oleh : Misliani A. SP (Pemerhati Pendidikan)
Harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi tak jadi naik pekan depan. Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa kenaikan harga BBM subsidi tak dilakukan dalam waktu dekat ini. Sepertinya sebuah Kabar gembira yang enak didengar oleh rakyat. Padahal sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pekan depan Presiden Joko Widodo kemungkinan akan mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi. Kenaikan itu harus dilakukan agar tak terus membebani APBN (ekbis.sindonews.com, 21/08/2022).
Bahkan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan, hanya ada dua upaya yang bisa dilakukan pemerintah selain menaikan harga BBM bersubsidi. Dua hal tersebut yakni pembatasan konsumsi Pertalite dan solar subsidi, atau menambah anggaran subsidi. Bendahara negara itu mengatakan bahwa jika pemerintah tidak menaikkan harga BBM subsidi khususnya Pertalite dan solar, maka konsekuensinya harus ada tambahan subsidi sebesar Rp198 triliun . “Kalau kita tidak menaikkan BBM, kalau tidak dilakukan apa apa, tidak ada pembatasan, tidak ada apa-apa, maka Rp 502 triliun nggak akan cukup,” kata Sri Mulyani (SINDOnews.com, 24/8/2022).
Sebagaimana diketahui, tingginya harga minyak mentah dunia mendorong naiknya gap harga keekonomian dan harga jual Pertalite dan Solar. Kondisi tersebut akan berdampak pada kenaikan subsidi dan kompensasi energi. Hingga saat ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menanggung subsidi dan kompensasi energi mencapai Rp 502 triliun. Tanpa ada penyesuaian kebijakan, angka tersebut bisa meningkat melampaui Rp. 550 triliun pada akhir tahun (SINDOnews.com, 23/08/2022).
Jika mencermati kondisi tersebut, maka penundaan kenaikan harga BBM bersubsidi ini bersifat sementara, bahkan sejatinya tetap akan naik akibat imbas naiknya harga minyak dunia. Jika demikian halnya, maka adanya penundaan ini hanyalah cara pemerintah meredam gejolak public. Bagaimana tidak! Telah banyak sebagian masyarakat yang menolak jika terjadi kenaikan BBM bersubsidi.
Seperti Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) M. Abdullah Syukri menolak tegas rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi seperti Pertalite dan solar. Mereka melihat kenaikan itu akan memberatkan masyarakat. Abe, panggilan akrabnya, menegaskan wacana itu justru memperparah angka kemiskinan di Indonesia. Ia malah menilai hal itu tidak lepas dari adanya mafia migas. Terlebih berdasarkan catatannya, pendapatan migas di Indonesia surplus.
“Alih-alih hanya mengambil kebijakan di sisi hilir yang langsung berdampak ke masyarakat. Lebih baik baik pemerintah fokus pembenahan di hulu, seperti memberantas sindikat mafia bahan bakar dan pengawasan pendistribusian BBM yang tepat sasaran,” kata Abe (SINDOnews.com, 21/08/2022).
Sementara itu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menolak wacana kenaikan harga BBM bersubsidi dengan alasan subsidi energi BBM sudah lebih dari Rp500 triliun. Pandangan ini ditegaskan oleh Anggota Banggar dari Fraksi PKS, Sukamta. “Alasan pemerintah bahwa subsidi BBM tahun 2022 sudah mencapai Rp500 trilliun itu tidak benar. Subsidi energi tahun 2022 sebesar Rp208,9 triliun itupun terdiri dari subsidi BBM dan LPG pertamina Rp149,4 triliun serta subsidi listrik Rp59,6 triliun.
Pemerintah seharusnya jujur, bukan membuat framing utang,” ujar Sukamta. Ia juga menyebutkan, sisa Rp343 triliun digunakan untuk membayar utang kompensasi alias utang pemerintah ke Pertamina dan PLN tahun 2022 sebesar Rp234,6 triliun dan utang tahun 2021 sebesar Rp108,4 triliun. “Kompensasi ini alasannya untuk mendukung operasional Pertamina dan PLN dalam menyediakan BBM subsidi. Jadi ini subsidi ke Pertamina dan PLN bukan ke rakyat,” ucap Sukamta. Ia mengaku miris melihat kompensasi yang diberikan kepada PLN dan Pertamina sebagian besar untuk membayar utang BUMN tersebut dan untuk menanggung beban umum dan administrasi perusahaan termasuk membayar gaji-gaji direktur, komisaris dan manajemen. “Pertamina saja beban umumnya sangat besar mencapai Rp29 trilliun pada tahun 2021.
Tahun 2022 angkanya kemungkinan tidak akan berbeda jauh,” kata dia. Ia melihat, pemerintah membuat pesan agar ada alasan utang pemerintah ke Pertamina dan PLN dibayar oleh rakyat. “Dalihnya terlalu banyak subsidi BBM yang mencapai Rp500 triliun. Padahal pemerintah ini tidak sanggup membayar utang ke Pertamina dan PLN,” tuturnya (SINDOnews.com, 23/08/2022).
