
Sebagaimana telah kita ketahui ada banyak teori belajar yang berkembang. Teori-teori ini tentunya bisa diterapkan dalam pembelajaran kimia. Adapun diantaranya pertama, dalam pandangan dari Ivan Petrovich Pavlov yang dikenal dengan teori belajarnya Classical Conditioning, hingga menghantarkannya menerima hadiah Nobel pada 1904. Teori ini kemudian menjadi pijakan dasar perkembangan aliran psikologi behaviorisme, sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pengembangan teori-teori tentang belajar (Winarti & Sunarti, 2017).
Pavlov melakukan eksperimen dengan menggunakan anjing sebagai subjek. Anjing dioperasi kelenjar ludahnya sedemikian rupa sehingga memungkinkan penyelidik mengukur dengan teliti air ludah yang keluar dengan pipa sebagai respons terhadap perangsang makanan (berupa serbuk daging) yang disodorkan ke mulutnya. Eksperimen-eksperimen berikutnya, Pavlov menyimpulkan bahwa refleks bersyarat yang telah terbentuk dapat hilang atau dihilangkan.
Berdasarkan hasil eksperimen-eksperimen yang dilakukan dengan anjing Pavlov menyimpulkan bahwa gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari; dapat berubah karena mendapat latihan. Secara garis besar hukum-hukum belajar menurut Pavlov ada dua yaitu, Law of Respondent Conditioning yaitu hukum pembiasaan yang dituntut dan Law of Respondent Extinction yaitu hukum pemusnahan yang dituntut.
Teori Belajar Classical Conditioning Pavlov dapat diterapkan dalam pembelajaran Kimia, misalnya saja pada Materi Asam Basa. Dalam pembelajaran Kimia Materi Asam Basa tersebut misalnya saja guru yang awalnya memulai pelajaran kimia dengan senyum dan ramah serta mengawali pelajaran dengan memberi apersepsi ataupun contoh materi kimia dalam kehidupan sehari-hari khususnya Asam-Basa. Hal tersebut dirasa siswa merupakan stimulus yang dapat membangkitkan minat dan motivasi siswa untuk belajar Kimia. Namun, bila kemudian hari guru tersebut masuk dengan senyum dan tanpa memberikan apersepsi contoh materi kimia asam basa dalam kehidupan sehari-hari misalnya, maka mungkin minat dan motivasi siswa untuk belajar dapat berkurang dan bila kondisi tersebut terjadi berulang-ulang dimungkinkan akan hilang. Oleh karenanya, guru harus memulai pelajaran selain dengan ramah juga dengan apersepsi memberikan gambaran contoh asam basa dalam kehidupan sehari-hari misalnya saja asam contohnya air jeruk dan basa contohnya sabun.
Selanjutnya kedua, Teori Belajar Bermakna Ausubel. Teori belajar ini terkait dengan beberapa macam belajar. Sebagaimana disebutkan Winarti & Sunarti (2017), terdapat empat macam belajar menurut Ausubel dengan dua dimensi yang berbeda. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi (materi pelajaran) itu disajikan pada siswa yaitu belajar penerimaan (reception learning) dan belajar penemuan (discovery learning). Dimensi kedua berhubungan dengan cara mengaitkan informasi atau materi pelajaran itu pada struktur kognitif yang telah ada, dalam kaitannya dengan ini terdapat belajar hafalan (rote learning) dan belajar bermakna (meaningful learning).
Pada dimensi pertama dalam belajar, belajar dapat berlangsung secara penerimaan di mana informasi yang disampaikan pada siswa dalam bentuk final, ataupun berlangsung secara penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh informasi itu. Misalnya saja setelah guru menerangkan dasar-dasar materi Asam basa, siswa diminta untuk mengklasifikasikan bahan-bahan di sekitar, mana yang termasuk asam dan mana yang tergolong basa. Tentunya hal ini dengan menguji secara langsung memakai indikator asam basa. Pada dimensi kedua, siswa dapat menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, atau siswa juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada pada struktur kognitifnya. Pada contoh yang pertama terjadi belajar bermakna, sedangkan pada contoh kedua terjadi belajar hafalan.
Kedua dimensi belajar tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinum. Sepanjang kontinuum mendatar dari kiri ke kanan karakter belajar penerimaan semakin berkurang sebaliknya belajar penemuan semakin bertambah, sedangkan sepanjang kontinuum vertikal dari bawah ke atas belajar hafalan semakin berkurang dan karakter belajar bermakna semakin tinggi.
Menurut Ausubel banyak ahli pendidikan yang menyamakan antara belajar penerimaan dengan belajar hafalan. Mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila pembelajar menemukan sendiri pengetahuan. Namun, belajar penerimaan dapat dibuat bermakna dengan cara menjelaskan hubungan antar konsep. Sebaliknya belajar penemuan menjadi rendah kebermaknaannya dan bersifat hafalan bila siswa hanya diminta memecahkan masalah dengan cara coba-coba, seperti menebak suatu teka-teki. Adapun penelitian ilmiah merupakan belajar penemuan yang sangat tinggi kebermaknaannya.
Ketiga, Teori Belajar Humanisme Abraham Maslow merupakan teori yang memanusiakan manusia, di mana seorang individu dalam hal ini peserta didik dapat menggali kemampuannya sendiri untuk diterapkan dalam lingkungannya. Berdasarkan teori Abraham Maslow teori humanisme ini lebih mengedepankan motivasi untuk mengembangkan potensi peserta didik secara penuh (Boeree, 2006). Sebagian besar tindakan manusia mewakili upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersifat hierarkis (tingkatan).
Menurut Maslow tingkatan kebutuhan manusia ada 5 tingkatan yaitu fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Pada proses pembelajaran tugas utama guru yaitu bertindak sebagai fasilitator yang membangun suasana kelas menjadi lebih efektif. Kebutuhan aktualisasi diri juga berperan dalam teori humanisme. Kecenderungan ini adalah keinginan untuk memenuhi potensi yang kita miliki hingga mencapai tahap yang lebih tinggi, dan kita ditakdirkan untuk berkembang dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kepribadian yang kita miliki, dan ternyata lingkungan belajar juga dapat mempengaruhi aktualisasi diri kita.
Adapun penerapan Teori Belajar Maslow dalam pembelajaran kimia guru dapat memberikan reward kepada peserta didik yang telah berhasil melakukan suatu hal, agar peserta didik tersebut semakin semangat dan termotivasi dalam pembelajaran. Misalnya dalam mengidentifikasi bahan mana yang termasuk asam dan basa, siswa yang jawabannya benar semua diberi bintang atau hadiah. Siswa perlu di hindarkan dari tekanan pada lingkungan sehingga mereka merasa aman untuk belajar lebih mudah dan bermakna. Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuanya agar peserta didik mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna. Guru harus memfasilitasi peserta didik dengan memberikan sumber belajar yang variatif, interaktif dalam mendukung kegiatan pembelajaran. Misalnya saja, siswa bisa membuat indikator asam dan basa sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan alam sebagai indikator alami.
Ketiga teori belajar sebagaimana disebutkan tentu sangat mungkin diaktualisasikan dalam pembelajaran kimia yang kreatif dan menarik. Pembelajaran yang memotivasi siswa untuk berprestasi tinggi dan tentunya menyenangkan dan bermakna untuk kehidupan sehari-hari.