Oleh: Rif’ah Radhiyati, S.Pd. (Guru di Kabupaten Banjar)
Pendidikan vokasi menjadi primadona kebijakan Kemendikbud berkaitan dengan dunia pendidikan. Pendidikan vokasi tidak hanya menyasar pendidikan menengah SMK, tapi juga Pendidikan Tinggi. Dengan target generasi muda memosisikan pemuda di garda terdepan sebagai “ujung tombak” pemulihan ekonomi. Bukan saja menempatkan pemuda menjadi garda terdepan menghidupkan ekonomi riil melalui program petani milenial, e-commerce, santripreneur, youtuber dan sebagainya, pemerintah juga tengah menyeret pemuda menghidupkan ekonomi nonriil dalam pasar modal.
Target Utama Pendidikan Vokasi
Jika kita jeli memerhatikan, tampak jelas bahwa target utama pendidikan vokasi adalah menyiapkan siswa masuk dunia kerja dan dunia industri. Sekilas mungkin orang akan berpikir, ini merupakan solusi mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Tidak terbesit dalam benak sebagian besar orang kalau pendidikan vokasi ini justru menjadikan anak negeri ini menjadi “buruh” di negeri sendiri. Berkaitan dengan mencetak tenaga “buruh”, menjadi wajar karena target lulusannya adalah memenuhi kepentingan dunia usaha dan industri.
Untuk lulusan vokasi, ketika lulus, walaupun tidak semuanya, pilihan kerjanya adalah pegawai. Misalnya, siswa jurusan mesin, maka pilihan kerja adalah mekanik dan reparasi, jurusan DKV sebagai desain grafis, dan lain-lain. Kalau untuk vokasi PT, bidang kerjanya juga sesuai dengan jurusannya.
Misalnya ada yang menjadi penyiar radio, reporter, event organizer, staf administrasi, atau yang lainya. Intinya, mereka diharap memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, dunia usaha, dan industri yang lebih banyak dimainkan korporasi. Kurikulum pendidikan vokasi yang disusun juga mengikuti kepentingan pasar tenaga kerja, dunia usaha, dan industri yang lebih banyak dimainkan korporasi. Alhasil, standardisasi pun mengikuti sudut pandang pelaku usaha dan industri dalam sistem sekuler.
Pemuda dalam Jeratan Industrialisasi
Globalisasi menyebabkan masifnya serangan produk industri terhadap penduduk negara berkembang termasuk para generasi muda. Mulai dari industri fashion, food, film, entertainment dan digital. Kondisi yang diharapkan korporasi terhadap masyarakat suatu negara adalah memaksimalkan penjualan dalam rangka memaksimalkan profit. Karena itulah kenapa industri menjadi serakah untuk selalu berproduksi baik siang ataupun malam.
Agar produk tersebut laku maka dibuatlah iklan yang masif dalam seluruh bentuk media untuk menarik minat konsumen. Dari sinilah bermula gaya hidup konsumerisme. Parahnya konsumerisme telah menjadi indikator sukses generasi muda. Dalam hal ini, tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah, kendaraan, dan pilihan hiburan, dan seterusnya dipandang sebagai indikator dari individualitas selera serta gaya dari pemilik. Semakin tinggi selera, maka ia semakin bonafide, keren. Segala citra kelas atas yang menyertainya akan ikut menempel pada si konsumen.
Konsumerisme kerap kali menjadi tolak ukur kesuksesan seseorang. Mereka yang merasa mampu, mapan, dan sukses akan membeli barang-barang bukan kebutuhan dasar yang dianggap mengangkat citra sosial mereka. Sayangnya, beberapa kelas menengah menganggap gaya hidup ini adalah sebuah kewajiban, untuk menunjukkan status sosial. Semakin parlente, semakin modis, semakin kekinian, maka ia semakin sukses. Oleh karena itu, demi mengikuti gaya hidup, para pemuda kerap kali tidak berfikir rasional atas sumber daya (pendapatan) yang mereka miliki.
Pemuda butuh pekerjaan untuk memenuhi gaya hidup ini. Ditambah lagi biaya pendidikan yang mahal karena komersialisasi pendidikan, membuat para pemuda berorientasi meraih gaji yang tinggi sebagai pengganti biaya pendidikan. Namun konsep gaji luput dari perhatian para pemuda. Korporat industri memandang tenaga kerja adalah input produksi, maka berlaku hukum biaya sekecil mungkin. Sehingga gaji yang diterima pekerja pun hanya standar UMR. Kalaupun menurut mereka besar, maka itu hanya sekedar mencukupi nafsu konsumerisme. Artinya gaji yang mereka dapatkan dari jerih payah selama ini akan kembali ke korporasi. Tak dipungkiri agar produk industri laku maka butuh daya beli masyarakat. Sehingga pemuda hanya mendapatkan remeh-remeh ekonomi. Jika kita bandingkan maka gaji karyawan biasa itu sangat kecil dibanding gaji CEO nya.
Mengkerdilkan Potensi Generasi
Kurikulum pesanan para korporasi ini sangat berbahaya karena bisa membonsai potensi generasi kita. Generasi muda yang seharusnya dibentuk menjadi generasi yang berkepribadian mulia dan ahli di berbagai bidang kehidupan, akhirnya hanya diarahkan untuk menjadi tenaga terampil yang siap kerja (hal ini pun kadang belum terbentuk). Jika ingin menjadi negara maju, seharusnya negeri kita ini menyusun kurikulum yang bisa menciptakan generasi yang berkepribadian mulia dan ahli/pakar di berbagai bidang kehidupan, yang bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan terdepan, bukan sekadar generasi yang siap memenuhi kepentingan dunia usaha dan industri milik korporasi.
Keilmuan yang dimilikinya tidak hanya untuk mengisi pasar kerja. Generasi semestinya didorong sebagai pembangun peradaban. Harusnya pendidikan bisa menciptakan manusia yang paripurna, berkepribadian mulia, menguasai sains dan teknologi, serta menguasai keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan di masyarakat. Yang terpenting, kemampuan yang dimiliki, termasuk kemampuan menciptakan teknologi dan inovasi digunakan untuk kepentingan umat manusia.
Ubah dari Dasarnya
Penyelenggaraan pendidikan vokasi kapitalis sekuler tersebut harus diubah dari asasnya. Islam, memiliki sistem pendidikan vokasi yang sangat andal. Paradigma pendidikan disusun mengikuti asas Islam, bahwa pendidikan apa pun (termasuk vokasi) ditujukan bagi kemaslahatan manusia umumnya, bukan sekelompok orang (korporasi). Bila negara memiliki komitmen mewujudkan kemandirian negara, mestinya menjadikan lembaga pendidikan memiliki visi jangka panjang. Visi sebagai pelaku ekonomi makro, tidak sebatas mikro. Bukan hanya diberi skill, namun juga dibekali karakter sebagai pemimpin. Memimpin negeri ini dengan mengelola sumber daya alam secara mandiri.
Oleh karenanya, kurikulum akan menyesuaikan terhadap kebutuhan manusia, bukan keinginan dan kehendak pihak korporasi yang selama ini menciptakan pasar bagi produksi-produksinya. Semua itu tentu dapat terwujud jika sistem ekonomi dan politik dalam negara juga diselenggarakan sesuai Islam. Negara tidak akan membiarkan sekelompok orang menarik keuntungan sepihak. Politik Islam juga tidak akan membiarkan negara dalam keadaan lemah. Penguasaan teknologi yang diaplikasikan dalam pendidikan vokasi akan menghasilkan lulusan terampil bagi kepentingan negara.