Rabu, Juli 16, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Banjir Melanda, Bobroknya Industrialisasi Kapitalisme

by matabanua
19 Oktober 2022
in Opini
0

Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)

Banjir menggenangi sejumlah daerah di tanah air. Di Lhokseumawe, Aceh, banjir menggenangi sejumlah wilayah di kota tersebut sejak Selasa (04/10/2022). Banjir dipicu oleh hujan intensitas tinggi yang mengguyur wilayah itu sehingga terjadi luapan debit air sungai. Namun demikian, setidaknya 4.900 hektar lahan sawah di Kabupaten Aceh Utara juga terendam banjir. Sebagian wilayah dipastikan mengalami gagal panen. Sementara itu, beberapa tanggul jebol, jembatan dan berbagai fasum rusak berat.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\16 Juli 2025\8\master opini.jpg

Ada Hukum Perlindungan Anak, Tapi Mengapa Perundungan Makin Brutal?

15 Juli 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Anak Tidak Sekolah Terus Bertambah,Bukti Kegagalan Sistemik Pendidikan

15 Juli 2025
Load More

Banjir juga melanda ibukota Jakarta. Pada Rabu (12/10/2022) per pukul 06.00 WIB, terdapat 50 RT terendam banjir akibat luapan sungai Ciliwung. Ketinggian banjir pagi itu bervariasi, tertinggi mencapai 2,2 meter di Kelurahan Cawang, Jakarta Timur. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan informasi peringatan dini cuaca ekstrem terhitung mulai tanggal 9 sampai 15 Oktober 2022. Menurut BMKG, sepekan ke depan wilayah Indonesia akan berpotensi mengalami gejala fenomena alam seperti gelombang tinggi, angin kencang, angin putih beliung, hujan deras, dan dapat disertai petir.

Tidak hanya kerugian materiel, banjir kali ini juga memakan korban jiwa. Di Bali tercatat 5 orang tewas. Di Jakarta Selatan, 4 siswa MTSN 19 Pondok Labu, Jakarta Selatan tewas tertimpa tembok sekolah yang diterjang banjir dan beberapa siswa luka-luka. Di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan lain-lain juga tercatat ada beberapa korban jiwa. Di laman resminya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa potensi cuaca ekstrem telah terjadi sejak 2 hingga 8 Oktober 2022.

Setidaknya, ada dua potensi bencana yang kerap terjadi saat musim hujan, yaitu banjir dan tanah longsor. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto, menyatakan sebanyak 2.718 kali bencana alam terjadi di Indonesia sepanjang periode 1 Januari hingga 9 Oktober 2022. Bahkan menurut Kepala BMKG, puncak cuaca ekstrem akan terjadi pada Desember nanti. Indonesia memang termasuk wilayah potensial bencana, terutama banjir.

Dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang periode 1 Januari hingga 9 Oktober ini saja, sudah terjadi 2.718 kali bencana alam di Indonesia. Di antaranya, bencana banjir terjadi 1.083 kali, tanah longsor 483 kali, dan cuaca ekstrem 867 kali. Sisanya, bencana berupa kebakaran hutan, gempa bumi, gelombang pasang, dan abrasi. Faktor cuaca, seperti adanya fenomena La Nina, peningkatan suhu permukaan laut, perubahan pola angin, dan lain-lain sering disebut-sebut sebagai penyebab utama banjir.

Dalam hal ini, intensitas hujan yang tinggi, durasi lama, dan frekuensi yang sering berpeluang besar menimbulkan bencana hidrometeorologi. Masalahnya, bencana banjir ini bukan perkara baru. Nyaris setiap musim penghujan bencana banjir pasti jadi langganan. Risiko ekonomi dan sosial yang ditimbulkan pun sudah tidak terhitung lagi. Sementara masyarakat dipaksa menerima keadaan, dengan dalih semua terjadi lantaran faktor alam. Padahal, penyebab banjir tidak semata faktor alam.

Ada banyak hal yang harus dievaluasi dari perilaku manusia, utamanya terkait budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. Begitupun dengan dampak yang ditimbulkan. Seringkali negara gagap melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tidak terantisipasi dengan baik. Para penguasa sejauh ini malah sibuk berpolemik saat bencana sudah terjadi. Alih-alih mencari solusi, masing-masing sibuk mencari kambing hitam, bahkan menjadikannya sebagai bahan untuk saling serang.

Sebetulnya, mudah untuk memahami bahwa bencana banjir, bahkan bencana lainnya bersifat sistemis dan harus diberi solusi sistemis. Faktor cuaca ekstrem misalnya, ternyata terkait dengan isu perubahan iklim yang dipicu perilaku manusia yang kian niradab terhadap alam, termasuk akibat kebijakan pembangunan kapitalistik yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.

Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Meluasnya bencana banjir justru menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram. Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya memang kian tidak terkendali. Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai.

Mirisnya, semua terjadi di hadapan mata para penguasa. Bahkan, sebagian besarnya terjadi secara legal atas nama pembangunan yang abai terhadap tata ruang dan tata wilayah, sangat profit oriented, cenderung pragmatis, dan mengedepankan ego sektoral. Hal ini niscaya karena negara dan para penguasa merepresentasikan kepentingan para pengusaha. Bagi mereka, keuntungan materi adalah segalanya, maka soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan.

