
Isu korupsi terus menjadi perdebatan publik yang berkelanjutan, seolah-olah korupsi adalah tren yang keberadaannya terus ada setiap saat. Sejarah menunjukan bahwasanya korupsi di Indonesia sudah lama terjadi sejak zaman Hindia Belanda, pada masa pemerintahan Orde Lama, Pemerintahan rezim Orde Baru dan hingga Orde Reformasi saat ini. Tumbuh suburnya korupsi yang mencakup semua aspek kehidupan dan seolah-olah menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Diberbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, korupsi sudah menjadi pemberitaan umum. Korupsi tidak lagi mengenal kelas dan status, dari tingkat menteri hingga tingkat kepala desa, dan bahkan merambat ke lembaga penegak hukum.
Lebih jauh berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tentang persepsi publik tentang demokrasi, korupsi, dan intoleransi menunjukan kepolisian, pengadilan, dan PNS menempati indeks korupsi yang tinggi. Dalam survei tersebut 10,7 persen responden pernah berurusan dengan polisi. Dari jumlah tersebut, 33,7 persen pernah dimintai uang. Dengan demikian, Polisi dalam hal ini termasuk sebagai salah satu institusi publik mendapat posisi institusi terkorupsi.
Salah satu bukti terjadi korupsi di dalam tubuh Polri adalah kasus korupsi Raden Brotoseno yang merupakan mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang sebelumnya pernah kembali bekerja sebagai polisi. Raden Brotoseno terbukti menerima suap sebesar Rp 1,9 miliar dan menerima 5 tiket pesawat Batik Air kelas bisnis dalam kasus penyidikan dugaan tindak pidana korupsi cetak sawah di daerah Ketapang, Kalimantan Barat. Dalam kasusnya Raden Brotoseno melalui Putusan Pengadilan Nomor 26 Tahun 2017 menghukum Raden Brotoseno dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). Setelah menjalani hukuman selama tiga tahun tiga bulan, Brotoseno mendapatkan bebas bersyarat dari Kementerian Hukum dan HAM pada 15 Februari 2020.
Di dalam Sidang Kode Etik Profesi Polri (KEPP) pada tahun 2020 telah memutuskan Raden Brotoseno bersalah melakukan perbuatan tercela yang menyatakan Raden Brotoseno melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 13 ayat (1) huruf a, dan Pasal 13 ayat (1) huruf e Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun hasil Sidang KEPP tersebut tidak memutuskan untuk memecat Raden Brotoseno hanya mewajibkan untuk meminta maaf secara lisan dihadapan sidang KEPP dan secara tertulis kepada Pemimpin Polri. Putusan Sidang KEPP tersebut memberikan rekomendasi Raden Brotoseno untuk dipindah tugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat demosi yaitu sebagai staff biasa di Divisi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Polri.
Putusan Sidang KEPP tersebut menimbulkan protes dari berbagai pihak salah satunya Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mempertanyakan keputusan tersebut, hal ini menurut ICW bahwasanya kejadian Brotoseno telah melunturkan citra anti Korupsi Mabes Polri dan kenapa justru kejahatan korupsi yang tergolong sebagai extraordinary crime, tetapi ternyata putusan yang dikeluarkan justru tidak memberhentikan Brotoseno. Hal ini membuat ICW mengusulkan kepada Kapolri meninjau ulang putusan etik yang tidak memberhentikan Brotoseno tersebut.
Jika dikaji lebih lanjut, di dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 22 ayat 1 huruf a berbunyi : “Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, hal ini menunjukan bahwasanya Raden Brotoseno yang sudah divonis dengan pidana penjara 5 tahun melalui putusan Nomor 26 Tahun 2017 sudah memenuhi syarat untuk dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sesuai dengan Pasal 22 ayat 1 huruf a Perkap 14 Tahun 2011.
Protes dari berbagai pihak tersebut mendapat respon Polri dengan menerbitkan Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Setelah aturan tersebut diberlakukan, Polri dapat meninjau kembali putusan sidang etik terhadap Raden Brotoseno yang sebelumnya tidak diatur di Perkap Nomor 14 Tahun 2011 dan Perkap Nomor 19 Tahun 2012. Kapolri berwenang melakukan peninjauan kembali atas putusan KKEP atau putusan KKEP banding yang telah final dan mengikat
Setelah itu, Kapolri telah membentuk Komite Komisi Etik Polri Peninjauan Kembali (KKEP-PK) dan tim peneliti meninjau kembali putusan KKEP Brotoseno. Pada 8 Juli 2022 pukul 13.30 WIB hasil sidang KKEP PK memutuskan untuk memberatkan putusan sidang komisi kode etik Polri Nomor PUT/72/X/2020 tanggal 13 Oktober 2020 menjadi sanksi administratif berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Putusan KKEP PK ini tertuang dalam surat putusan PUT KKEP PK/I/VII/2022. Selanjutnya surat tersebut diteruskan ke Bagian SDM Polri untuk dieksekusi. Dengan demikian, Raden Brotoseno secara resmi menerima sanksi berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Polri.
Beranjak dari hal tersebut, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan terutama di lingkungan kepolisian, sekalipun tampaknya sulit untuk memberantas budaya korupsi. Upaya tersebut antara lain fungsi pengawasan, berbagai kewenangan dalam tugas Polri berpotensi terjadinya praktik korupsi oleh aparat kepolisian, sehingga diperlukan teknik pengumpulan informasi yang sederhana tanpa mempengaruhi keakuratan informasi. Pendekatan yang dapat digunakan adalah dengan mengumpulkan informasi tidak hanya dari luar Polri, tetapi juga dari dalam Polri itu sendiri. Pemantauan dengan sistem informasi ini penting dilakukan untuk mengkorelasikan perilaku korupsi anggota Polri. Apalagi dengan memberikan mekanisme hukuman yang jelas dan tegas, tujuan pemberantasan korupsi tercapai apabila hukuman yang dijatuhkan baik dan sesuai dengan kaidah kepastian hukum. Untuk mencapai pemidanaan yang efektif, dapat digunakan prinsip ketegasan dan ancaman pidana yang proporsional.
Poin penting lainnya adalah kesadaran bahwa pemerintah dan masyarakat diharapkan bekerja sama untuk memberantas korupsi yang sering terjadi. Strategi pemberantasan membutuhkan prinsip transparansi dan bebas dari konflik kepentingan. Warga negara memiliki hak dasar untuk berpartisipasi dan berpartisipasi dalam strategi antikorupsi. Pemberantasan korupsi juga harus bebas dari kepentingan kelompok dan individu sehingga tidak ada pihak yang tidak seimbang. Meminimalkan ruang bagi kebiasaan dan perilaku koruptor merupakan alternatif lain yang harus ditempuh untuk membasmi korupsi seperti pendidikan anti korupsi, standar operasional prosedur, e-service dan meningkatkan partisipasi masyarakat.