OLEH : ImazenAnanda, ASN BPS Kota Banjarmasin
Peraturan pemerintah terbaru pada Badan Kepegawaian Negara yang mengharuskan setiap ASN harus menjadi seorang fungsional tertentu, merupakan suatu tantangan juga sekaligus menjadi halangan. Dikatakan sebagai suatu halangan karena dengan adanya kebijakan tersebut membuat para ASN terhalang untuk melakukan kegiatan Indisiplin yang seolah menjadi tradisi pada metode kinerja ASN tertentu. Sehingga menjadi suatu “bagde” yang melekat pada ASN sebagai pekerja yang hanya ongkang-ongkang kaki dan hanya mengerjakan tugas kedinasan secara minimalis namun memiliki sejumlah fasilitas finansial yang lumayan banyak. Demikian adanya anggapan yang sudah umum beredar di masyarakat.
Kebijakan Reformasi Birokrasi yang telah diambil oleh Kemenpan RB ini, seolah ingin menghancurkan tahta “tradisi” yang sudah mendarah daging pada setiap ASN dengan suatu reformasi birokrasi kinerja yang mau tidak mau, suka ataupun tidak suka harus dijalankan oleh ASN tersebut. Banyaknya penyesuaian tata laksana kinerja dan Standar Operasional Procedure yang harus ditaati dan dijalankan oleh ASN saat ini, sangat menguras konsentrasi dan upaya yang maksimal agar target kinerja pada fungsional tertentu dapat dilaksanakan setiap ASN sesuai dengan ketentuan dari Kemenpan RB tersebut.
Vice versa dari halangan tersebut adalah munculnya suatu tantangan yang ternyata bermula dari Ketentuan Kemenpan RB tersebut, justru melahirkan sejumlah fenomena positif pada kinerja ASN tersebut. Adanya upaya untuk memenuhi dokumen angka Kredit yang diwajibkan oleh Kemenpan RB terhadap setiap ASN ternyata berdampak pada profesionalisme kinerja ASN di suatu lembaga.
Salah satu fungsional tertentu yang sepi peminatnya adalah Pustakawan. Seorang Pustakawan adalah seorang petugas yang bertugas di suatu unit perpustakaan baik perpustakaan umum maupun perpustakaan khusus. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 disebutkan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperolehnya melalui pendidikan dan atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk pengelolaan dan pelayanan perpustakaan (Deepublish, Oktober 2020). Uniknya lagi, seorang pustakawan tidak harus berasal dari kalangan ASN, namun bisa berasal dari perorangan yang bertugas dalam periode tertentu dan memenuhi syarat untuk diangkat sebagai seorang pustakawan.
Mengapa jabatan Fungsional pustakawan ini sangat sepi peminat? Dimulai dari nomenklaturnya saja sudah dirasakan sebagai sesuatu yang old-fashioned dan dirasa sangat konvensional. Ini sangat wajar karena para ASN, atau orang modern sekarang ini menolak sesuatu yang old-fashioned, ketinggalan jaman, dan lebih memilih menjadi bankir, lawyer atau engineer yang terlihat lebih fashionable dan modern. Apalagi diperkuat anggapan bahwa selama ini pustakawan bertugas hanya sebagai “penjaga buku” saja. Disamping itu adalah dogma yang terpatri pada perpustakaan yaitu sebagai ruangan yang sepi, dan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Bahkan penulis teringat saat kuliah dulu ada seorang teman kuliah yang datang ke perpustakaan hanya untuk tidur karena dianggap tempat yang enak untuk tidur siang disela istirahat jam perkuliahan. Hal-hal demikian menjadikan perpustakaan semakin tidak menarik dan ditinggalkan.
Ketidaktertarikan generasi muda akan perpustakaan dan hal-hal yang terkait didalamnya, mempunyai efek yang besar terhadap kemajuan literasi bangsa Indonesia. Data dari BPS menyebutkan bahwa AMH (Angka Melek Huruf) nasional tercatat sebesar 93,65% pada 2021 atau naik tipis sebesar 0,01 poin dari tahun sebelumnya sebesar 93,64% (Susenas, BPS 2021). Berbanding terbalik dengan angka literasi yang sangat rendah menempati urutan ke 62 dari 70 hasil PISA Research tahun 2021. Padahal jumlah perpustakaan yang tersebar di seluruh Indonesia sangat banyak yaitu 164.610.
Oleh sebab itu secara kontinyu Pemerintah Indonesia sejak tahun 2016 menggiatkan GLN (gerakan Literasi nasional) sebagai wujud dari implementasi dari Peraturan menteri pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Tugas yang diemban sangat sulit karena literasi digital lebih diminati masyarakat, terutama generasi bangsa Indonesia pada khususnya. Disini peran dari pustakawan sebagai salah satu unsur pegiat literasi harus mampu menjalankan perannya secara nyata dengan melaksanakan tugasnya sebaik mungkin di perpustakaan. Karena korelasi yang sangat erat terjadi antara perpustakaan, pendidikan sebagai kegiatan untuk peningkatan literasi.
Peranan dan fungsi Pustakawan tidak lagi sebagai petugas penjaga buku, melayani pengunjung perpustakaan saja, karena saat ini pustakawan sudah menjadi sebuah profesi yang secara tidak langsung dituntut untuk memiliki kualitas profesionalisme dan kode etik sebagai tanggungjawab moral pada profesinya tersebut. Demikian juga uraian jabatan dalam Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 tentang Juknis Jabatan Fungsional Pustakwan dan Angka Kreditnya disebutkan bahwa pustakawan mempunyai job-desk yang “tidak mudah” untuk diterapkan pada unit perpustakaan masing-masing.Tugas Pustakawan menjadi majemuk dan tidak mudah tatkala keberadaan perpustakaan sebagai support system dalam pendidikan, dituntut untuk mendampingi fungsi sekolah, universitas dan berbagai sarana pendidikan lainnya untuk melakukan proses pendidikan yang berkesinambungan.
Persaingan dalam kemajuan teknologi sangat kompetitif ke seluruh lini aspek kehidupan masyarakat. Dan tugas pegiat literasi menjadi semakin sulit tatkala dihadapkan pada pilihan, kecenderungan masyarakat memilih social media audio visual, dibandingkan dengan literasi membaca dan menulis. Secara keahlian, seorang pustakawan harus mampu berpikir kritis, diharapkan mampu melakukan problem solving, mempunyai keterampilan administratif, berorientasi dalam melayani : senyum, salam, sapa, sopan dan santun, juga sangat diharapkan mampu berbahasa asing, minimal secara pasif.
Setiap tanggal 7 Juli, Perpusnas sudah memaklumatkan sebagai Hari Pustakawn Nasional, yang diharapakn dapat menjadi acuan semangat para Pustakawan diseluruh Indonesia. Pengkomemorasian ini, diharapkan bukan hanya terhenti pada tanggal 7 Juli ini saja. Namun, semangat, dedikasi, inovasi dan profesionalismenya harus tetap ada, dipertahankan bahkan selalu ditingkatkan, sebagai usaha untuk menghasilkan pustakawan-pustakawan yang berhasil menjadi pegiat literasi untuk mendukung kemajuan Literasi bangsa Indonesia.
Tetaplah semangat dalam bertugas, dan selamat berkarya para Pustakawan-pustakawan, The Librarian of Indonesia!