Hal ini pun disorot aktivis muslimah Siti Nafidah Anshory, M.Ag. Ia menilai sejauh ini strategi pemerintah dalam mengatasi berbagai bencana, termasuk banjir dan banjir bandang, belum menyentuh akar persoalan, melainkan hanya menitikberatkan pada upaya penanggulangan atau mitigasi semata. “Pemerintah masih fokus pada upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Itu pun masih banyak pekerjaan rumah di sana sini,” ujarnya.

Walhasil, imbuhnya, soal mitigasi akhirnya masih ada di tataran konsep. “Wajar jika alih-alih berkurang, jumlah kejadian bencana dari tahun ke tahun malah terus meningkat,” ungkapnya. Apalagi, jelasnya, yang menyedihkan, dampak berbagai bencana yang terjadi sebelumnya di berbagai wilayah Indonesia juga belum tuntas teratasi. Siti Nafidah mengingatkan, semestinya ada koreksi mendasar atas cara pandang aspek bencana dan paradigma pembangunan yang dilakukan penguasa.

“Selama bencana dilihat sebagai faktor alam semata dan pembangunan jauh dari paradigma Islam yang menebar kebaikan, selama itu pula tidak akan muncul dorongan untuk mencari penyelesaian. Bahkan, kebijakan penguasa akan menjadi sumber kerusakan,” urainya. Ia menuturkan itulah persoalan yang selama ini terjadi. “Penerapan sistem sekularisme kapitalistik neoliberal telah membuka ruang besar bagi berkembangnya perilaku mengeksploitasi dan destruktif di tengah-tengah masyarakat,” terangnya.

Dalam sistem ini, lanjutnya, negara menjadi alat legitimasi munculnya kebijakan dan praktik pembangunan yang justru hanya memenuhi syahwat para pemilik modal, sekalipun dampaknya akan merusak alam, lingkungan, dan kemanusiaan, serta memandulkan kemampuan negara untuk menjadi pengurus dan penjaga umat. “Begitu pula, ilmu pengetahuan dan teknologi, ketika ada dalam sistem ini justru mempercepat proses perusakan alam yang berdampak jangka panjang. Tanpa mereka sadari sesungguhnya mereka telah berbuat kerusakan,” cetusnya.

Kalaupun mitigasi bencana dilakukan, tampak semuanya sekadar upaya cuci tangan. Artinya, tidak benar-benar berusaha menyentuh akar persoalan. Terlebih soal mitigasi ternyata sangat multisektoral, mulai soal pendidikan, litbang, teknologi, infrastruktur, regulasi atau kebijakan, dan tentunya butuh dana besar. Padahal semuanya masih menjadi problem besar bagi negara yang sudah tenggelam dalam utang. Sementara para kapitalis, pasti punya hitung-hitungan.

Sejatinya, dunia ini butuh sistem Islam karena paradigma sistem Islam bertentangan secara diametral dengan sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Zat Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam.

Ajaran Islam benar-benar mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari iman. Semuanya bisa berjalan saat syariat Islam diterapkan secara keseluruhan. Allah Taala berfirman dalam QS Al-A’raf : 96, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya” (HR Muslim dan Ahmad). Fungsi kekhalifahan adalah refleksi dari fungsi penghambaan, maka siapa pun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan. Penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Ulasan ini menegaskan setidaknya ada dua aspek yang bisa menjadi mekanisme penanggulangan banjir musiman yang terus berulang ini.

Pertama, aspek akidah, bahwa bencana alam berasal dari Allah, maka selayaknya kita juga mohon pertolongan Allah agar diberi kesabaran menjalaninya.

Kedua, aspek kemaslahatan umum. Banjir yang berulang menunjukkan bahwa mitigasi tidak berjalan kontinyu dan simultan. Program mitigasi hanya parsial pada tahun tertentu saja, tetapi belum tentu bisa terlaksana lagi di tahun berikutnya.

Andaikata program mitigasi bisa kontinyu, biasanya tidak terjadi akselerasi pada tahun selanjutnya. Akibatnya, program mitigasi tidak mengalami kemajuan, alih-alih menghasilkan capaian yang lebih baik. Kalaupun peralatannya sudah yang berkualitas terbaik, yang seringkali terjadi adalah minimalisnya perawatan pada peralatan sehingga akhirnya juga rusak. Benar-benar malang negeri ini, sistem kufur yang tengah berlangsung mustahil memberikan keberkahan.

Sistem kufur juga melahirkan para pejabat yang tidak amanah dan melaksanakan tugas secara ala kadarnya. Amal mereka dalam mengemban jabatan sangat jauh dari kualitas amal yang sempurna lagi terbaik. Sungguh, kita semua tentu mendambakan kondisi suatu negeri yang aman, sentosa, serta jauh dari bencana dan mara bahaya. Inilah negeri impian bagi setiap orang.

Sungguh celaka negeri yang sedemikian indah hingga berjuluk zamrud khatulistiwa, tetapi harus merana akibat banjir di mana-mana akibat tegaknya sistem kufur di negeri tersebut. Ini masih belum bencana-bencana lain yang menjauhkan berkah Allah darinya. Tidak heran jika negeri ini juga jauh sekali dari karakter negeri yang baik (baldatun tayyibatun).

Oleh karena itu, penting adanya visi ideologi Islam untuk pembangunan negeri ini, sehingga potensinya tidak hanya demi kemanfaatan ekonomi melainkan dapat menjadi aset masa depan generasi berikutnya. Visi inilah yang mustahil terwujud dalam konteks kapitalisme yang selalu sarat eksploitasi

 

 

Tags: banjirBMKGNor Faizah RahmiPraktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA