Oleh : Nor’alimah, S.Pd
Sebanyak 23 narapidana korupsi menghirup udara segar pada Selasa, 6 September setelah mendapatkan pembebasan bersyarat (PB). Beberapa dari mereka telah mendekam di penjara selama bertahun-tahun. Namun, di antaranya baru menjalani pidana singkat seperti mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari. (Kompas.com – 08/09/2022)
Tidak sedikit narapidana yang bebas itu terlibat kasus korupsi berjumlah miliaran hingga triliunan rupiah. Beberapa di antaranya seperti, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang menyuap hakim Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dan korupsi pengadaan alat kesehatan. Kemudian, Anang Sugiana Sudihardjo dan Sugiharto selaku pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi terpidana korupsi e KTP.
Merespons fenomena ini, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, korupsi tidak lagi menjadi extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sebab, hanya dengan menjalani pidana badan atau kurungan singkat, pelaku korupsi bisa bebas.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan hak asasi warga Indonesia telah tercederai oleh pengkhianatan. Dia pun meminta agar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk turut mempertimbangkan hak asasi dari para korban. Selain itu, Boyamin juga mengingatkan bahwa korupsi adalah suatu kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Dirinya mengaku kecewa dengan pemberian remisi kepada para terpidana korupsi. Dia menilai hal itu menjadi pintu masuk keselewengan penegakan hukum. (Sindonews.com, 10/09/22)
Melihat berbagai kasus korupsi dengan sederet remisi hukuman yang diberikan, menunjukkan sanksi yang diberikan menjadi ringan. Meskipun Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Wamenkumham Eddy Omar Syarief Hiariej mengatakan pembebasan bersyarat terhadap 23 napi Tipikor sudah sesuai dengan Undang-undang atau UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Pada akhirnya sanksi yang diberikan tidak memberikan efek jera. Sekalipun apa yang mereka lakukan telah merugikan rakyat dan negara. Hukuman yang ringan akan memungkinkan pelaku bahkan yang lain untuk melakukan hal yang serupa. Hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas, bisa kita saksikan hari ini. Jika rakyat kecil yang bersalah, hukum ditegakkan dengan tegas. Namun, jika yang melakukan orang yang memiliki jabatan tidaklah demikian.
Korupsi bukan lagi penyakit perseorangan. Namun, perilaku ini telah membudaya. Tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif, legislatif, bahkan lembaga yudikatif. Ia adalah penyakit bawaan akibat penerapan sistem politik yang rusak. Biaya politik yang mahal menyebabkan para pejabat yang terpilih dalam kontestasi politik, akan berusaha mengembalikan modal yang dikeluarkan selama kampanye. Salah satu cara yang paling cepat adalah dengan melakukan korupsi. Inilah realitas hukum sekuler yang tidak berpijak pada halal/haram.
Islam sangat tegas terhadap pelaku kejahatan, meski dia seorang bangsawan atau pejabat. Rasulullah bersabda:
“Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam memiliki cara tersendiri dalam mencegah dan menangani tindak korupsi. Korupsi harus diberantas dengan tuntas. Bagaimana Islam memberantas korupsi?
Pertama, sistem penggajian yang layak. Dalam Islam apparat pemerintah akan diberikan gaji yang layak. Meskipun gaji yang layak tidak menjamin terjadi tidak korupsi. Setidaknya dengan gaji yang layak, tidak menjadi pemicu korupsi
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah atau suap yang diberikan kepada aparat pemerintah, pasti ada maksud tertentu. Diantaranya agar aparat itu bertindak sesuai keinginan si pemberi. Juga akan berpengaruh buruk terhadap mental aparat pemerintah. Sehingga tidak bekerja sebagaimana mestinya.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi tentu memiliki jumlah kekayaan yang terus bertambah dengan cepat. Meskipun orang yang cepat kaya tidak selalu diidentikkan dengan orang yang korupsi . Perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik yang pernah dilakukan di masa Umar bin Khattab menjadi cara yang baik untuk mencegah korupsi.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi akan berhasil bila pemimpin dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Seorang pemimpin akan melaksanakan tugasnya dengan amanah, jika didorong oleh ketakwaan kepada Allah SWT. Ia akan merasa senantiasa dalam pengawasan Allah SWT. Ketakwaan inilah yang ditanamankan oleh pemimpin (Khilafah) kepada seluruh pegawainya.
Kelima, hukuman setimpal. Sistem Islam (Khilafah) akan menerapkan sanksi terhadap pelaku korupsi sesuai ketentuan syariat Islam. Koruptor dikenai hukuman takzir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keenam, adanya kontrol masyarakat. Masyarakat bisa menjadi faktor subur atau tidaknya korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan urusan dengan memberikan suap atau hadiah. Namun, jika masyarakatnya bertakwa kepada Allah mereka bisa melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada para pejabat.
Tentu saja hal ini tidak akan terjadi, manakala sistem islam tidak diterapkan di tengah masyarakat. Pemberian remisi hukuman akan terus berulang. Alih-alih membuat jera, justru budaya korup ini akan terus ada. Tidakkah kita ingin sistem Islam yang berasal dari Allah menjadi solusi atas permasalahan negeri ini? Wallahualam.