Minggu, Agustus 24, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Bau Politisasi Agama Pemilu 2024 Sudah Tercium

by matabanua
2 Agustus 2022
in Opini
0
D:\Data\Agustus 2022\0803\8\8\Ali Mursyid Azisi.jpg
Ali Mursyid Azisi (Peneliti Studi Agama, aktif di Centre for Religious and Islamic Studies)

Menuju pemilu pada 2024, kini beragam upaya digelar untuk mengunggulkan kandidat tiap calon pemimpin. Tentu demikian menarik simpati publik. Menilik lembaran lama pada 2019 silam, Pemilihan Legislatif dan Presiden 2019 kental diwarnai politisasi agama.

Hingga kini, nuansa politisasi agama sudah mulai hangat muncul di muka publik. Baik yang bergerak merangkak, maupun secara terang-terangan. Kini mulai tercium aroma menjadikan agama sebagai kendaraan berpolitik. Tentu aktor-aktor politik yang terlibat memiliki tujuan tertentu.

Artikel Lainnya

D:\2025\Agustus 2025\24 Agustus 2025\8\8\Ahmad Mukhallish Aqidi Hasmar.jpg

Anomali Bulan Kemerdekaan

24 Agustus 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

Tim Percepatan Penurunan Stunting Direvisi

24 Agustus 2025
Load More

Dengan agama yang bisa dikatakan murah, dan memiliki value besar dalam menarik simpati masyarakat, menjadi peluang empuk untuk bersaing di kancah pperolitikan. Padahal, pada hakikatnya, agama diturunkan sebagai sarana perekat hubungan sosial yang damai jauh dari konflik. Senada dengan ungkapan Emile Durkheim bahwa dalam tubuh agama terdapat sisi moralitas yang tinggi.

Saling Senggol

Namun, pada realitas kehidupaan saat ini, agama serasa bukan lagi sebagai subjek yang mengatur perilaku manusia untuk bertindak-tanduk (perilaku) baik. Justru agama bergeser menjadi objek, dimana ia dijadikan alat/jalan pintas untuk memenuhi berbagai kepentingan. Seperti yang ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu dan menuai berbagai respon, yaitu adanya deklarasi pengawalan salah satu kandidat Presiden. Terlebih sampai membuat suatu majelis tertentu. Bahkan sempat terjadi kericuhan.

Sebanarnya, makna politik baik lagi positif, sangat baik jika nilai luhur agama turut dihadirkan sebagai control dan tercapainya keharmonisan. Pada hakikatnya, semua agama mengajarkan kebajikan, penuh cinta dan perdamaian. Mahatma Ghandi pun mengatakan bahwa “ketika ada cinta, di situlah ada kehidupan .

Tentang hakikat agama, senada dengan ungkapan Gus Dur “Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya. Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah. Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah”. Demikian mencerminkan betapa inti ber-Islam sangat tidak sesuai aksi saling merendahkan dan penuh kemarahan dalam kontestasi politik hanya karena beda pilihan kandidat calon pemimpin.

Fenomena demikian sangat disayangkan jika sampai dianakturunkan, sungguh miris sekali. Jika dulu degradasi moral ditujukan pada mereka yang tidak berpendidikan dan melakukan aksi kejahatan di jalan. Maka degradasi moral atas dasar agama pun kini bergeser pada kalangan elite politik bahkan tidak sedikit yang mengaku tokoh agama terlibat.

Bertolak Belakang dengan Inti Beragama

Pada akhirnya, kerenyahan balutan agama dalam upaya membangun staregi politik mampu membius masyarakat untuk memenangkan kompetisi. Demikian pula disebabkan oleh kurangnya tingkat rasionalitas dan pemahaman (literasi) masyarakat tentang dunia politik. Meksi tingkat rasionalitas dapat diterima publik, namun butanya kesadaran etika dalam menerapkannya pun akan terjerumus pada kubangan mengendarai agama dalam berpolitik.

Melihat masyarakat Indonesia mayoritas muslim, maka peluang menggunakan simbol-simbol keagamaan bahkan menggunakan otoritas tokoh agama dalam menghipnotis masyarakat awam dengan dalil-dalil pun menjadi sumber kekuatan. Fatwa agama, disodorkan kepada publik. Sisi-sisi positif calon kandidat ditonjolkan dan digaungkan. Demikian dilakukan tidak lain hanya untuj menarik simpati masyarakat untuk memilihnya dalam ajang pemilu.

Begitu pula hal yang acap kali digempurkan terhadap lawan politik, yaitu adanya upaya menjatuhkan lawan. Ungkapan kebencian, narasi provokatif, merendahkan sesama manusia, dan mementingkan diri sendiri pada hakikatnya sangat bertolak belakang dengan intisari agama. Padahal, dalam agama manapun hal yang paling ditekankan adalah prinsip cinta kasih, menjaga hubungan sosial.

Haramnya Polititisasi Agama

Namun, demikian di era sekarang mengalami degradasi sangat tinggi, bahwa narasi kebencian semakin menjadi-jadi, terlebih di media sosial sebagai wadah renyah dalam menjatuhkan lawan. Demikian sebenarnya sudah diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 menggariskan pelaksana, peserta dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta pemilu lain.

Bahkan sangat tidak dilegalkan pula untuk mengadu domba dan saling menghasut satu sama lain. Namun tetap saja di lapangan se akan UU tersebut tidak berlaku, masih ada saja unsur povokatif mewarnai menjelang perhelatan pemilu. Polititasi agama dan Ulama di Indonesia meski sudah banyak dipraktikkan, akan tetapi batasan-batasan mana yang bisa dikatakan politisasi agama tidak diatur secara rinci dalam UU.

Maka tidak heran jikalau praktik ini terus bergulir di tiap momen pagelaran panggung pemilihan umum calon pemimpin. Saya setuju dengan pendapat KH. Afifuddin Muhajir seorang Ulama ahli fiqih yang mengatakan bahwa “haram hukumnya menggunakan agama dalam kepentingan politik atau politisasi agama”. Sebab, jika berpolitik tanpa didasari agama, maka akan rusak tubuh politiknya. Sejatinya agama mengajarkan prinsip bernegara, etika serta moralitas.

Begitu pula pendapat almarhum Buya Syafii Maarif, “penggunaaan agama untuk tujuan politik tanpa moral, etika, dan akal sehat”. Sungguh mengerikan sekali jika hal demikian seolah menjadi tradisi di Indonesia bahkan dipraktikkan secara berulang-ulang yang kemudian menjadi budaya. Tentu demikian menjadikan identitas demokrasi kita tidak sehat.

Menerapkan Demokrasi (Pemilu) yang Sehat

Identitas kita sebagai negara yang menerapkan prinsip demokrasi seharusnya diterapkan dengan sebaik-baiknya. Langkah memilih jalur demokrasi sangat tepat jika diterapkan di Indonesia, sebab siapapun berhak memilih yang sekiranya mampu memimpin negara.

Jika tubuh demokrasi terbangun dengan baik, maka konflik antar agama/pendukung calon pemimpin yang bersebrangan pun dapat dicegah. Unsur perbedaan pun menjadi sebuah keniscayaan yang harus kita syukuri. Sebab, keragaman akan melahirkan energi positif dan beragam inovasi dalam rangka membangun bangsa yang berkemajuan.

Begitu pula identitas Indonesia yang diakui mancanegara sebagai negara toleran di dunia yang bisa hidup rukun dengan hadirnya berbagai suku, etnis, budaya dan agama di dalamnya. Namun, bisa jadi porak-poranda jika prinsip demokrasi tidak diterapkan secara baik, apalagi justru mencederai agama untuk kepentingan politik.

Maka perlu adanya kesadaran bersama, bahwa hadirnya agama dalam ruang politik seharusnya diimplementasikan cinta kasih dan kedamaian. Bukan dengan menghalalkan segala cara dalam meraih kepentingan. Mengenai unsur politik dan relasinya dengan agama, sebenarnya Islam sudah melarang membenci dan merendahkan orang lain (QS. Al-Hujurat: 11 dan al-An’am: 108), larangan mengadu domba dan fitnah (QS. Al-Qalam: 10-11 dan QS. Al-Lumazah: 1), berbuat adil sekalipun kepada golongan yang tidak disukai (QS. QS. Al-Maidah: 8), dan larangan manipulasi ayat Qur’an untuk tujuan politik (QS. Al-Baqarah: 41).

Supaya terciptanya sistem demokrasi yang sehat, dan unsur agama tidak dijadikan kendaraan dalam mencapai tujuan politik, maka perlu adanya kesadaran berbagai pihak, baik politisi, tokoh agama, bahkan pendukung calon pemimpin, bahwa jauh lebih penting merawat isi kandungan Sila ke-3. Dengan menjaga persatuan dan tidak saling merendahkan kedudukan agama yang sakral hanya untuk kepentingan politik, maka keamanan dan kedamaian akan selalu terlihat dalam tubuh Indonesia.

 

 

Tags: Ali Mursyid AzisiPemilihan LegislatifPemiluPeneliti Studi Agama
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA