
Bhinneka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam kitabnya, Kakawin Sutasoma. Awalnya dalam kitab tersebut ditulis “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa”, yang berarti berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua. Begitulah isi kutipan di dalam kitab Kakawin Sutasoma yang pada saat itu konteksnya masih ditekankan pada keberagaman agama dan aliran kepercayaan penduduk Majapahit. Setelah ditetapkan menjadi semboyan bangsa tepat pada tanggal 17 Oktober 1951 oleh presiden Ir. Sukarno dan perdana menterinya Sukirman Wirjosandjojo maka maknanya semakin diperluas lagi sebagai ikrar dari persatuan bangsa Indonesia.
Kakawin Sutasoma adalah kitab yang dikutip oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam upaya merumuskan semboyan NKRI. Mpu Tantular sendiri, sosoknya merupakan penyair besar yang hidup di abad 14 pada zaman kerajaan Majapahit. Mpu Tantular banyak mengajarkan makna toleransi, makna persatuan dan kesatuan di dalam keberagaman yang ada di negara ini. Semboyan yang ia tulis bertujuan untuk menciptakan toleransi antar pemeluk agama Hindu dan Buddha sebelumnya telah merefleksikan diri setiap rakyat Indonesia untuk dapat menerima segala perbedaan-perbedaan yang ada dengan sudut pandang kebaikan dibalik perbedaan yang ada.
Toleransi adalah bentuk dari nilai-nilai persatuan, nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang harus tumbuh pada rakyat Indonesia. Toleransi syarat mutlak dan sikap hakiki yang harus ada bagi rakyat Indonesia dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Pernyataan tersebut penulis ungkap karena sesungguhnya Negara Indonesia sendiri masyarakatnya adalah multikultural. Multikultural artinya negara yang memiliki aneka ragam kebudayaan dan identitas. Penggunaan sikap untuk toleransi dan tenggang rasa dirasa sangat perlu saat berinteraksi (menjalani hidup) di Indonesia untuk tercipta kehidupan yang harmoni.
Multikultural masyarakat Indonesia dapat terlihat dari beraneka ragamnya ras, Etnik, budaya, bahasa, agama, golongan dan adat istiadat yang menyertainya.
Indonesia ditempati bermacam ras, tidak ada ras murni di Indonesia dari satu ras utama yang ada di dunia. Ras yang ada di Indonesia, yaitu : Ras Malayan-Mongoloid, Ras Melanesoid, Ras Asiatic Mongoloid dan Ras Kaukasoid-Indic. Agama di Indonesia juga beragam, seperti agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Etniknya juga beragam dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Bahkan, belum ada data yang pasti terkait berapa etnik yang ada di Indonesia. Ada yang mengatakan 633 suku. Ada yang mengatakan 1331 suku berdasarkan SP2010. Atau ada yang mengatakan 1430 suku. Belum lagi keragaman bahasa, adat istiadat dan golongannya yang juga begitu banyak jumlahnya dan tidak bisa ditakar atau dikalkulasikan dalam waktu yang sebentar. Keberagaman inilah yang harus dijaga dan dipertahankan oleh rakyat Indonesia untuk sebuah tonggak persatuan bangsa melalui refleksi persatuan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Moh. Yamin adalah salah satu Pendiri negara Indonesia yang pertama kali menyebutkan frasa Bhineka Tunggal Ika ini. Beliau mengucapkan farasa tersebut pertama kali disela-sela sidang BPUPKI (Badan penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) di mana hal itu sontak langsung dijawab oleh I Gusti Bagus Sugriwa, seorang tokoh yang berasal dari bali ini langsung menyahut dengan ucapan “Tan Hana Dharma mangrwa”.
Dalam pendapat lain, Muhammad Hatta mengatakan bahwa frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah usulan dari Ir. Sukarno. Secara historis gagasan itu diusulkan pasca kemerdekaan Indonesia. Saat munculnya keinginan dari pendiri negara untuk merancang lambang negara dalam bentuk Garuda Pancasila. Menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara, Bhinneka Tunggal Ika yang ditulis dengan huruf latin dalam bahasa Jawa Kuno tepat di bawah lambang negara. Sebagaimana bunyi pasal 5 sebagai berikut :
“Dibawah lambang tertulis dengan huruf latin sebuah semboyan dalam bahasa Jawa-Kuno, yang berbunyi : “BHINNEKA TUNGGAL IKA”.
Semboyan bhinneka tunggal ika dapat dianalogikan sebagai oksigen bangsa ini. Jika bhinneka tunggal Ika tidak lagi hidup di hati rakyat Indonesia, maka Garuda Pancasila akan kehilangan nyawa dan terkubur dalam puing-puing sejarah. Bhinneka Tunggal Ika sebagai sebuah kalimat pendek yang penuh akan filosofi yang telah menjadi semboyan atau moto penting bangsa ini. Bukan karena tertuang pada lambang negara saja, tetapi juga karena sejarah dan latar belakang yang melekat pada semboyan negara ini penuh akan perjuangan, makna dan arti bagi rakyat Indonesia. kalimat tersebut telah menjadi semboyan negara selama 71 tahun yang telah menyatukan hati seluruh rakyat. Dan telah mampu membuat perdamaian, yang mengakhiri dari terjadinya saling sikut, saling serang, pertentangan, permusuhan dll.
Berkat semboyan tersebut, perbedaan ras, agama, budaya, warna kulit dan bahasa tidak menimbulkan konflik bagi rakyat, melainkan menumbuhkan rasa persatuan dan persaudaraan. Semboyan bhinneka tunggal Ika menjadi refleksi agar terciptanya nilai-nilai toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karenanya, pemerintah selalu mengantisipasi berbagai hal yang mungkin akan merusak dari persatuan dan kesatuan NKRI. Pertikaian atau konflik yang terjadi awalnya bermula dari tidak terimanya suatu kelompok atas perlakuan dari kelompok lain. Kelompok yang bertikai bisa terjadi antara kelompok subordinasi dan superordinasi, superordinasi dan superordinasi atau sebaliknya, subordinasi dan subordinasi. Kelompok superordinasi adalah kelompok yang punya kekuatan dan kekuasaan penuh terhadap kelompok subordinasi, sedangkan subordinasi adalah kelompok yang lemah dan tidak punya kekuasaan yang kuat.
Kelompok superordinasi berasal dari orang yang punya power atau kekuasaan, seperti pemerintah, orang kaya, kelompok mayoritas dan kelompok dominan. Menurut penulis, kelompok superordinasi sebagai kelompok yang punya power harus saling bertoleransi dan tidak mengintimidasi kelompok subordinasi dan sebaliknya, setiap kelompok, organisasi, partai politik dll seyogianya mengedepankan semboyan Bhinneka tunggal Ika dalam menjalani kehidupannya karena setiap kelompok seragam dalam satu entitas, yaitu Indonesia. Menurut penulis, Kelompok superordinasi dan subordinasi harus mengedepankan asas Pancasila, asas negara hukum, asas kedaulatan rakyat dan demokrasi, asas negara kesatuan dan asas pembagian kekuasaan dalam check and balances.
Asas Pancasila artinya setiap tindakan/perbuatan baik tindakan pemerintah maupun perbuatan rakyat harus sesuai dengan ajaran Pancasila. Asas negara hukum artinya setiap sikap kebijakan dan tindakan perbuatan alat negara berikut seluruh rakyat harus berdasarkan dan sesuai dengan aturan hukum. Asas kedaulatan terletak pada rakyat dan demokrasi artinya kekuasaan dan kewenangan tertinggi berada pada tangan rakyat. Asas negara kesatuan artinya kekuasaan tertinggi atas semua urusan negara ada ditangan pemerintah pusat. Asas pembagian kekuasaan dalam check and balances artinya pembagian kekuasaan adalah berbeda dari pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian yang terletak pada badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Bhinneka tunggal Ika sebagai moto atau semboyan negara merupakan langkah untuk memperkuat persatuan bangsa. Moto atau semboyan ini semestinya dijadikan pedoman bagi rakyat Indonesia yang hidup di Indonesia sebagai negara plural. rasa senasib dan sepenanggungan, tenggang rasa, pemaaf, sabar dan lainnya yang termasuk ke dalam sikap-sikap toleransi perlu ditanamkan oleh seluruh rakyat dan generasi untuk membentuk karakternya. Rasa nasionalisme akan tumbuh dengan sendirinya, melalui nilai toleransi yang terselip di dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika, maka segala bentuk-bentuk gesekan yang membawa pada pertikaian akan terhindari dan bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat.