
Oleh : Nurmini Khuzaimah (Aktivis Muslimah)
Pemberitaan mengenai kekerasan terhadap perempuan terus saja bermunculan, dan seolah tidak kunjung menemukan solusi tuntas. Bahkan jumlahnya justru semakin meningkat.
Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan, menyampaikan bahwa laporan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdata dalam Catahu 2022 melonjak naik dari tahun sebelumnya. “Terjadi peningkatan signifikan 50% kasus berbasis gender pada perempuan pada tahun 2021,” tutur Alimatul.
Kenaikan tersebut sebanyak 112.434 dari tahun 2020 lalu, yakni dengan jumlah 338.496 laporan kasus sepanjang tahun 2021. Sedang total laporan kasus pada tahun 2020 sebanyak 226.062. Total kasus di tahun 2021 tersebut menjadi yang tertinggi selama sepuluh tahun terakhir. (Himmah Online, 21/03/2022)
Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 2021 di Kalsel jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 201 korban dan kekerasan terhadap anak sebanyak 155 korban, baik anak laki-laki maupun anak perempuan dari total 410 kasus yang telah terlaporkan, dan pada 2022 dari Januari hingga Mei ini total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi 170 kasus. (https://diskominfomc.kalselprov.go.id, 23/06/2022)
Banyak pihak telah mengindra fakta terkait kekerasan yang menimpa perempuan dan anak ini. Dan tidak sedikit pihak yang telah berupaya untuk menyelesaikan persoalan ini. Diantaranya adalah Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan Hj. Mariana, A. AB, MM. Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan Hj. Mariana, S.AB, MM. Lakukan Sosialisasi Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 11 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Bertempat Di Desa Maluka Baulin, Kecamatan Kurau Kabupaten Tanah Laut, Selasa (10/5)
Dalam sambutannya Hj. Mariana, S.AB, MM mengungkapkan bahwa Sosialisasi Perda ini bertujuan untuk memberikan informasi, dan penyebarluasan materi Perda tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak. Di lain pihak Nelly Ariani, SH, MH aktifis perempuan dan anak di Kabupaten Tanah Laut selaku nara sumber, mengungkapkan tentang pentingnya masyarakat khususnya perempuan mengetahui dan mengenal Perda pemberdayaan dan perlindungan anak ini untuk meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga khususnya dan di masyarakat pada umumnya. (https://dprdkalselprov.id, 10/05/2022)
Ada pihak yang menganggap bahwasanya kekerasan yang terjadi pada perempuan saat ini terjadi karena adanya diskriminasi terhadap perempuan yang telah terjadi sejak lama. Perempuan berbeda dengan laki-laki dari sisi fisik dimana muncul anggapan kalau perempuan adalah makhluk yang memiliki banyak kelemahan. Pandangan budaya tertentu yang menganggap kaum laki-laki lebih baik dari perempuan juga mempengaruhi perlakuan terhadap kaum perempuan.
Berdasarkan fakta inilah ada yang menarik kesimpulan, faktor keperempuananlah yang menyebabkan perempuan mengalami pelbagai diskriminasi. Padahal faktanya, kekerasan perempuan tidak melulu kaitannya dengan masalah gender. Karena dari realitas yang bisa kita faktai saat ini ternyata kekerasan tidak hanya terjadi pada kaum perempuan, tetapi juga ternyata ada yang terjadi pada kaum laki-laki. Pandangan yang mengaitkan kekerasan dengan gender adalah pandangan yang tidak tepat. Pandangan semacam ini dimunculkan oleh kaum feminis yang hanya mampu menilai kejahatan berdasarkan gender.
Munculnya persoalan tak berkesudahan yang menimpa kaum perempuan sejatinya dikarenakan tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik oleh negara, masyarakat, maupun keluarga. Tidak adanya perlindungan tersebut dilatar belakangi oleh tidak adanya pemahaman mengenai hak-hak dan kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga.
Diadopsinya ideologi sekuler kapitalisme di tengah-tengah umat, membuat umat tidak memiliki gambaran mengenai kehidupan Islam. Apalagi Barat begitu gencar melancarkan perang pemikiran dan kebudayaan ke dunia Islam. Akibatnya kaum muslimin semakin jauh dari Islam, baik dari aspek pemikiran maupun dari aspek hukum-hukumnya. Islam yang harusnya menjadi landasan dalam berpikir dan bertingkah laku, digantikan oleh pemikiran kapitalisme. Maka tidak heran jika warna kehidupan sekuler ala kapitalismelah yang saat ini ada di tengah-tengah umat . Dan adalah wajar jika hal ini pada akhirnya membuat kaum muslimin bingung saat mencari solusi atas persoalan yang muncul di tengah-tengah umat.
Karena kapitalisme yang sekuler tidak memiliki standar baku yang bisa dijadikan pijakan untuk menilai dan menghukumi segala sesuatu. Kadang hanya bersandar pada nilai kemanusiaan yang sifatnya relatif.
Sebenarnya jika dilihat secara mendalam, sangat jelas terlihat bahwa tak kunjung usainya persoalan kekerasan terhadap perempuan justru merupakan indikasi dari gagalnya kehidupan sosial yang berlandaskan ideologi kapitalisme ini, dan bukti rapuhnya tatanan moral di tengah-tengah masyarakat sebagai akibat dari standar baku yang menjadi landasan manusia dalam berperilaku.
Selama ini undang-undang tentang perempuan dan anak dibuat berlandaskan liberalisme. Aturan itu hanya menyentuh tindakan kekerasan, tidak menyentuh akar persoalan. Selain itu, undang-undang yang ada juga dipengaruhi oleh feminisme. Mereka meminta perempuan setara dengan laki-laki. Padahal persoalan kekerasan yang terjadi pada perempuan bukan karena adanya pandangan ketidaksetaran gender. Bukan juga karena perempuan tidak berdaya dari sisi ekonomi. Hingga program pemberdayaan perempuan yang menyeret kaum ibu untuk aktif di bidang ekonomi ternyata memunculkan persoalan baru. Pelecehan di dunia kerja, terlantarnya anak-anak, hingga runtuhnya bangunan keluarga akibat perceraian, dan lain-lain.
Maka satu-satunya harapan bagi kaum perempuan bahkan manusia untuk menyelesaikan kekerasan terhadap kaum perempuan ini adalah kembali kepada Islam, aturan yang datang dari Allah Yang Maha Pengatur.
Dalam tatanan syari’at Islam, negara wajib menjaga keamanan seluruh rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, muslim atau nonmuslim. Dalam Islam pemimpin (Khalifah) bertanggung jawab mengatur segala urusan rakyatnya.
Kemudian bagaimana tatanan Islam mengenai keluarga? Maka kepala keluarga merupakan pemimpin bagi keluarganya. Dialah yang berkewajiban untuk melindungi anggota keluarganya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS An-Nisaa’: 34 dan hadis Rasul (saw.), “Seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Bukhari-Muslim)
Untuk memberikan perlindungan kehormatan bagi perempuan, banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang terkait dengan hal ini. Misalnya, aturan memakai kerudung dan jilbab, hadis tentang safar, ataupun keharusan seorang istri meminta izin kepada suami ketika ia harus keluar rumah, dan sebagainya.
Jelaslah bahwa hanya Islam sebagai din yang sempurna, yang mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi kaum perempuan dengan tuntas dan jelas.
Namun, aturan Islam hanya akan dapat terealisi jika tiga pilar tegaknya hukum Islam diterapkan, yaitu pembinaan individu yang mengarah kepada pembinaan masyarakat, kontrol masyarakat, dan adanya penerapan sistem hidup yang berlandaskan pada syari’at Islam yang dilaksanakan oleh negara, Khilafah Islamiyah. Wallaahu A’lam