
JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menerima pelimpahan berkas perkara tahap I terkait kasus obstruction of justice di kasus pembunuhan Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan berkas perkara itu diterima Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) dari Bareskrim Polri pada hari ini, Kamis (15/9).
Ketut menjelaskan nantinya jaksa peneliti (jaksa P-16) akan memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut selama 14 hari.
“Untuk menentukan apakah berkas perkara dapat dinyatakan lengkap atau belum secara formil maupun materiil (P-18),” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Adapun ketujuh tersangka yang telah dilimpahkan berkasnya merupakan milik tersangka FS atau Ferdy Sambo; BW atau Baiquni Wibowo; CP atau Chuck Putranto; ARA atau Arif Rahman Arifin; HK atau Hendra Kurniawan; AN atau Agus Nurpatria; dan IW atau Irfan Widyanto.
Ketujuh tersangka itu diduga melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 32 ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 UU ITE. Selain itu, mereka juga dijerat Pasal 55 ayat (1) dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke-2 dan/atau Pasal 233 KUHP.
Ia menuturkan selama proses penelitian berkas perkara, jaksa akan berkoordinasi dengan penyidik dari Bareskrim Polri agar proses berjalan efektif. “Guna mempercepat penyelesaian proses penyidikan,” tandasnya.
Sebelumnya, Kejagung telah membentuk tim yang terdiri 43 Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang akan menangani kasus obstruction of justice di kasus pembunuhan Brigadir J.
Tim Jaksa dibentuk usai Kejagung menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus tersebut dari Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri.
“Untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejagung telah menunjuk 43 orang JPU,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (12/9).
Dinilai Jemawa
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menilai mantan Kadiv Provam Polri Irjen Ferdy Sambo merasa kebal hukum, sehingga berani mengeksekusi Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Taufan menduga sumber kejemawaan Sambo itu berasal dari kekuasaan yang dipegang jenderal bintang dua itu.
“Saya mencoba memahami psikologi FS itu. Mungkin karena dia memiliki kekuasaan yang sangat besar. Dia merasa dirinya susah untuk dijerat hukum,” kata Taufan kepada CNNIndonesia.com, Kamis (15/9).
Menurut Taufan, Sambo telah melampaui kesewenang-wenangan kekuasaan atau abuse of power. Sebab, Sambo tidak hanya menggerakkan orang-orang yang ada di Propam Polri.
“Tapi dia juga bisa menggerakkan di lingkungan bawah Propam, juga bisa menggerakkan di Metro Jaya, Reskrim, 90 orang itu kan tidak hanya orang Propam,” ujarnya.
Taufan menyebut Sambo bisa memerintahkan personel untuk mengilangkan barang bukti, merusak tempat kejadian perkara (TKP), sampai membuat skenario-skenario tambahan.
Ia mengatakan hal ini menunjukkan betapa percaya dirinya Sambo bahwa kejahatannya tidak akan terbongkar.
“Itu kan artinya orang ini sangat percaya diri bahwa tindakan kejahatan dia tidak akan terbongkar. Dia meyakini tidak bisa ada orang yang membuka itu,” ucap Taufan.
“Jadi saya katakan ini apa yang dimaksud melebihi abuse of power, seseorang dengan kekuasaan tertentu di luar kekuasaannya,” imbuhnya.
Komnas HAM telah menyerahkan rekomendasi dan simpulan kasus pembunuhan Brigadir J ke pemerintah. Komnas HAM menyebut pembunuhan Brigadir J sebagai extrajudicial killing atau epmbunuhan di luar hukum.
Selain itu, Komnas HAM juga menemukan adanya obstruction of justice atau perintangan penyidikan yang juga didalangi Sambo.
Adapun Brigadir J tewas ditembak di rumah dinas Sambo di Komplek Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, pada 8 Juli 2022. Polisi telah menetapkan lima tersangka, yaitu Sambo, Bripka Ricky Rizal, Bharada Richard Eliezer, Kuat Maruf, dan Putri Candrawathi yang merupakan istri Sambo.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 KUHP juncto Pasal 56 KUHP. web

