Rabu, Agustus 20, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Pendidikan di Indonesia: Antara Harapan dan Realitas

by matabanua
28 Agustus 2022
in Opini
0
D:\Data\Agustus 2022\2908\8\Samsuddin.jpg
oleh : Samsuddin S.Pd (Mahasiswa SPs Jurusan Sosiologi Pedesaan IPB)

Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk belajar dari ketidaktahuan menjadi tahu, proses ini disebut sebagai pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan dalam hal ini proses pencapaian mengenal lingkungan masyarakat.

Sejatinya pendidikan dapat mengembangkan bakat seseorang dalam ranah individu, yang bertujuan agar tiap manusia bisa secara terhormat ikut serta dalam pengembangan manusia dan masyarakatnya terus menerus mencapai martabat kehidupan yang lebih tinggi. Terbilang pada tahun 1945 sampai sekarang usia bangsa Indonesia telah menapaki perjalanan selama 77 tahun, usia yang tidak lagi muda untuk menjalani proses perjalanan memberikan regenerasi penerus bangsa ini, seperti halnya cita-cita kemerdekaan yang digagas oleh para bapak pendiri bangsa (founding fathers) menjadi tanggung jawab kita untuk mengokohkan pondasi tonggak-tonggak perjuangan pengerak nasional tersebut.

Artikel Lainnya

D:\2025\Agustus 2025\20 Agustus 2025\8\8\Gennta Rahmad Putra.jpg

Dua Sisi Artificial Intelligence dalam Pembangunan Berkelanjutan

19 Agustus 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Indonesia Masih Dijajah

19 Agustus 2025
Load More

Sebenarnya, apabila kita membahas pendidikan di Indonesia tidak akan habis-habisnya, mulai dari komponen tenaga pendidik, kurikulum, sarana dan prasaran sekolah. Namun untuk meminimalisir hal tersebut beberapa program pemerintah digiatkan yang tujuannya tidak lain untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul. Salah satu alasan bagi pemerintah atau yang sering kita dengar adalah masih belum adilnya pemerataan pembangunan fisik maupun non fisik untuk menopang pendidikan, dikarenakan batas wilayah Indonesia yang sangat luas. Terhitung dari bulan lalu Indonesia memiliki 34 provinsi, sekarang jumlah provinsi di Indonesia berjumlah 36 provinsi, alasan pembentukan ini digaungkan pemerintah adalah pemekaran di daerah papua.

Anggaran keuangan untuk membakar semangat yang dikucurkan pemerintah. Dikutip dari CNBC Indonesia terhitung dari tahun 2022 berjumlah Rp 621,3 Triliun sedangkan anggaran tahun ini lebih besar dibandingankan tahun lalu yang hanya berjumlah Rp550 triliun. Penambahan anggaran ini didasari adanya pertimbangan-pertimbangan sesuai kebutuhan dari keadaan pendidikan. Dalam prosesnya, kalau kita kilas balik, bagaimana Indonesia mencapai umur 77 tahun sekarang ini butuh perjalanan yang panjang, pendidikan dinyatakan agar tujuannya selaras dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

Sekolah, Perguruan Tinggi yang semula merupakan pelayanan publik, bergeser menuju privatisasi pendidikan yang berujung komersialisasi. Sebagai investasi jangka panjang dalam pembangunan, pendidikan harus menghindarkan dampak negatif yang ditimbulkan laju arus globalisasi yang merebak bebas menerobos batas-batas diri pada masyarakat. Sejatinya pendidikan yang diutarakan dapat menjadikan seseorang insan yang bertanggung jawab terhadap diri umat dan bangsa. Kontribusi inilah yang akan menjadikan tujuan dari pendidikan yang dapat mencerdaskan berjalan sesuai rel yang ditentukan.

Pendidikan disebut-sebut sebagai pondasi dalam berbangsa dan bernegara agar dapat membentengi diri dari arus luar perkembangan yang sangat pesat inilah yang tidak dapat diakses diberbagai daerah di Indonesia. Pemerataan pembangunan salah satu yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang belum selesai dikerjaan, diberbagai daerah di Indonesia sebut saja yang masih menduduki status kedaerahan 3 T.

Pemerataan pembangunan akses fasilitas maupun sarana-prasarana masih sangat minim, kita sadari bahwa di daerah perkotaan pemerintah dengan asik menyeimbangkan fasilitis sedangkan di daerah lain masih ada beberapa sekolah yang tidak diperhatikan bahkan bisa jadi dikatakan tidak dianggap. Ironi inilah yang menyebabkan tujuan dari pendidikan hanya sebatas angan-angan belaka para penguasa.

Biaya untuk mencicipi pendidikan, pada beberapa sekolah maupun Perguruan Tinggi, ada yang menerapkan biaya untuk mengenyam pendidikan. Pendidikan yang tujuannya untuk adalah proses humanisasi (memanusiakan manusia) telah berubah menjadi dehumanisasi atau secara tidak langsung telah mengupayakan pemunduran hakikat kemanusiaan yang mempu mengaktualisasikan dirinya dan mampu menghadapi kontradiksi – kontradiksi dalam kehidupan. Ada kalanya telinga kita mendengar bahwa terjadi dalam suatu keluarga terjadi keributan dikarenakan permasalahan biaya pendidikan dan ada kalanya kita juga mendengar pada beberapa kasus terjadi pemberhentian secara paksa untuk melanjutkan pendidikan yang disebabkan biaya pendidikan yang tidak lagi dapat dijangkau oleh masyarakat secara umum. Kebiasaan ini umumnya dimasyarakat kita sudah tepolarisasi bagaiamana pendidikan tidak lagi dipandang sebagai yang akademik tetapi dilihat dari status sosial yang membuat kelas sosial secara vertikal sehingga menyebabkan adanya kesenjangan sosial yang menutup kemungkinan hanya beberapa kelas sosial yang dapat mencicipi dunia pendidikan. Biaya pendidikan menjadi mahal sehingga tidak terjangkau oleh rakyat miskin dan hanya terjangkau oleh orang kaya.

Abu-abunya output pendidikan, secara sederhana para kaum cendikiawan (mahasiswa) mendefinisikan tujuan mereka bersekolah atau kuliah untuk mendapatkan akses ke dunia pekerjaan. Polarisasi inilah yang menyebabkan pendidikan sebatas masuk kedapan dunia formal yang menjadi pra-syarat untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Guru merupakan sosok profesi yang mengemban status untuk dihormati dalam kehidupan masyarakat, tenaga pendidik ini yang kemudian dituntut sebagai “agen percontohan” agar ditiru oleh anak muridnya. Namun kalau kita membahas tentang guru, yang timbul dibenak kita adalah upah bulanan yang diterima tiap bulannya.

Honor perbulan yang guru terima inilah yang selanjutnya menjadi permasalahan dalam dunia pendidikan, padahal bisa kita bayangkan peran dari guru amat sangat terang benderang dapat menghantarkan beberapa tokoh publik di bumi pertiwi, dimana guru mengajarkan dari huruf A-Z berhitung dari angka 0-10 diajarakan demikian sabar agar penerus dan pondasi bangsa tidak lagi ambruk. Realitas yang tampak adalah sosok yang menjadi ujung tombak bangsa dalam mencetak penerus ini ternyata dikesampingkan dari berbagai profesi lain.

Gaji guru honorer seorang guru ini tidaklah mencukupi menutupi kekosongan isi perut, yang kemudian harus dituntut ekstra mentransfer ilmu-ilmu. Ironi ini telah merusak nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, bagaimana tidak peran guru dilupakan sekejap setelah mendapati singgah sana penguasa, bagaimana mungkin seseorang dapat melupakan jasa dari peran seorang guru kalau transfer nila-nilai itu tercapai. Artinya adalah seharusnya para pemangku kebijakan harus memperjuangkan hak yang seharusnya diperjuangkan, mengingat kontribusi nyata seorang guru untuk membangun pondasi berbangsa dan bernegara.

Corengan-corengan dunia pendidikan yang membuat pendidikan lebih tampak jelas tidak lagi pada alur relnya yakni untuk memanusiakan manusia, hal ini terlihat dan jelas ketika pemberitaan pada beberapa lembaga pendidikan yang melakukan perbuatan yang tidak semestinya. Pada kasus ini seolah-olah membelokkan niat murni dari dunia pendidikan, sebut saja kasus kenalakan remaja, aksi pembunuhan antara anak dan ibu, tindak asusila diranah pendidikan, penyalahgunaan narkoba, bahkan yang baru-baru ini tersandungnya OTT di sebuah Perguruan tinggi. Realitas ini membuat kita bertanya-tanya ada apa sebenarnya dalam dunia pendidikan kita, kepada siapa kita akan berkiblat kebaikan kalau pemberi wadah saja dapat terjerat tindakan menyimpang.

Namun dibalik dari kasus-kasus tersebut, peran dari guru membentuk dan mendidik anak muridnya sukses dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendidik, kita lihat saja secara umum banyak dari elemen masyarakat menerapkan transfer nilai-nilai yang didapatkan ketika mengenyam dunia pendidikan. Bisa dikatakan Indonesia menapaki umur yang ke 77 tidak lepas dari peranan dari seorang guru yang dengan ikhlas memberikan, mendidik, dan memberikan contoh baik bagi generasi-generasi selanjutnya.

 

 

Tags: Mahasiswa SPs Jurusan Sosiologi Pedesaan IPBpendidikanSamsuddin
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA