
JAKARTA – Holding BUN pangan ID Food mendorong perbaikan ekosistem industri perunggasan, khususnya industri telur ayam ras, agar tercipta stabilitas harga.
Direktur Utama ID Food Frans Marganda Tambunan mengatakan, persoalanharga telur ayam ras kerap berfluktuasi sepanjang tahun.
Dia mengatakan, kenaikan harga telur setiap tahun bahkan terjadi tiga hingga empat kali. “Ini pekerjaan rumah untuk komoditas bahwa kita belum punya kestabilan produksi dan harga. Selu tiga hingga empat kali setahun naik-turun harganya, seperti roller coaster,” kata Frans di Jakarta.
Frans menuturkan, salah satu sumber masalah harga telur ataupun komoditas lainnya yang kerap berfluktuasi akibat tidak adanya integrasi rantai pasok dri hulu ke hilir. Hal itu dari saat proses produksi, pascapanen, hingga di tingkat konsumen.
Saat ini, harga telur ayam ras pun kembal meningkat. Frans menuturkan, ada kemungkinan hal itu dipicu oleh realisasi program bantuan sosial dari pemerintah yang meningkatkan permintaan telur dari para pternak layer.
“Ini dilema. Ini pun tidak bisa dipecahkan oleh RNI (induk ID Food) sendiri. Kita akan angun ekosistem agar produktivitas sepanjang tahun (stabil),” katanya.
Ia mengatakan, ID Food bersama Badan Pangan Nsional (NFA) juga masih membuat perencanaan cadangan pangan nasional ke depan. Cadangan pangan diperlukan agar fluktuasi hara pangan bisa diperkecil. Hal itu juga akan membantu para petani maupun peternak yang juga menginginkan ada stabilitaharga.
Di sisi lain, ia meminta masyarakat agar memahami bahwa kenaikan harga telur yang terjadi tidak selalu karna peternak sedang mengambil keuntungan tinggi. “Beberapa bulan yang lalu kita tahu harga sempat anjlok hingga Rp 17 ribu-Rp 18 ribu per kg (di konsumen) dan ini rugi besar,” katanya.
Saat ini, ID Food mencatat, rata-rata biaya produksi telur di tingkat kandang minimal sekitar Rp 19 ribu per kg. Harga acuan telur ayam di tingkat konsumen sebesr Rp 24 ribu per kg. Sementara, harga riil telur ayam saat ini mencapai Rp30 ribu per kg. “Biasanya, kalau harga rendah kita lakukan penyerapan, tapi kalau harga tinggi kita harus berkoordinasi dengan pemerintah untuk operasi pasar,” ujar dia.
ID Food menargetkan dapat menyumbang 5-10 persen dari total kebutuhan pangan nasional di Indonesia. Target tersebut dinilai cukup bagi ID Food agar mampu melakukan intervensi ketika terjadi gejolak harga pangan secara nasional.
“Kita bisa melakukan intervensi pasar kalau BUMN itu punya kontribusi minimal lima sampai 10 persen d pasar. Sehingga, kalau ada gejolak, pemerintah bisa intervensi,” kata Frans.
Ia mengatakan, rata-rata gejolak harga pangan yang kerap terjadi karena sebagian besar suplai dikuasai oleh pihak swasta. rep/mb06
,