Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Seluruh SMA dan SMK di Kalimantan Selatan, diwajibkan menerapkan kurikulum merdeka belajar, terhitung tahun ajaran baru ini. Hal itu disampaikan kepala dinas pendidikan Kalsel, saat rapat dengar pendapat dengan komisi IV DPRD Kalsel. Penerapan kurikulum baru pengganti k-13 itupun turut didukung komisi IV dengan memaksimalkan anggaran pendidikan yang memprioritaskan untuk kurikulum merdeka belajar berbasis digital.
Menurut komisi IV dengan berbasis digital, para tenaga pengajar beserta pelajar mampu mengejar ketertinggalan akibat pandemi yang terjadi dua tahun belakangan. Sementara, Kadisdik Kalsel memastikan seluruh sekolah dibawah naungan disdik provinsi siap menerapkan kurikulum yang memfokuskan pada minat dan bakat siswa tersebut, termasuk mengatur jam mengajar guru agar memenuhi syarat pembelajaran.
“100% itu sudah saya menentukan alhamdulillah saya tidak ada tawar menawar harus siap semuanya karena apapun yang terjadi nanti 2024 wajib semuanya kurikulum merdeka kenapa kita harus menunggu kita akan mengatur jam belajar guru dimana nanti ada yang kelebihan bisa mengasih kepada yang kurang yang kurang bisa memenuhi sertifikasi mengajar 24 jam,” tutur Muhammadun, Kadisdik Kalsel.
“Kedepannya program yang akan laksanakan di Disdik terkait penanggulangan dampak pandemi di dunia Pendidikan karena kita ketahui hampir 3 tahun dunia pendidikan kita sangat terdampak dimana mereka harus sekolah Daring yang mana tentu pendidikan karakter ini tidak bisa dilaksanakan setelah pandemi berakhir tentu kita harus mengejar ketertinggalan dunia pendidikan ini tentu ada hal yang perlu kita percepat untuk mengejar terkait program pemerintah pusat untuk digitalisasi Pendidikan,” ucap H.M Lutfi Saifuddin, Ketua Komisi IV DPRD Kalsel.
“PD intinya substansi pendidikan sangat urgent kita dukung karena ada kadis ada hal-hal yang perlu disarankan nantinya bisa terealisasi agar tujuan bermanfaat sesuai bidangnya,” kata H. Supian HK, Ketua DPRD Kalsel. Melengkapi kesiapan itu, Disdik Kalsel juga bersinergi dengan pihak balai tekhnologi informasi dan komunikasi pendidikan atau BTIKP Kalsel untuk mengoptimalkan pembelajaran melalui digital, dengan mengimbau kepada para guru membuat konten khusus pembelajaran.
Selanjutnya, disusunlah Kurikulum Merdeka dengan arah:
Pertama, struktur kurikulum lebih fleksibel, jam pelajaran ditargetkan untuk satu tahun, bukan per minggu sebagaimana yang selama ini berjalan.
Kedua, fokus pada materi esensial, tidak terlalu padat seperti sekarang.
Ketiga, memberikan keleluasaan bagi guru menggunakan berbagai perangkat ajar sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Dalam hal ini guru juga dapat memberikan pembelajaran sesuai dengan konteks dan muatan lokal.
Keempat, adanya aplikasi yang menyediakan berbagai referensi bagi guru untuk terus mengembangkan praktik mengajar secara mandiri dan berbagai praktik baik Terkait pelaksanaannya, satuan pendidikan dapat mengimplementasikan Kurikulum Merdeka secara bertahap sesuai kesiapan masing-masing. Penyederhanaan kurikulum dan fleksibilitas menjadi hal paling menonjol sehingga paling mudah diterima oleh banyak kalangan sebagai solusi di masa pandemi. Namun, senyatanya ada beberapa hal yang layak dikritisi dari kurikulum yang mengusung jargon kemerdekaan ini.
Kurikulum adalah bagian dari sistem pendidikan, sedangkan penerapan sistem pendidikan mengikuti hukum yang berlaku di negara tersebut. Selama ini kita tahu bahwa hukum negeri ini mengikuti mayoritas negara dunia. Dengan menerapkan sistem pemerintahan demokrasi yang mengacu Barat, secara tidak langsung juga mengambil sistem pendidikan ala Barat, termasuk kurikulumnya.
Salah satu hal yang layak dicermati adalah muatan kebebasan. Tampak dari nama yang diusung yakni Merdeka. Kemerdekaan inilah yang selalu digaungkan, baik bagi siswa maupun guru atau pendidik. Sayangnya, justru dari sinilah celah masalah itu muncul. Barat mengambil sekularisme sebagai landasan setiap membuat kebijakan, termasuk kurikulum pendidikan. Jadi, kurikulum pendidikan Barat itu tidak mengambil agama sebagai pedoman hidup. Kemajuan teknologi bebas tidak terbatas sehingga menghasilkan orang-orang terdidik yang mengambil Barat sebagai acuan.
Pertama, tidak adanya pemaksaan (keseragaman) dalam penggunaan Kurikulum Merdeka (setidaknya hingga 2024) justru berpeluang memunculkan disparitas dalam kualitas pembelajaran. Sekolah yang menggunakan Kurikulum Merdeka bisa dianggap sebagai sekolah maju (unggulan) dalam persepsi masyarakat. Sementara, hingga saat ini pun masih disangsikan peran Negara dalam memajukan pendidikan terutama di daerah 3T.
Kedua, kebebasan yang bertumpu pada membangun minat siswa juga berpotensi masuknya pembelajaran unfaedah bagi siswa. Sebagai contoh, tentu disayangkan ketika sebuah sekolah akhirnya mengadopsi pembelajaran ekstra kurikuler, seperti e-sport atau yang lainnya, hanya gegara banyaknya siswa yang berminat pada bidang tersebut. Padahal sejatinya, e-sport atau yang semisalnya, tidak layak masuk kurikulum pendidikan, apalagi pada jenjang menengah.
Sebab, dalam e-sport bukan hanya terjadi transfer keahlian dalam dunia digital, namun juga penanaman budaya. Jika demikian, hadirnya Kurikulum Merdeka berpeluang menjadi ancaman ideologis, yakni masuknya budaya dan ideologi asing (Barat). Ini tentu bisa menjadi jalan pembajakan potensi generasi demi kepentingan eksistensi peradaban Barat. Ancaman bahaya ini muncul, karena Kurikulum Merdeka tidak dibangun di atas asas akidah Islam. Namun, pada asas kapitalistik yang mengedepankan manfaat materi yang sering berseberangan dengan aturan Islam.
Ketiga, kebebasan yang memberikan fleksibilitas bagi guru dalam menentukan metode pembelajaran juga bukan tanpa peluang masalah. Dalam kondisi banyaknya problem guru (seperti beban ekonomi, dll.), hal itu tidak serta-merta memudahkan guru untuk memampukan dirinya mengikuti perkembangan belajar siswa. Padahal, Kurikulum Merdeka sangat menjaga kemerdekaan siswa. Jika siswa mampu berlari, guru harus mampu memfasilitasinya. Sebaliknya, guru juga harus bersabar terhadap kondisi siswa yang tertinggal.
Sistem kapitalisme yang mengambil materi sebagai makna kebahagiaan berhasil mendidik anak-anak berpikiran materialistis. Segala keberhasilan bukan dinilai dari sudut pandang penguasaan agama, tetapi dari seberapa banyak harta yang didapat. Hasilnya, lahirlah para pemimpin yang hanya mementingkan “kepentingan”, bukan amanah. Selain itu, kalaupun melahirkan ilmuwan, mereka akan cenderung mengabdi untuk mencari kedudukan, bukan mengabdi agar ilmunya bermanfaat.
Oleh karena itu, selama negeri ini masih mengacu pada Barat, meskipun kurikulum akan berubah lagi, tidak akan menghasilkan output mumpuni dan membanggakan. Kalaupun ada yang berhasil, tidak akan mampu membawa perubahan signifikan.
Kurikulum Islam merupakan bagian dari sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, seluruh aturan atau kebijakan akan diambil berdasarkan akidah Islam. Hal ini juga berlaku bagi Kurikulum Islam. Tujuan kurikulum disesuaikan dengan hasil yang ingin diraih sistem pendidikan Islam, yakni membangun kepribadian Islam warga negara, serta menjaga ketersediaan ulama/mujtahid dan para ahli dalam berbagai ilmu.
Kurikulum yang berlaku bagi Islam hanya satu, kurikulum negara. Sekolah swasta dan perguruan tinggi swasta tetap boleh beroperasi, tetapi harus mengikuti ketetapan negara. Pendidikan formal dalam Kurikulum Islam dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan sekolah dan perguruan tinggi. Pada sekolah dasar, materi tentang akidah dan tsaqafah Islam akan diberikan dan diutamakan agar peserta didik memiliki landasan keimanan yang kukuh untuk menerima ilmu dan menerapkannya.
Pada tingkat ini akan diajarkan tsaqafah Islam, sains, pertanian, dan khusus perempuan mendapat pendidikan mengenai kerumahtanggaan. Sedangkan ilmu yang berhubungan dengan seni akan diseleksi, jika bertentangan dengan Islam, tidak akan diajarkan. Sementara, perguruan tinggi akan dibagi dua, yaitu tingkat diploma/sarjana dan doktoral. Pada tingkat ini akan diberikan tsaqafah asing, seperti kapitalisme, sekularisme, komunisme, sosialisme, materialisme, dlll. untuk mempelajari kesalahannya.
Seluruh kurikulum itu diperlukan dukungan sarana dan prasarana, baik dari keberadaan tenaga pendidik maupun ketersediaan tempat dan fasilitas yang memadai. Keberhasilan pendidikan hanya akan diperoleh jika berani mengambil Islam sebagai kurikulum yang sempurna. Untuk mewujudkan kurikulum yang mumpuni, perlu adanya sarana pendukung (sistem yang komprehensif).
Strategi pendidikan dalam sistem kapitalisme sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Pendidikan dalam Islam adalah upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka ideologi Islam. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu oleh ideologi (akidah Islam).
Tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan SDM berkepribadian Islami, yaitu cara berpikirnya berdasarkan pada nilai-nilai Islam, serta perilakunya sesuai dengan ruh dan napas Islam. Metode pendidikan dan pengajaran dalam Islam akan dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau perilaku.
Kurikulum terbangun di atas landasan akidah Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya tersusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqafah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai tingkat kebutuhan dan tidak terikat jenjang pendidikan tertentu. Generasi yang akan terbentuk dengan sistem ini adalah SDM mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus memahami nilai-nilai Islam, serta berkepribadian Islam yang utuh, bukan sekadar menguasai cabang ilmu secara sempit untuk menjadi tenaga buruh industri.
Oleh karenanya, masyarakat harus dicerdaskan tentang sistem pendidikan yang sahih ini. Kaum muslim tidak boleh terjebak dan jatuh dalam harapan semu perubahan kurikulum. Selama paradigma kurikulum masih sekuler kapitalisme, tidak ada harapan untuk menyelesaikan problematik umat, termasuk di bidang pendidikan. Kita hanya bisa berharap perubahan signifikan dalam pendidikan ketika diatur dengan syariat Islam kafah, bukan dengan sekularisme lagi.
Sungguh, istilah Merdeka Belajar sangat jelas menjiwai penderasan sekularisasi dan liberalisasi generasi muslim di Indonesia. Tidak ada dalih lain bagi penghilangan frasa “agama” dalam peta jalan tersebut kecuali sekularisasi dan liberalisasi. Ironisnya, hal ini masih banyak yang belum menyadari, bahkan masih banyak kalangan yang memuja pendidikan produk Barat. Padahal sekularisasi dan liberalisasi itu mereka alami di negeri mereka sendiri, yang sejatinya negeri muslim. Ingatlah, Allah Swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al-Maidah [5]: 51)