Jumat, Juli 11, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Masih Perlukah Ombudsman?

(Refleksi  14 Tahun UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI)

by matabanua
17 Oktober 2022
in Opini
0
D:\2022\Oktober 2022\18 Oktober 2022\8\8\jayanthi mandasari.jpg
Oleh : Zayanti Mandasari, Asisten Ombudsman Kalsel

Sebagai lembaga yang diberi mandat untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, kerja Ombudsman tak selalu mulus. UU No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, yang disahkan Oktober 2008, atau 14 Tahun yang lalu, bisa dikatakan waktu yang cukup lama, namun Ombudsman RI masih kerap mendapati hal yang menjadi penghambat terwujudnya pelayanan publik yang baik oleh pemerintah. Tentu kita masih ingat ketika KPK menolak melaksanakan rekomendasi Ombudsman, terhadap temuan maladministrasi soal tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk alih status pegawai KPK menjadi ASN.

Tak hanya KPK yang enggan menjalankan rekomendasi Ombudsman, lembaga/kementerian/pemerintah daerah lain juga melakukan hal serupa. Berdasarkan data Kategori Kepatuhan Rekomendasi Ombudsman RI, dari 22 rekomendasi yang dikeluarkan (2015 s.d 2020), tidak seluruh rekomendasi dilaksanakan, jika dilihat dalam presentase kepatuhan melaksanakan rekomendasi Ombudsman, dapat dilihat bahwa 63,6% dilaksanakan, 27,3% tidak dilaksanakan, dan 9,1 % dalam proses monitoring. Tak hanya pada level kementerian/lembaga, terdapat juga pemerintah daerah yang tak melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Bahkan di Provinsi Kalimantan Selatan, terdapat 1 Pemerintah Kabupaten yang lamban menjalankan rekomendasi Ombudsman. Lantas masih perlukah Ombudsman? Jika produk akhir pemeriksaan laporannya yang berbentuk rekomendasi kerap tak dihiraukan oleh penyelenggara pelayanan publik yang terbukti maladministrasi.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Menuju Negeri Bersih dan Berdaya

10 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\Nur Alfa Rahmah.jpg

Indonesia Darurat Perundungan Anak: Mencari Solusi Sistemik

10 Juli 2025
Load More

Rekomendasi Dianggap Tak Efektif

Anggapan Ombudsman seperti macan ompong, sering kali mencuat dalam berbagai kesempatan. Hal ini dilatarbelakangi karena rekomendasi Ombudsman, kerap tidak dilaksanakan oleh Pemerintah/Terlapor sebagaimana data di atas. Anggapan serupa bahkan telah muncul dalam pembahasan RUU Ombudsman. Disampaikan oleh Agun Gunandjar Sudarsa, berkenaan dengan “kedudukan Ombudsman dinilai tidak efisien dan tidak efektif, karena hasil akhir Ombudsman adalah rekomendasi, dengan kata lain Ombudsman bukan pengambil keputusan di tingkat akhir, seperti layaknya pengadilan”. Senada dengan itu, Benny K. Harman, dalam pembahasan RUU Ombudsman, juga menyampaikan “tidak efektifnya apa yang direkomendasikan oleh Ombudsman, bukan persoalan Ombudsman yang tidak di wadahi oleh Undang-Undang (ketika masih diatur oleh Keputusan Presiden) sehingga dia tidak efektif, bahkan jika diwadahi dalam UUD sekalipun, tetapi kewenangannya hanya merekomendasikan dalam tanda kutip tetap saja tidak efektif ini lembaga.”

Konsep rekomendasi dinilai belum efektif, dan dianggap menjadi salah satu penghambat mulusnya kinerja Ombudsman. Pada dasarnya, rekomendasi ombudsman merupakan kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik. Secara normatif, Pasal 38 UU Ombudsman, menyatakan bahwa “Atasan Terlapor wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang pelaksanaan Rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya Rekomendasi.” Bahkan jika Terlapor/Atasan tidak melaksanakan rekomendasi, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dalam melaksanakan tugasnya, Ombudsman juga telah bekerja semaksimal mungkin sebagaimana ketentuan dimaksud, misalnya menyampaikan rekomendasi ke Presiden, dalam kasus penolakan KPK terhadap rekomendasi Ombudsman, namun nampaknya belum menampakkan hasil yang diharapkan.

Tak berhenti pada UU Ombudsman, perihal rekomendasi Ombudsman juga dimuat dalam Pasal 351 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pasal tersebut menguatkan kedudukan Ombudsman sebagai lembaga negara yang berwenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, karena pasal tersebut menetapkan sanksi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan, oleh Kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh wakil kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk, kepada pemerintah daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Bahkan tidak hanya berhenti pada pemberian sanksi, juga berpengaruh pada besaran/jumlah insentif yang akan diberikan Pemerintah Pusat kepada daerah tersebut. Namun hingga saat ini, nampaknya ketentuan tersebut belum dijalankan dan belum menjadi fokus utama Kementerian Dalam Negeri. Padahal masyarakat sangat membutuhkan pemimpin daerah yang benar-benar memiliki komitmen penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas, namun nampaknya masyarakat dan Ombudsman masih diminta untuk bersabar menunggu pelaskanaan ketentuan tersebut.

Tujuan Pembentukan Ombudsman

Risalah Rapat Dengar Pendapat Umum Panja RUU Tentang Ombudsman RI, Prof. Soenaryati berpendapat hadirnya Ombusman ditujukan agar negara bisa accountable tidak hanya secara politis tetapi berdasarkan kenyataan dan juga jalur-jalur hukum. Ombudsman bukan pengadilan, karena itu Ombusman bukanlah penegak hukum, walaupun melandaskan rekomendasi-rekomendasinya kepada hukum. Sehingga Ombudman diperlukan dalam rangka memperbaiki pelayan publik dan reformasi birokrasi. Oleh karena itu, kedudukan Ombudsman akan lebih kuat, cakupannya lebih luas jika didasarkan dalam undang-undang.

Ombudsman juga dianggap sebagai institusionalisasi dari hak-hak sipil (hak-hak hukum) yang dimiliki oleh setiap warga negara untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari institusi pemerintah. Dengan demikian, dikatakan bahwa Ombudsman merupakan lembaga yang memperjuangkan hak-hak sipil warga negara dalam berhubungan dengan pemerintah, karena pemerintah bertanggung jawab untuk merealisasikan hak-hak warga negara tersebut. Agar fungsi ini dapat berjalan dengan baik, maka setiap institusi pemerintah harus mempunyai prosedur dan alur administratif pelayanan publik dan aturan tingkah laku (code of conduct) aparatur negara di lingkungan pekerjaan masing-masing.

Ombudsman dianggap penting kehadirannya di Indonesia sebagai alat kontrol masyarakat terhadap pemerintah, mengingat terdapat potensi pemerintah untuk melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat, oleh karena itu negara berusaha untuk mengendalikan perangkatnya, untuk tidak melakukan perbuatan yang tercela dan merugikan masyarakat dengan diadakannya suatu sistem pengawasan (control system) oleh Ombudsman RI. Tak hanya sebagai pengawas, lebih mendasar lagi, Ombudsman RI juga hadir dalam rangka upaya perbaikan pelayanan publik ke depan, sehingga dapat sejalan dengan fokus agenda reformasi birokrasi di Insonesia, untuk mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas.

Ombudsman di Masa Mendatang

Berkaca pada tujuan pembentukannya, jika ditanya apakah Ombudsman masih diperlukan? Jawabannya tentu masih. Karena jika tak ada Ombudsman, kepada siapa lagi masyarakat akan menengadukan pelayanan publik yang tidak baik, bahkan cenderung merugikan. Jika jawaban tersebut disanggah dengan jawaban, Ombudsman tidak diperlukan, karena masih ada sarana lain yakni melalui pengadilan, yang juga dapat menjadi tempat masyarakat menyampaikan atau menuntut keadilan atas kerugian yang dialaminya karena ulah oknum pemerintah, dalam konteks pelayanan publik. Jawaban ini tak sepenuhnya tak tepat, namun mengingat proses peradilan yang lumayan menyita waktu, tentu ini bukan menjadi pilihan yang menyenangkan bagi masyarakat. Ditambah lagi, jika proses di pengadilan juga membutuhkan biaya, tentunya akan memberatkan masyarakat. Dimana hal ini sangat berbeda dengan proses penanganan pengaduan di Ombudsman, yang mempunyai fleksibilitas prosedur dalam penanganan pengaduan, tidak membutuhkan biaya dalam prosesnya, bahkan tak mengharuskan pelapor datang langsung menghadap untuk melaporkan keluhannya.

Ombudsman memang bukan lembaga penentu, karena hasil akhir rekomendasinya yang harus menjalankan adalah pihak pemerintah yang terbukti melakukan maladministrasi, Ombudsman juga tak mempunyai ‘kuasa’ untuk memaksa apalagi menangkap pejabat yang maladministrasi, karena tak melaksanakan rekomendasinya. Namun bukan berarti Ombudsman tak bermakna, bahkan lembaga peradilan sebagai lembaga penentu yang mengeluarkan putusan, putusannya juga kerap tak dijalankan, bahkan trend laporan yang masuk ke Ombudsman menunjukkan bahwa proses eksekusi putusan yang lamban, dilaporkan masyarakat ke Ombudsman, sebagai bentuk penundaan berlarut dalam proses eksekusi putusan peradilan.

Ombudsman tak harus bersedih jika rekomendasinya tak dilaksanakan oleh pihak yang dilaporkan, justru sikap tak menjalankan rekomendasi tersebut menunjukkan moral value pejabat tersebut, dan bagaimana komitmennya dalam menciptakan pelayanan publik yang berkualitas untuk masyarakat. Sikap pejabat tersebut juga dapat menjadi salah satu referensi masyarakat dikemudian hari, apalagi juga pejabat yang mengingkari rekomendasi tersebut, hendak beradu pada ajang pemilihan kepala daerah. Sehingga masyarakat dapat ‘menghukumnya’ dengan tidak memilih pejabat tersebut.

Ombudsman dan segala kewenangannya, tentu masih dibutuhkan di Indonesia. Khususnya dalam rangka menjaga dan memastikan apakah pemerintah benar-benar serius dalam mewujudkan berbagai tujuan negara, sebagaimana termaktub dalam UUD NRI 1945, khususnya dalam konteks pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, administratif, dan lain sebagainya. Kedepan, harapannya Ombudsman RI terus bekerja sesuai dengan ‘tracknya’, tanpa terpengaruh moral value pejabat yang tak elok, baik dalam melaksanakan rekomendasi, arogan dalam memberikan klarifikasi, ataupun mangkir dalam panggilan klarifikasi Ombudsman.

Masyarakat juga tetap mendukung, percaya dan bersinergi dengan Ombudsman, untuk memerangi maladministrasi dalam pelayanan publik. Serta Pemerintah baik dalam konteks pusat, maupun daerah juga diharapkan terus meningkatkan komitmennya dalam melaksanakan amanah ketentuan peraturan perundang-undangan, karena sejatinya 1 contoh lebih baik, daripada 1000 nasihat. Tak perlu menghabiskan waktu untuk berkoar-koar menampilakan sucses story pemerintahan, cukup laksanakan apa yang menjadi kewenangan, tugas dan fungsi yang diamanahkan oleh peraturan perundang-undangan.

 

 

Tags: KPKOmbudsmanTWK
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA