Oleh : Penadi Kurniawan,Kader Himpunan Mahasiswa Islam dan Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Padang
Tepat pada 17 agustus 1945 makar kembang bunga bahagia proklamasi kemerdekaan Negara kepulauan yang berada di tengah lautan selatan dengan nama Indonesia. Sudah banyak menyiramkan darah dan dipupuk dengan taruhan lepasnya jiwa manusia untuk mendapatkan satu kesempatan menyatakan diri sebagai bagian dari sebuah bangsa merdeka, Negara yang berdaulat, dan manusia sutuhnya yang setara tanpa membedakan warnan kulit, bukan pula seorang Babu, Kacung, Jongos, ataupun Inlander.
Perwujudan dari cita-cita merdeka telah di rumuskan oleh para pejuang kemerdekaan dalam suatu rumusan konstitusi yang diberi nama sesuai tahun pengesahan yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Rumusan yang mendekati paripurna melampaui zaman bahkan UUD 1945 telah lebih dahulu menetapkan perlindungan HAM jauh sebelum deklarasi Universal HAM atau Universal Declaration of Human Rights diadopsi serta disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948. UUD 1945 Sebagai bukti tertulis dari harapan bangsa Indonesia, telah menjadi keharusan untuk diwujudkan oleh setiap generasi yang masih berani mengaku sebagai bagian dari bangsa besar yang bernama Indonesia.
Rangka mewujudkan harapan besar bangsa ini, maka dirasa perlu seorang pemimpin guna membimbing kumpulan manusia untuk menggapai tujuan luhurnya. Imam bukhari dan muslim meriwayatkan kata dari seorang yang paling berpengaruh di dunia ialah Muhammad bin Abdullah “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya”. Kata yang menampakkan makna bahwa pemimpin sebagai orang yang memimpin sekumpulan manusia melekat pada dirinya tanggungjawab yang harus diwujudkan dengan kepemimpinannya atau kemampuan seorang untuk mengendalikan, memimpin, mempengaruhi fikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain untuk mencapai tujuan.
Berbagai macam cara dan jenis untuk memimpin, setiap pemimpin memiliki cara memimpin yang berbeda, pribahasanya “lain lubuk lain ikan. lain ladang lain belalalang”. Namun, pertanyaannya adalah pimpinan seperti apa yang cocok untuk mewujudkan cita-cita bangsa menjadi sebuah kenyataan?.
Memilih Itelektualitas atau Kredibilitas ?
Konteks pemimpin bangsa Indonesia dengan kemerdekaan yang telah mencapai 75 tahun, beriringan umur itu dengan kepemimpinan yang sampai dengan saat ini, Republik Indonesia memiliki tujuh orang Presiden. Ketujuh Presiden tersebut adalah Sukarno (1945-1967), Soeharto (1967-1998), Bacharuddin Jusuf Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009; 2009-2014), dan Joko Widodo (2014-2019).
Sepanjang sejarah Kepemimpinan di Indonesia telah tercatat beberapa istilah penting di setiap kepemimpinan mereka. Soekarno seorang pejuang kemerdekaan dan proklamator dengan politik Mercusuar membangun citra bangsa Indonesia dimata dunia, sebagai Negara besar disamping pembangunan aspek lain yang masih dalam tahap pertumbuhan sebagai Negara yang beru merdeka. soeharto dengan kepemimpinan 32 tahun tekenal dengan konsep reformasi dan diktator yaitu setiap sendi Negara memiliki putusan berada ditangan seorang presiden. Bacharuddin Jusuf Habibie dengan konsep pembangunan industri pertambahan nilai atau pengolaha bahan mentah salah satunya dalam bentuk industri pesawat terbang. Abdurrahma wahid atau Gus Dur seorang santri yang membawa pluralisme dan menetapkan legalitas 6 agama sebagai agama resmi bangsa Indonesia. megawati sebagai presiden perempuan pertama mengalahkan Amerika serikat secara demokrasi yang sampai saat ini belum pernah memiliki sekalipun presiden perempuan. Susilo Bambang Yudhoyono bersama gaya kebapakan, stabilitas ekonomi dan proyek gas LPG pengganti kayu bakar untuk ibu-ibu rumah tangga. Akhir-akhir ini Joko Widodo silahkan nilai sendiri apa yang ikonik dari beliau.
Mayoritas aliran pemikiran politik di Indonesia hingga saat ini mengedepankan kredibilitas (keterpilihan) melebihi kedudukan dari intelektualitas dalam memilih pemimpin. sangat disayangkan kredibilitas sahaja tidak cukup untuk menjadi modal menjalankan kepemimpinan yang inovatif dan revolusioner atau mewujudkan amanat UUD 1945. Agar lebih sederhana kredibilitas itu kita artikan sebagai popularitas, meski populer ketika terpilih menjadi pimpinan apa yang bisa ia lakukan bila tanpa intelektualitas? Akankah mengulang kembali politik pencitraan, memainkan media massa sebagai penggiring opini publik, membuat kebijakan yang telah terdikte oleh oligarki bahkan menyangka kebijakan yang menguntungkan oligarki sebagai solusi dari kemelaratan rakyat akar rumput, hal demikian pantas diungkap sebagai “Ga ada obat!”.
Manusia Indonesia perlu sadar dan berani berbenah diri bahwa Intelektualitas harus diutamakan di atas kredibilitas (keterpilihan). sebab intelektualitas berimbas sangat dengan kabijakan dan strategi yang akan di ambil baik dalam pembangunan bangsa maupun dalam pengentasan sebuah permasalahan. Keberhasilan pemimpin dapat diasosiasikan dengan kepemimpinannya atau cara ia memimpin membawa anggota menuju terciptanya harapan yang terkandung dalam UUD 1945 yang berisi Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa, Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Bangsa ini perlu pemimpin yang berani mengambil jalan untuk mengedepankan intelektualitas di atas kredibelitas serta memiliki kemampuan berfiksi atau energi dan kemampuan membayangkan langkah dan strategi untuk menjalani proses panjang yang dialektis itu, menuju cita-cita bangsa. Mari kita Sebut kemampuan ini sebagai sebuah konsep dari pemimpin yang berani berfiksi.