Oleh: Cahyani Pramita, SE (Pemerhati Sosial)
Catatan wabah kelaparan di Papua semakin bertambah panjang setelah dilaporkan 4 orang tewas di Kuyuwage Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Selama satu bulan terakhir, warga disana memang mengalami gagal panen. Menurut catatan WALHI, gagalnya panen warga dipicu peristiwa embun beku di dataran tinggi Lanny Jaya. Kegagalan panen akibat faktor cuaca ini berdampak fatal karena masyarakat sangat bergantung pada hasil kebun mereka (bbc.com, 4/8/2022).
Bencana kelaparan ini sudah berulang kali terjadi di Papua, terutama di dataran tinggi. Arsip kompas mencatat, pada Agustus 1982 total korban jiwa akibat kelaparan di Jayawijaya mencapai 112 orang, 167 orang mendapat perawatan, dan 3.000 orang lainnya mengalami kekurangan gizi. Kasus serupa berlanjut lagi di tahun 1984, 1986, 1997, 1998, 2000, 2003, Desember 2005- Februari 2006, 2007, 2011, 2013, 2015, September 2017- Januari 2018, Januari-Juni 2019. Sungguh miris bencana ini terus berlanjut dalam 40 tahun terakhir. Tak ada penyelesaian tuntas hingga kelaparan terus ada di Papua.
Dalam manajemen bencana, bencana kelaparan termasuk kategori slow-down disaster. Artinya bencana ini terjadi secara perlahan sebab orang kekurangan asupan makanan hingga akhirnya meninggal perlu waktu yang panjang. Saat manusia sering tidak makan, hingga terus menerus berulang maka akan mengalami kekurangan gizi dan mengidap busung lapar. Lama kelamaan akhirnya lemah karena energi berkurang dan kemudian meninggal dunia. Demikianlah yang terjadi pada masyarakat Papua yang tinggal di pegunungan.
Menurut Aser Rouw, Peneliti Agro Klimat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua Barat, Food Estate (kawasan pangan) bukanlah solusi untuk ketahanan pangan daerah pegunungan Papua. Ini karena aksesibilitas dan keamanan membuat warga tidak bisa menggantungkan ketahanan pangannya dari luar. Memang betul, sebanyak apapun pangan di food estate tapi jika tak terdistribusikan tak mampu dijangkau oleh seluruh individu rakyat maka takkan jadi solusi juga. Wilayah seperti pegunungan Papua ini perlu diperkuat ketahanan pangannya dari dalam dan belum ada diupayakan oleh pemerintah hingga sekarang.
Inilah realitas dalam negeri yang mengambil kapitalisme. Kapitalisme tak mampu mewujudkan ketahanan pangan, tak mampu menyelesaikan bencana kelaparan rakyatnya. Sistem kapitalisme hanya mencukupkan pemenuhan kebutuhan pokok warga berdasarkan angka-angka produksi pangan secara nasional. Perihal apakah stok ataupun produksi pangan tersebut terdistribusi dengan baik, mampu dijangkau (dibeli) oleh rakyat ataukah tidak maka tak diperdulikan lagi.
Infrastruktur yang minim, akses transportasi yang sulit di daerah Papua juga karena pengaturan kapitalisme. Kapitalisme menghalalkan SDA yang sejatinya milik rakyat kuasai oleh swasta/asing/korporasi. Alhasil kekayaan yang sejatinya milik rakyat seperti emas di Papua justru diambil oleh korporasi. Tak bisa untuk pembangunan yang dibutuhkan oleh rakyat.
Kondisi demikian takkan terjadi jika kita diatur dengan sistem Islam. Islam memposisikan pangan sebagai kebutuhan pokok setiap individu rakyat dan wajib bagi negara untuk menjamin pemenuhannya per individu masyarakat. Pemosisian ini menjadikan urusan pangan merupakan prioritas negara.
Rasul SAW pernah bersabda: “Penduduk negeri mana pun yang berada di pagi hari, yang di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan, maka jaminan Allah telah lepas dari mereka.” (HR Ahmad, Al-Hakim, Abu Ya’la, Ath-Thabarani, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bazar, Ad-Daraquthni, al-Bushiri dan Abu Nu’aim). Hadist ini merupakan ikhbâr (pemberitaan) yang mafhum-nya memberi faidah thalab (tuntutan) untuk memberi makan orang yang lapar. Dan ada celaan (dzamm) yang menunjukkan hukum fardhu (wajib) bagi kaum muslimin.
Khilafah sebagai penerap syariat dan penanggungjawab urusan rakyat akan sangat memperhatikan sektor pertanian. Tak hanya menghitung kebutuhan pangan nasional, tapi juga memetakan daerah yang potensial untuk sektor pertanian, menunjang sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Khilafah akan mengoptimalkan industri-industri terkait seperti industri pupuk, alat pertanian, serta melakukan revolusi di bidang pertanian sehingga hasil panen melimpah kemudian menyimpannya untuk kondisi darurat. Khilafah mengarahkan ketahanan pangan pada tiga target: 1. Untuk konsumsi harian, 2. Untuk kondisi krisis/bencana, 3. Untuk kebutuhan jihad.
Segala hal terkait produksi hingga distribusi betul-betul diperhatikan oleh negara. Infrastruktur negara, akses transportasi dan keamanan akan dipenuhi dengan dana dari Baitul mal sehingga kebutuhan pangan rakyat akan terpenuhi baik kondisi normal maupun bencana. Wallahua’lam bish shawab.