
JAKARTA – Yanto (47) sibuk merapihkan susunan botol yang diisi dengan BBM jenis Pertalite di dalam dua buah rak merah. Dia menjajakan bensin eceran tersebut di pinggir jalan raya.
Seliter Pertalite dalam sebuah botol kaca bekas minuman soda itu dijualnya seharga Rp10 ribu. “Lumayan dapat untung Rp2.350 per liter dari setiap botol bensin yang terjual,” katanya.
Jika diakumulasi rata-rata bensin yang terjual sebanyak 40 botol per hari, maka Yanto bisa mengantongi untung Rp94 ribu per hari. Sementara, ia membeli Pertalite dengan harga normalnya, yakni Rp7.650 per liter.
Modalnya pun tak banyak, hanya tancap gas ke SPBU terdekat yang berjarak kurang dari 300 meter dari tempat tinggalnya. Ia mengisi bensin untuk sepeda motor, kemudian mengurasnya dengan selang dan dipindahkan ke botol-botol kaca tersebut.
Hanya butuh beberapa kali bolak balik, Yanto bisa mendapatkan 40 liter dalam sehari untuk dijual kembali ‘lapak’ keesokan harinya. “Kita nggak beli pakai jeriken, takut ada razia atau pengawas nanti repot,” imbuhnya bercerita.
Yanto tak sendirian berjualan bensin eceran. Ada beberapa ‘pengecer’ Pertalite di sepanjang jalan itu.
Edi, pengecer bensin lainnya, menjajakan dagangannya hanya selang 50-100 meter dari ‘lapak’ Yanto. Serupa, Pertalite yang dijualnya juga Rp10 ribu per liter.
Ia mengaku banyak pengendara sepeda motor yang mampir ke lapaknya untuk sekadar mengisi 1-2 liter Pertalite. “Soalnya kan kalau isi cuma 1-2 liter di SPBU dekat sini, antreannya panjang banget. Kadang orang buru-buru dan malas antre, jadi lumayan kita membantu,” jelasnya.
Namun, Edi menampik bahwa lapaknya muncul jelang kebijakan pemerintah menaikkan harga Pertalite dan Solar. Ia mengklaim sudah melakoni ‘profesinya’ tersebut saat bulan puasa 2022.
Ia juga membantah berdagang bensin eceran karena antrean SPBU yang mengular saat ini. “Saya dagang sudah 3-4 bulan ini, karena memang nggak ada kerjaan,” tutur Edi. cnn/mb06