Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Sepanjang September 2022, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM telah memberikan pembebasan bersyarat (PB) kepada 23 narapidana atau napi koruptor. Kepala Bagian Koordinator Humas dan Protokol Ditjenpas Kemenkum HAM RI Rika Aprianti menjelaskan bahwa pemberian PB ini berdasarkan pasal 10 UU 22/2022 tentang Pemasyarakatan. Napi koruptor yang mendapatkan PB telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali. Ini meliputi remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas pembebasan bersyarat, dan hak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. KPK pun mengkritik perihal ramai-ramai pemberian PB kepada para napi koruptor ini. KPK menyebut, sejatinya korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang juga harus ditangani dengan cara ekstra.
Remisi koruptor jadi sorotan setelah 23 narapidana koruptor kini bebas bersyarat. Masa hukuman para koruptor itu menjadi lebih pendek karena dipotong remisi. Remisi artinya pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian pengertian remisi bagi narapidana secara umum yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Sementara remisi koruptor adalah remisi yang diberikan kepada narapidana korupsi. Remisi koruptor memiliki aturan sendiri yang apabila napi koruptor telah dapat memenuhi syarat-syarat tertentu maka dapat memperoleh remisi alias pengurangan masa menjalani jabatan sebagai narapidana korupsi. Aturan remisi koruptor sendiri termuat dalam Permenkumham Nomor 7 tahun 2022. Dalam Pasal 1 aturan tersebut pun dijelaskan pengertian remisi sebagai berikut.
“Remisi adalah pengurangan menjalani masa pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.” Aturan Pengetatan Remisi Koruptor yang Dicabut MA Diketahui sebelumnya Mahkamah Agung (MA) mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 yang dikenal dengan PP Pengetatan Remisi Koruptor. Berikut isi pasal dalam PP No. 99 Tahun 2021 yang dihapus MA.
Pasal 43 A ayat (1) huruf (a): (1) Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan:
(a) bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya; Pasal 43A ayat (3): Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022. Aturan baru ini sebagai buntut putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP Nomor 99 Tahun 2012 atau yang lazim dikenal PP pengetatan remisi koruptor. Dalam aturan Permenkumham Nomor 7 tahun 2022, disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi koruptor sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. Menkumham mensyaratkan bagi napi koruptor, syarat remisi koruptor adalah wajib sudah membayar denda dan uang pengganti.
“Dalam Permenkumham ini mempersyaratkan terpidana untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas),” kata Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pas, Rika Aprianti dalam siaran persnya, Minggu (31/1/2022). Berikut isi Pasal 10 Permenhkumham No. 7 Tahun 2022 yang memuat aturan remisi koruptor:
“Narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan Remisi, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juga harus telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.” 23 Napi Koruptor Bebas Bersyarat, Remisi Koruptor Disorot ICW Indonesia Corruption Watch (ICW) tak habis pikir dengan 23 koruptor mendapat remisi hingga akhirnya bebas bersyarat. ICW menyebut pemberian remisi bagi para koruptor itu semakin menunjukkan kejahatan korupsi adalah kejahatan biasa.
“Ada pemberian remisi yang itu tentu dari akal sehat kita sebagai masyarakat melihat bahwa korupsi sebenarnya merupakan kejahatan yang serius, kejahatan kerah putih, kejahatan karena jabatan, itu kemudian dianggap sebagai sebuah kejahatan yang biasa,” kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo di kanal YouTube Populi Center, Rabu (7/9/2022). Adnan menyebut pemberian remisi koruptor itu tidak masuk akal. Dia menyoroti mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang baru dua tahun di penjara kini bebas bersyarat, padahal kasus korupsi yang menjeratnya tergolong besar.
Maraknya korupsi dalam sistem kapitalisme hari ini adalah sesuatu yang jamak. Tolok ukur perbuatan dalam kapitalisme adalah teraihnya kemanfaatan yang bernilai materi dan meniscayakan lahirnya manusia-manusia serakah. Tidak pernah merasa cukup dengan gaji dan pendapatan yang diperoleh dari jalan yang halal, tetapi selalu mencari celah menumpuk harta dari jalan haram sekalipun.
Keserakahan tersebut sering kali menutup akal sehat, hingga menurunkan derajat seseorang yang semula mulia di mata masyarakat. Semisal, kasus jual beli kursi mahasiswa baru yang dilakukan oleh Rektor Unila beberapa waktu lalu. Sungguh benar-benar mencoreng wajah pendidikan! Seorang guru besar telah melakukan perbuatan hina semacam itu karena mental serakahnya.
Begitu pula, keserakahan tersebut telah membuat keras hati para pemimpin negeri yang korup. Mereka yang seharusnya mengurusi urusan rakyat yang tengah diimpit kemiskinan, masih tega untuk menilap dana untuk rakyat. Tengoklah kasus sengkarut dana bansos pandemi Covid-19 yang diduga ditilap oleh Menteri Sosial sendiri. Sungguh di luar nalar dan matinya hati. Di sisi yang lain, mahalnya ongkos politik dalam sistem demokrasi menjadi alasan untuk mengembalikan harta yang digunakan dalam pertarungan menuju kursi kekuasaan agar balik modal.
