perpustakaan bertransformasi dalam tema besar “Literasi untuk Kesejahteraan”.
Transformasi perpustakaan mengusung tiga hal utama yakni: literasi informasi terapan dan inklusif, pendampingan masyarakat untuk literasi informasi, pemerataan layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial. TPBIS mengedepankan peran dan fungsi perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan, pusat kegiatan masyarakat, dan pusat kebudayaan.
Perpustakaan dirancang punya daya saing dan bernilai bagi masyarakat. Perpustakaan pun memfasilitasi pengembangan keterampilan masyarakat. Pada akhirnya, perpustakaan menjadi wadah menemukan solusi permasalahan kehidupan. Perpustakaan memainkan multi peran, sebagai wahana pembelajaran sekaligus pemberdayaan masyarakat sepanjang hayat.
Berpijak dari hal-hal di atas, Perpusnas menetapkan tiga tujuan Program TPBIS yaitu: 1) Meningkatkan literasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi; 2) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat; 3) Memperkuat peran dan fungsi perpustakaan sebagai wahana pembelajaran sepanjang hayat, ruang kreasi, dan pemberdayaan masyarakat
Strategi program
Tiga strategi TPBIS guna meningkatkan peran institusi perpustakaan sebagai penggerak literasi cukup relevan bagi pengembangan perpustakaan hingga wilayah desa. Keempat strategi itu adalah:
Pertama, peningkatan layanan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Hal yang perlu dilakukan antara lain menyangkut penataan desain interior ruangan bergaya milenial, penyediaan buku digital dan koleksi audio visual. Di era informasi zaman now, perpustakaan wajib menyediakan perangkat akses, meningkatkan kapasitas bandwith internet, mengembangkan aplikasi perpustakaan, memberikan layanan online, serta membangun hotspot area.
Kedua, pelibatan masyarakat (community engagement) meliputi kegiatan-kegiatan yang boleh diikuti siapa pun. Misalnya perpustakaan mengadakan pertemuan ilmiah seperti workshop, seminar, atau penyuluhan.
Perpustakaan juga menyelenggarakan pelatihan keterampilan (literasi terapan) untuk masyarakat. Di beberapa perpustakaan daerah dan desa sudah ada pelatihan menjahit, mengemas produk, marketing online, membuat konten youtube, dan sejenisnya. Materi pelatihan berasal dari koleksi atau sumber informasi online di perpustakaan. Sedangkan narasumber yang menyampaikan materi tentu saja tenaga ahli berkompeten atau lembaga terkait di bidangnya.
Ketiga, advokasi dan kemitraan dengan CSR sektor swasta, instansi pemerintah, komunitas, kelompok aktivis dan lain-lain bertujuan agar tercipta program berkelanjutan. Perpustakaan lebih hidup, semarak, bergairah tidak sepi kegiatan. Promosi melalui berbagai media, kegiatan lomba, dan pelayanan ekstensi perpustakaan keliling merupakan bagian dari advokasi.
Fasilitator kegiatan
Pustakawan, terutama yang bernaung di perpustakaan daerah merupakan fasilitator kegiatan di wilayahnya. Pustakawan itu penggerak literasi yang mesti berpandangan luas dan terbuka. Peran dan fungsi pustakawan dioptimalkan mengawal program TPBIS. Perpusnas telah memberikan pelatihan-pelatihan, berbagi strategi bagaimana mengembangkan perpustakaan, serta membekali pengetahuan khusus mengenai inklusi sosial kepada para pustakawan.
Pustakawan seharusnya aktif, bergerak dan berkarya sesuai rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional Bidang Perpustakaan, “Pustakawan Berkarya Mewujudkan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.” Hal itu dimaksudkan supaya keberlanjutan transformasi pengembangan perpustakaan (replikasi) berjalan lancar sampai ke desa. Replikasi perpustakaan suatu bentuk tanggung jawab moral pustakawan.
Pustakawan melakukan mentoring, monitoring, evaluasi, dan pendampingan kepada perpustakaan desa. Pustakawan wajib mendorong pengelola perpustakaan mendokumentasikan seluruh kegiatannya. Termasuk identifikasi penerima manfaat (impact) yang dapat digunakan untuk kepentingan promosi dan publikasi perpustakaan.
Penting bagi pustakawan mengidentifikasi penerima manfaat perpustakaan. Bermunculannya cerita sukses masyarakat dampak dari layanan ataukah kegiatan terkait keberdayaan dan kesejahteraan, kian menguatkan peran dan fungsi perpustakaan. Perpustakaan semakin berdaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pergerakan dunia literasi begitu dinamis. Maka konsistensi, komitmen, dan kepedulian kepala daerah, internal perpustakaan bersama stakeholder mencakup kebutuhan anggaran pengembangan dan kegiatan amat diperlukan.
Pustakawan mestinya memiliki jiwa kepustakawanan berbasis relawan (filantropi pustakawan). Jangan cuma merasa cukup atau nyaman melakukan kegiatan-kegiatan teknis semata. Pustakawan harus berani menerima tantangan serta mampu memainkan fungsi penggerak, sebagai fasilitator dan motivator. Program TPBIS bagian dari tugas dan fungsi kepustakawanan. Sungguh sangat disayangkan, bila ada pustakawan yang tidak tahu dan tak mampu memahami konsep Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial.*