oleh : Muhammad Habibullah S. Ag. (Pengamat Sosial dan Agama)
Kabar duka kembali menyelimuti warga pondok pesantren di negeri ini. Berbicara tentang pondok, impresi masyarakat selalu mengarah pada hal-hal positif dan luhur. Misalnya, penjara suci, tempat menimba ilmu agama, tempat membentuk karakter yang tangguh, cakap, dan memiliki budi yang luhur. Namun akhir-akhir ini, masyarakat sosial media teruma, tampak tidak lagi percaya terhadap integritas pondok. Mereka mengalami penurunan kepercayaan terhadap pola asuh pondok yang akhir-akhir ini sering mencuat keranah hukum yang ditengarai oleh pengasuh pondoknya sendiri, seperti kasus pencabulan, kemudian yang baru-baru ini santri diduga melakukan penganiayaan terhadap santri lainnya hingga menyebabkan ia tewas.
Perlu diingat bahwa pondok juga telah sangat berjasa dalam merawat, mendidik, dan menjaga bangsa ini dari berbagai sektor. Santri tidak hanya bergerak di satu bidang saja (red: pendidikan), melainkan juga bergerak disegala lini kehidupan. Mulai dari orang-orang kecil hingga orang-orang besar jiwa santri harus tetap ada dengan ditandai perilaku santun sebagaimana di pelajari di pondok dulu.
Pesantren bagi bangsa ini merupakan suatu pendidikan yang ideal bagi lahirnya generasi bangsa yang unggul. Bahkan secara integratif, pesantren telah mematenkan diri sebagai salah satu elemen bangsa yang memiliki peran penting dalam menegakkan perdamaian dunia. Misalnya saja ketua umum PBNU, Yahya Cholil Stakuf atau yang biasa dikenal sebagai Gus Yahya. Beliau adalah santri atau alumni pondok yang menjadi salah satu pionir perdamaian dunia. Kemudian ada KH Said Aqil Siradj dan Habib Lutfi bin Yahya yang masuk kedalam 500 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia pada tahun 2021, versi The Royal Islamic Strategic Studies Centre dalam tajuk “The World’s 500 Most Influentia Muslim 2021.
Kemudian jika berbicara tentang tradisi atau kebudayaan didalam pondok, ada banyak sekali yang tidak ditemukan di sekolah-sekolah formal. Pondok memiliki karakteristiknya sendiri yang unik, penuh kesan, suka duka maupun kesadaran psikologis lainnya. Ada beberapa tradisi yang kental dengan budaya pesantren diantaranya:
Pertama, sorogan. Di dalam tradisi pesantren, sorogan merupakan proses transfer ilmu yang dilakukan oleh kiai/ustadz terhadap para santri. Sorogan berasal dari bahasa jawa yaitu sorog, yang artinya menyodorkan.
Jadi, santri silih berganti membaca kitab kuning/Al-Qur’annya masing-masing secara individual dan dikoreksi oleh kiai/ustadz terkait cara baca/pemaknaan mereka apakah sudah tepat atau belum. Biasanya, metode ini dilakukan secara duduk melingkar di dalam masjid, diserambi masjid, di depan asrama-asrama maupun di tempat-tempat lainnya di dalam pondok. Metode sorogan ini biasanya tidak lebih dari 20 santri saja. Mengingat pembelajaran yang dilakukan secara sorog, sehingga tidak cukup waktu jika terlalu banyak santri yang diajar.
Kedua, bandongan. Metode bandongan sama seperti metode sorogan, yakni proses transfer ilmu yang dilakukan oleh kiai/ustadz. Jumlah santri yang diajar pun juga bervariasi. Terkadang kurang dari 20 santri, terkadang juga lebih hingga ratusan santri. Bedanya hanya kuantitasnya saja yang lebih banyak. Bandongan berasal dari kata bandong, yang bisa diterjemahkan sebagai pergi berbondong-bondong. Dalam metode bandongan, kiai/ustadz menempati posisi dominan dan aktif. Dengan kata lain, kiai/ustadz membaca, menerjemahkan, dan menjelaskan kandungan kitab kepada santri. Sedangakan santri, menempati posisi pasif, yakni mendengarkan, menyimak, dan mencatat apa yang disampaikan oleh kiai/ustadz.
Ketiga, ghosob. Ghosob merupakan istilah dikalangan santri yang meminjam barang santri lainnya, bahkan ustadznya sekalipun tanpa sepengetahuan si pemilik. Istilah ini sangat populer dan melekat pada istilah “ghosob sandal”. Karena memang kejadian ini sering terjadi dikalangan santri. Jika di pondok saya dulu, dalam rangka mengantisipasi terjadinya saling ghosob-mengghosob, yakni memiliki inisiatif berupa penyeragaman sandal santri sebagai fasilitas pondok. Langkah ini di tempuh guna meminimalisir tradisi ghosob yang tidak diperbolehkan dalam agama.
Keempat, tirakat. Dikalangan santri sendiri, tirakat merupakan suatu tradisi yang tidak jauh dari tujuan menuntut ilmu, menginginkan sesuatu, hingga calon/pasangan hidupnya kelak. Santri rela menderita demi sesuatu yang diingininya dan biasanya dilakukan dengan cara puasa. Puasa yang dilakukan juga bermacam-macam, seperti puasa daud, puasa ngrowot, dan puasa sunnah lainnya dengan tujuan-tujuan tertentu.
Kelima, mayoran. Mayoran merupakan salah satu jenis tradisi yang tidak hanya masyhur di pesantren saja. Namun istilah ini melekat dikalangan santri karena keterbiasaan mereka yang selalu bersama-sama setiap hari mulai bangun tidur, hingga tidur kembali. Tradisi mayoran yang biasa mereka lakukan yakni sebagai rasa kebersamaan dan persahabatan yang solid dikala suka maupun duka. Mayoran juga dapat mempererat tali persaudaraan antar santri dan memupuk hubungan yang kokoh. Biasanya, mayoran di gelar setelah melakukan agenda pondok yang melelahkan atau memenangkan kejuaraan di pondok atau hanya sekedar iseng saja ingin mayoran.
Keenam, setoran, yang juga tidak kalah populer dikalangan santri. Setoran ini biasanya berupa hafalan-hafalan yang telah ditargetkan oleh ustadz atau kakak-kakak santri yang lebih senior. Setoran bisa berupa hafalan surat-surat pendek, doa sehari-hari, mahfudhot, kosa kata baik arab maupun inggris dan lain sebagainya. Jika di pondok saya dulu, ada yang namanya setoran jasus. Yakni setoran nama-nama santri yang melanggar peraturan pondok, seperti tidak berbahasa arab/inggris pada waktu-waktu tertentu, membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya. Jadi, jasus/mata-mata merupakan santri yang melanggar di hari kemarin dan menjadi jasus pada hari ini.
Dan terakhir, Ketujuh, mahkuman/takziran. Mahkuman lebih populer di pondok saya ketimbang takziran walaupun secara pelaksanaan sebenarnya sama saja. Bedanya hanya pada definitifnya saja. Jika mahkuman berasal dari bahasa arab yakni hakama-yahkumu-hukman (masdar), artinya menghukum dan memerintah. Hukum Juga bisa diartikan sebagai memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan suatu masalah. Sedangkan orang yang terkena hukum disebut mahkum. Sementara takziran, juga berasal dari bahasa arab, yakni az-zara, artinya menolak, mencegah atau mendidik.
Hukuman disini bukan sebagai tindakan kriminal. Melainkan sebagai proses pendidikan untuk dapat lebih bertanggungjawab. Banyak diantaranya wali santri yang belum memahami budaya dan tradisi kepesantrenan dalam mendidik santri. Bahkan wali santri tidak segan-segan melaporkan kepihak polisi terkait laporan putra-putrinya yang mendapat hukuman di pondok akibat peraturan yang ia langgar. Inilah yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat bahwa percayakan saja sepenuhnya terhadap pondok. Karena pondok adalah wadah pembentukan jiwa santri, sehingga harus digembleng sedemikian rupa guna membentuk santri yang berkarakter, berpengetahuan luas, dan berbudi luhur.
Kepercayaan masyarakat terhadap pesantren yang mulai memudar, harus segera di pupuk kembali agar pondok semakin kokoh berdiri bersinergi membangun bangsa dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Jangan sampai permasalahan yang telah terjadi hingga timbul ke ranah hukum menjadi trauma masyarakat untuk menitipkan putra-putrinya ke pesantren. Sebagaimana ungkapan Ketua Umum Pimpinan Muhammadiyah, Haedar Nashir, yang mengatakan bahwa “jangan sampai nila setitik, rusak susu sebelanga”, dilansir dari Kompas pada 8 September 2022.
Oleh karenanya, sebagai santri yang sedang menempuh pendidikan di pesantren, maupun yang telah menjadi alumni, jiwa santri harus tetap mendarah daging dimanapun dan sampai kapanpun. Jangan sampai adik-adik kita dan para calon wali santri anti terhadap pondok apalagi sudah tidak percaya lagi terhadap integritas pondok. Naudzbillah!
,