Selain itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan bahwa serikat buruh akan mengancam melakukan demonstrasi (Mogok Nasional) serentak di 34 wilayah provinsi 440, kabupaten/kota untuk menolak kenaikan BBM dan omnibus law awal September 2022. Jika Presiden Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis pertalite dan solar. Mogok juga akan dilakukan apabila ada pemaksaan, kami akan lakukan mogok nasional. Upah kami tahun ini hanya naik 1% padahal inflasi sudah 4,9%,” kata Iqbal .Ia juga membeberkan beberapa alasan mengapa serikat buruh menolak rencana kenaikan komoditas tersebut. Pertama, kenaikan harga BBM akan mengakibatkan lonjakan inflasi yang diprediksi bisa tembus di angka 6,5%. “Kenaikan harga BBM akan mengakibatkan inflasi yang tajam, dan harga Pertalite yang katanya dipatok Rp10 ribu akan membuat inflasi tembus di angka 6,5%,” kata Iqbal. Menurut dia, akibatnya daya beli masyarakat akan turun. Apalagi, sudah tiga tahun berturut-turut buruh pabrik tidak naik upah minimumnya.
“Kenaikan harga BBM yang tidak diimbangi dengan kenaikan upah, sampai 5 tahun mendatang karena omnibus law, itu akan membuat daya beli anjlok 50% lebih. Kami pro-subsidi dan jaminan sosial,” katanya.
Kedua, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kenaikan harga barang-barang dipicu oleh harga BBM. PHK terjadi karena perusahaan akan memangkas operasionalnya lantaran harga energi naik.
Ketiga, dalih pemerintah menaikkan harga BBM dengan alasan di negara lain sudah lebih mahal. Ia mengatakan membandingkan harga BBM Indonesia dengan negara lain tanpa melihat income per kapitanya tidak tepat.
Keempat, jika alasan kenaikan pertalite dan solar subsidi ini karena lingkungan, katanya, ini akan sangat tidak tepat. Selama ini, kata Said Iqbal, industri besar masih memakai batu bara dan diesel (SINDOnews.com, 23 /08/2022).
Indonesia, diketahui, hingga saat ini nyaris 75% kebutuhan BBM dalam negeri dipenuhi dari impor. Sementara untuk kebutuhan LPG, impor mencapai 80%. Adapun alokasi subsidi energi pada 2022 mencapai Rp134 triliun, terdiri dari BBM dan LPG Rp77,5 triliun serta listrik Rp56,5 triliun.
Namun, dengan adanya perubahan harga keekonomian, dengan asumsi ICP USD 100 per barel, maka subsidi energi menggelembung menjadi Rp208,9 triliun atau naik Rp74,9 triliun untuk BBM dan LPG.
Jumlah ini memang terhitung besar. Apalagi jika dihitung dengan biaya kompensasi BBM, anggaran subsidi energi bisa mencapai sekitar Rp280 triliun. Angka ini naik dua kali lipat dari perencanaan awal pada APBN 2022, yakni sekitar Rp140 triliun (MNews.net.com,12/07/2022)
Kebutuhan terhadap impor ini akhirnya menjadikan harga BBM distandarkan terhadap harga minyak dunia. Di satu sisi memang cukup memberatkan APBN. Di sisi lain, keluhan dan keengganan pemerintah untuk menanggung subsidi BBM ini menunjukkan bahwa pemerintah menganggap subsidi BBM adalah beban keuangan yang harus dipangkas bahkan dihilangkan. Hal ini selaras dengan filosofi ideologi kapitalisme neoliberal yang memuja ekonomi pasar dan antisubsidi.
Pembatasan konsumsi BBM bersubsidi adalah langkah awal dari penghapusan subsidi oleh negara kapitalis neoliberal. Dengan demikian, pada hakikatnya, pembatasan pembelian Pertalite dengan menggunakan cara pemakaian aplikasi untuk pembelian merupakan kebijakan yang lahir dari rahim kapitalisme neoliberal.
Dengan demikin, pengaturan subsidi dan beratnya beban APBN akibat subsidi, sebenarnya adalah alasan membawa negeri ini dalam pengelolaan liberal secara total.
Oleh karenanya, jelas sudah, akar problem mahalnya/naiknya harga BBM ini sejatinya terkait dengan soal sistem dan paradigma riayah (pengurusan) umat. Dalam sistem kapitalisme neoliberal saat ini, riba dan liberalisasi adalah penopang ekonomi, sedangkan hubungan negara dengan rakyatnya hanyalah hubungan penjual dengan pembeli. Dimana peran negara bukanlah sebagai pengurus rakyat. Tetapi peran tersebut lebih menonjol pada swasta atau perusahaan besar. Sementara negara hanya lebih sebagai regulator dan fasilitator..
Oleh sebab itu, lumrah jika negara memperlakukan sumber daya milik umat sebagaimana maunya. Pilihannya, ambil keuntungan dari “pihak swasta atau asing” dan margin dari importasi yang terikat sistem moneter ribawi. Kalau rakyat perlu, mereka harus membeli, tentu dengan margin keuntungan yang lebih tinggi.
Paham sekularisme yang mendasarinya jelas tidak mengenal konsep halal/haram dan moral kasih sayang. Tidak heran jika semua aturan yang lahir darinya jadi serba liberal. Muncullah slogan, “Siapa kuat, ia yang menang.” Adapun negara atau penguasa hanya bertindak sebagai wasitnya, atau bahkan bersama para pemodal, menjadi lawan bagi rakyatnya.
Kondisi di atas tentu berbeda jauh dengan Islam. Islam tegak di atas landasan iman dan mengajarkan tentang segala kebaikan. Walhasil, aturan Islam benar-benar menjamin kemaslahatan bagi seluruh alam.
Sumber daya energi dan produk turunannya termasuk dalam kategori kepemilikan umum (milkyyah ‘ammah). Rasulullah úý bersabda, “Sesungguhnya umat Islam berserikat dalam tiga perkara: air, api, dan padang gembalaan.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Terkait energi termasuk BBM, Islam menetapkannya sebagai milik umat sebagaimana sumber daya air dan padang gembala (termasuk sumber daya hutan). Adapun pengaturannya adalah Islam memasukkannya dalam kerangka kewajiban negara mengurus dan menjaga umat, yakni dalam strategi politik ekonomi yang diterapkan.
Dalam Islam, kesejahteraan rakyat orang per orang benar-benar menjadi perhatian utama. Tugas pemimpin atau negara adalah mewujudkannya dengan sempurna. Tidak boleh ada satu pun rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, mulai dari pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan sebagainya. Juga kebutuhan atas sumber-sumber energi untuk memenuhi bekal hidup sehari-hari.
Selain itu, Islam menetapkan sumber-sumber energi tidak boleh dikuasai swasta, apalagi asing, mulai hulu hingga hilir. Negara sebagai wakil umat diwajibkan mengelolanya dengan baik dan memberikan manfaatnya kepada rakyat sebagai pemiliknya yang hakiki secara mudah dan murah, bahkan gratis.
Dalam hal ini, selain kemudahan akses bagi seluruh rakyat, prinsip pengelolaan energi juga tidak boleh bertabrakan dengan amanah penciptaan manusia di muka bumi, yakni sebagai khalifah yang wajib melestarikan dan menjaga bumi dari kerusakan dan kebinasaan.
Dengan demikian, eksplorasi sumber-sumber energi oleh pemerintahan Islam tidak akan menimbulkan kemudaratan sebagaimana dalam paradigma kapitalisme saat ini. Selain sangat eksploitatif, sistem kapitalisme juga sangat destruktif. Wajar jika dalam sistem ini muncul berbagai isu lingkungan, seperti efek rumah kaca, polusi, perubahan iklim, dan sejenisnya.
Negara dalam Islam pun akan menyediakan semua hal yang dibutuhkan untuk merealisasikan ketahanan dan kedaulatan energi ini. Dengan demikian, negara Islam akan terhindar dari ketergantungan pada negara asing dan tidak bisa didikte dengan isu energi.
Misalnya, menjamin ketersediaan tenaga ahli melalui sistem pendidikan yang mumpuni. Juga menyediakan infrastruktur dan teknologi canggih beserta lembaga riset yang produktif dan inovatif sehingga sumber-sumber energi yang lebih beragam bisa terus dikembangkan, dan lain-lain.
Semua itu tentu ditopang dengan sistem-sistem aturan Islam yang lain, terutama sistem pemerintahan Islam yang berdaulat dan mandiri, terbebas dari intervensi asing. Juga oleh sistem ekonomi yang antiriba dan berkeadilan, serta sistem keuangan Islam (baitulmal) yang kukuh dan stabil.
Negara dalam hal ini akan memiliki sumber-sumber pemasukan yang sedemikian beragam sehingga negara punya banyak modal untuk menyejahterakan rakyatnya serta melakukan apa pun demi merealisasikan kedaulatan energi tadi. Apalagi ditopang pula oleh sistem moneter berbasis emas-perak yang antiinflasi dan kuat, termasuk di hadapan mata uang asing.
Saat ini, umat Islam memang tidak hidup dalam ruang yang kosong. Problem-problem terkait energi sudah seperti benang kusut yang tampak sulit diurai. Hal ini tidak lain merupakan dampak dari bercokolnya sistem kapitalisme global yang destruktif dan eksploitatif
Oleh karenanya, selama negeri ini masih berkiblat pada kapitalisme dan mengambil segala kebijakan Barat sebagai keputusannya, masyarakat tidak akan pernah bahagia. Rakyat akan terus tertindas dan tersakiti karena dasar penentuan kebijakan adalah keuntungan saja. Apalagi dengan tetap akan menaikan harga BBM. Jadi, jika ingin rakyat bahagia, hanya Islam yang dapat menjaminnya. Allah Swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al-Anfal: 24)
Wallahu’alam bisshowab.