Tidak heran jika pejabat publik dan aparat hukum sekalipun saling bahu-membahu menilap uang rakyat di setiap kebijakan yang dibuat. Aksi korupsi bukan lagi perorangan, tetapi dilakukan dalam skala jemaah. Yang lebih miris lagi, mantan koruptor masih berani “nyaleg” lagi. Entah urat malunya dihempas ke mana.
Hukum demokrasi memang lentur. Hukum bisa dikompromikan tergantung siapa yang berkuasa. Mencermati berbagai kasus korupsi dengan sederet diskon hukuman, kita bisa melihat borok dan bobroknya hukum di bawah sistem pemerintahan demokrasi. Dari lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif sarat dengan kepentingan. Siapa yang berkuasa, dialah pemegang otoritas hukum sesungguhnya. Inilah hukum rimba demokrasi. Hukum berlaku sesuai “pesanan”. Dalam demokrasi, hukum bisa diperjualbelikan. Aturan bisa berganti, korupsi berjemaah juga bisa terjadi.
Sebab, negara lemah melakukan kontrol dan pengawasan terhadap para pejabat dan penegak hukumnya. Jangankan pejabat eksekutif dan legislatif, pejabat yudikatif seperti hakim atau jaksa saja bisa terjerat korupsi. Itu berarti korupsi bukan lagi penyakit perseorangan. Namun, ia penyakit bawaan sistem yang sedang diterapkan, yaitu demokrasi-kapitalisme. Jika tikus sudah merajalela merusak ladang maka yang harus dilakukan adalah membakar ladangnya, bukan membunuh tikusnya.
Jika korupsi sudah menggurita maka yang harus dilakukan adalah mengganti sistemnya, bukan menghukum per individunya. Sebab, sistem inilah yang menjadikan penyakit korupsi bertahan dan menular kepada yang lain. Harus ada kebijakan fundamental bila kita ingin memberantas korupsi secara tuntas. Agar pemberantasan korupsi tidak sekadar mimpi dan ilusi.
Dalam fikih Islam, memang tidak ada istilah khusus untuk korupsi. Modus korupsi bisa berupa penggelapan atau penyelewengan uang negara dan dapat dikategorikan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 31). Masuk dalam kategori korupsi adalah suap-menyuap, atau diistilahkan dengan risywah (rasuah).
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Syakshiyyah Islamiyyah jilid 2 menyampaikan bahwa setiap orang yang memiliki otoritas memenuhi kepentingan masyarakat, maka harta yang diambilnya untuk menjalankan tugas tersebut adalah suap, bukan upah. Modus lainnya yang sering disebut project fee juga terkategori hadiah atau hibah yang tidak sah. Semua modus korupsi tersebut adalah harta yang hukumnya haram dalam Islam karena diperoleh melalui jalan yang tidak sesuai syariat (ghairu al-masyru’). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 117—119).
Sungguh Allah Taala melarang keras memakan harta dengan cara yang batil tersebut. “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 188)
Demikian pula, Rasulullah saw. melaknat perilaku yang demikian. Dari sahabat Abu Hurairah ra., beliau mengatakan, “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)
Islam memiliki cara tersendiri dalam mencegah dan menangani tindak korupsi. Sebab, dalam negara Khilafah, korupsi bukanlah budaya dan kebiasaan yang menjalar di tubuh umat. Ia adalah penyakit yang harus diberantas dengan totalitas hingga seluruh pejabat negara dapat menjalankan amanah rakyat dengan sebaik-baiknya.
Pertama, penanaman akidah setiap individu. Negara akan melakukan pembinaan akidah kepada setiap individu muslim agar terbangun ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan berbekal ketaatan inilah masyarakat akan terjaga dari perbuatan dosa dan maksiat.
Kedua, lingkungan yang mendukung ketaatan. Dengan pembiasaan amar makruf nahi mungkar, masyarakat lah yang menjadi pengontrol dan pengawas setiap perilaku individu. Kehidupan masyarakat Islam yang berorientasi akhirat akan menciptakan individu bertakwa. Ketakwaan komunal inilah yang tidak bisa tercipta di sistem sekuler-demokrasi. Sebab, dalam demokrasi agama bukanlah panduan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Sementara dalam Islam, ketaatan kepada syariat adalah kewajiban yang harus dijalankan pada diri setiap muslim.
Ketiga, waskat (pengawasan melekat). Negara Khilafah akan membentuk Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan.
Keempat, pemberian gaji yang layak bagi pejabat. Ketika gaji cukup, para pejabat tidak akan tergoda berlaku curang. Selain itu, Islam menetapkan penghitungan harta pejabat secara berkala. Jika ada penggelembungan harta tidak wajar, negara akan meminta pertanggungjawaban atas harta tersebut apakah mereka mendapatnya dengan cara halal atau curang.
Kelima, pemberlakuan sanksi tegas kepada para pelaku kecurangan. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman takzir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Demikianlah Islam menetapkan sejumlah tindakan tegas dan terukur, baik dalam pencegahan maupun penanganan terhadap perilaku korupsi dan tindakan kriminal lainnya. Memberantas korupsi di sistem Islam bukanlah mimpi atau ilusi. Namun, fakta yang sudah terbukti tatkala Islam diterapkan secara kafah dalam bingkai negara Khilafah.