
Negeri ini diakui atau tidak berpotensi akan terus dihantui aksi intoleransi beragama dan kekerasan berkedok agama. Namun demikian kita tegaskan bahwa intoleransi sangat menodai masyarakat Indonesia yang mengaku ramah, sopan, berbudi pekerti, dan tepo seliro. Ini juga bertentangan dengan ciri utama bangsa Indonesia yang mengaku religius, multikultural, dan pluralis.
Sungguh sangat ironis tatkala manusia Indonesia mengaku berideologi Pancasila, tak lagi mengamalkan nilai sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama hanya menjadi tameng untuk melakukan intoleransi dengan dalih menegakkan kebenarannya. Tak cuma itu, akibat pemahaman yang dangkal dan sempit terhadap Pancasila, muncul gerakan radikalisme yang ingin mengubah dengan ideologi agama. Tentu saja itu bertentangan dengan ajaran Pancasila sendiri. “Republik Indonesia bukan negara agama, tetapi negara nasonal, dalam arti meliputi seluruh badannya natie Indonesia,” kata Bung Karno.
Atas nama pemahaman dan keyakinan beragama, sebagian di antara kita tega untuk menganggap mereka yang berbeda harus dipinggirkan dan dizalimi. Kebenaran yang diperjuangkan terasa begitu dangkal. Harga diri manusia menjadi sedemikian murah. Ketenangan orang lain tak diindahkan.
Beragam berita mengenai penyerangan berkedok agama terhadap kaum minoritas di Tanah Air merupakan perlawanan terhadap kebinekaan, keberagaman, dan hukum alam. Kita sering terpaku pada stereotipe bahwa kekuatan massa merupakan alat penekan yang seolah-olah berada di atas hukum. Hasilnya hanyalah kerusakan, kesengsaraan, penderitaan, dendam, dan trauma berkepanjangan. Kenyataan itu masih menunjukkan bahwa persoalan keagamaan masih rawan terhadap segala upaya pemaksaan dan kekerasan.
Apa pun perbuatan manusia, meskipun bertujuan demi kebaikan dan menumpas kejahatan, tidak boleh dilakukan dengan kekerasan dan pemaksaan. Tindakan kekerasan berkedok agama sebetulnya sama saja dengan membajak nama Tuhan untuk tujuan-tujuan rendah, sesaat, dan bersifat komunal meski dengan dalih penegakan syariat dan ketauhidan. Tidak dimungkiri, saat ini, masih banyak berkeliaran kelompok-kelompok yang intoleran. Mereka dapat disebut sebuah gerakan antinasionalisme (Ahmad Fuad Fanani, 2006).
Kalaupun aksi intoleransi beragama dilakukan kelompok Islam ekstrem atau keras, hal itu juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Nabi Muhammad berpesan, “Sesungguhnya aku diutus membawa agama yang hanif dan mudah.” Dalam QS. Al-Anbiya’ (21): 107 ditegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk menebar kasih sayang bagi semua makhluk. Ayat lain yang menunjukkan sikap toleransi Islam adalah “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah (2): 256) serta “Untukmu agamamu dan untukku agamaku” (QS. Al-Kafirun (109): 6).
Milik Semua
Negara Indonesia didirikan bukan hanya untuk kelompok, suku, agama tertentu, tapi milik semua. Semua warga negara dijamin mendapat perlakuan sama di mata hukum. Konstitusi dan berbagai peraturan telah menjamin kebebasan setiap warga untuk beribadah dan menjalankan keyakinan beragama. Hanya, sayang, realitasnya negara tidak hadir di setiap ada kekerasan bernuansa agama.
Apakah negara takut atau memang melakukan pembiaran terjadinya kekerasan agama? Jika demikian, keadaban bangsa yang menjamin keanekaragaman budaya, suku, dan agama akan dihancurkan.
Sejak awal, konstruksi bangunan bangsa adalah majemuk dan plural yang terikat dalam wadah Bhinneka Tunggal Ika. Konstruksi demikian sejalan dengan bingkai paham multikultural. Suatu bangsa majemuk akan terjalin secara baik manakala tiap-tiap kelompok mengakui dan mendukung keberadaan kelompok lain.
Kemajemukan merupakan keniscayaan sosial dan hukum alam. Manusia berasal dari berbagai suku, ras, etnik, agama, dan kebudayaan. Hasil cipta, rasa, dan karsa manusia pun beragam, termasuk penafsiran atas agama. Itu sebabnya banyak sekali aliran dalam agama-agama.
Oleh karena itu, aksi dan tindakan intoleransi beragama harus diantisipasi dan diminimalkan, bahkan dihapuskan dari negeri ini. Siapakah yang berperan untuk menciptakan situasi sedemikian? Jawabannya kita semua. Semua harus berperan, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Semua pemilik bangsa ini penopang kehidupan di masyarakat. Maka, menjadi tugas dan tanggung jawab segenap masyarakat menjaga dan memelihara kedamaian. Pemerintah harus menindak tegas jika ada kasus kekerasan beragama. Aparat keamanan dan pengadilan harus menghukum pelaku secara tegas agar jera. Negara jangan kalah dengan para pelaku intoleransi atau kelompok tertentu. Tugas dan fungsi negara melindungi seluruh warga negara.
Selanjutnya, membangun komunikasi terbuka dan mengembangkan sikap egalitarianisme, kebersamaan, toleransi, serta dialog menuju kerja sama dalam menyelesaikan proyek-proyek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Negara juga harus punya sistem deteksi dini kekerasan berkedok agama sehingga potensi intoleransi dan tindakan destruktif dapat ditangkal. Pemerintah harus menghapus berbagai ketidakadilan.
Sudah saatnya berbagai pihak mengupayakan lebih komprehensif dan terarah untuk menciptakan kehidupan sosial keagamaan yang toleran dan damai. Dengan begitu, akan terhindar bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu.