Partisipasi politik perempuan di Indonesia masih terbilang rendah. kenyataan tersebut dapat dilihat dari fenomena berbagai daerah di Indonesia yang selalu kewalahan dalam memenuhi kuota untuk calon atau kandidat perempuan, pada setiap penyelanggaraan pemilihan umum di berbagai tingkat.
Perlu diketahui bahwa, partisipasi politik perempuan tidak cukup jika hanya dilihat dari keikutsertaan kaum perempuan dalam memberikan hak pilihnya pada saat pemilihan umum. Lebih dari itu, partisipasi politik perempuan dapat dilihat dari keikutsertaan perempuan dalam segala bentuk kegiatan politik seperti, mempengaruhi kebijakan pemerintah, bergabung dengan partai politik, atau ikut dalam kegiatan memilih dan dipilih dalam pemilu guna mendapatkan kekuasaan politik.
Rendahnya partisipasi perempuan dalam politik ini tentunya bukan tanpa sebab, yang mana fenomena tersebut di latarbelakangi oleh berbagai faktor yang datang dari eksernal maupun internal perempuan itu sendiri. Untuk itu dalam artkel ini akan membahas bagaimana partisipasi politik perempuan serta kendala-kendala yang dialaminya untuk berpartisipasi dalam politik.
Mengenai konsep partispasi secara etimologis, menurut Surbakti, (1992) partisipasi berarti ikut ambil bagian dalam menentukan hal-hal yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Defisnisi tersebut memilki asumsi bahwa setiap orang/individu memiliki hak untuk menentukan hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya di masyarakat, dikarenakan seseorang lebih mengenal dirinya sendiri daripada orang lain.
Kemudian mengenai partisipasi politik, secara umum dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan dimana seseorang turut ambil bagian dalam kehidupan politik atau segala bentuk proses politik yang ada. Merujuk pada definsi tersebut, partisipasi politik perempuan dapat diartikan sebagai keikutsertaan perempuan dalam segala bentuk proses politik yang ada, dimana proses politik tersebut dapat berupa pencalonan dalam pemilu, menjadi anggota atau bahkan menduduki jabatan dalam partai politik, ikut dalam perumusan kebijakan dan lain sebagainya.
Akan tetapi pada upaya keikutsertaan perempuan dalam segala bentuk proses politik tersebut memiliki persoalan yang cukup rumit, dimana perempuan yang ingin ambil bagian dalam kancah politik dihalangi oleh berbagai macam faktor. Persoalan atau faktor yang menghambat perempuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan juga faktor internal.
Faktor eksternal yang menjadi penghalang partisipasi politik perempuan antara lain; Pertama, Ketimpangan pembagian wiayah kerja antara laki-laki dan perempuan baik pada ranah privat ataupun domestik. Dalam hal ini para orang tua serimgkali beranggapan bahwa anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, dengan alasan bagaimanapun tingginya pendidikan perempuan, pada akhirnya akan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Kemudian dalam sebuah keluarga, anak perempuan dan anak laki-laki seringkali mendapatkan pembagian wilyah kerja yang entah dari mana asal hukumnya. tidak jarang, anak laki-laki dilarang untuk melakukan pekerjaan seperti mencuci piring, pakainan, dan menyapu, seolah-olah pekerjaan semacam itu hanya diperuntukkan kepada anak perempuan. Pada akhirnya hal semacam ini yang kemudian melahirkan stigma yang membuat perempuan dipandang sebagai individu yang tidak memerlukan pendidikan yang tinggi serta membatasi lingkup kerja perempuan dalam lingkungan rumah tangga.
Kedua, Budya patriarki, dalam berbagai jenis kegiatan termasuk kegiatan politik, kehadiran perempuan seringkali hanya diangap sebagai pelengkap. Sehingga pada saat menjelang pemilu, tidak jarang rekruitmen yang dilakukan partai politik terhadap perempuan untuk dijadikan calon, seringkali mengabaikan aspek kualitas serta kapabilitas yang dimilikinya. Bahkan kandidat yang di usung partai politik terkesan asal comot.
Ketiga¸Bias gender atau adanya pandangan yang mengutamakan satu jenis kalamin dari pada yang lainnya. Dalam hal ini urusan kepemimpinan atau jabatan politik dipandang sebagai wilayah dan keahlian laki-laki. Sedangkan, perempuan seringkali dianggap tidak cocok untuk dijadikan pemimpin atau menduduki jabatan politik.
Selanjutnya faktor internal atau hambatan yang muncul dari pribadi perempuan itu sendiri.
Pertama, Kurang terampil, agar dapat berpartisipasi secara aktif seperti bergabung dan menjadi pengurus dari sebuah partai politik, dan atau bahkan menduduki kekuasaan politik seperti menjadi anggota legislatif, tentunya harus dibarengi dengan keterampilan yang baik. Dimana keterampilan ini merupakan modal utama yang harus dimiliki seseorang agar dapat bertahan dan bersaing dalam dunia politik.
Kedua, minder dan tidak percaya diri, dalam kasus ini sesungguhnya cukup banyak perempuan yang memiliki katerampilan dan potensi untuk dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik. Akan tetapi kurangnya percaya diri dan perasaan minder menghalangi perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatn-kegiatan politik yang ada.
Berdasarkan pembahasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa terdapat pelbagai persoalan yang menjadi tugas dan tanggung jawab yang harus selesai terlebih dahulu, untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.
Dimana untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan baik dari segi kualitas meupun kuantitas, maka hambatan-hambatan yang ada mesti dihilangkan atau setidaknya di kurangi. Dengan demikian akan memperlancar dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, yang pada hakekatya adalah cerminan dari demokrasi yang sesungguhnya.