Kekerasan seksual bagaikan pandemi yang tak berkesudahan. Menjangkiti siapa saja yang jauh dari tuhannya. Kejahatan yang selalu bermetamorfosis menjadi sebuah kebiasaan yang tak jarang menimbulkan polemik yang berkepanjangan. Hingga menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit jumlahnya.
Survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikud Ristek) pada tahun 2019, menyebutkan bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual (15%), setelah jalanan (33%) dan transportasi umum (19%).
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa selama periode 2017-2021 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi, yakni 35 kasus. Diikuti pesantren dengan 16 kasus, dan sekolah menengah atas (SMA) 15 kasus.
Melihat fakta tersebut, pemerintah merespon dengan membuat UU Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual(PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi. Sebagai bentuk dukungan terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di lingkungan Perguruan Tinggi (PT), Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari Kalimantan Selatan ( Uniska MAB Kalsel) berencana membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di tingkat fakultas.
Diharapkan, dengan terbentuknya Satgas PPKS di tingkat fakultas dapat meminimalisir kasus kekeserasan seksual di lingkungan kampus.
Tidak hanya berencana membentuk Satgas PPKS tingkat fakultas, sebagai langkah awal, FH Uniska akan mengadakan seminar dan sosialisasi berkaitan dengan Permen PPKS tersebut.
Adanya PPKS dikalangan kampus diharapkan mampu penyelesaikan masalah kekerasan seksual. Tapi ternyata tidak menyelesaikan dengan tuntas yaitu sampai ke akar permasalahannya .
Jika kita menelaah kembali kenapa masalah kekerasan ini tidak ada ujungnya, ternyata kita dapati bahwa kita yang saat ini hidup dalam sistem sekularisme yang mana terjadi pemisahan agama dalam kehidupan, meniscayakan kealpaan agama dalam mengurusi kehidupan masyarakat.
Kebebasan dipandang sebagai hak mutlak manusia. Liberalisme jugalah yang telah menyuburkan perilaku bebas antara laki-laki dan perempuan, tidak ada batasan pergaulan yang menjaga hubungan laki laki dan perempuan menyebabkan pandemi kekerasan seksual di tengah-tengah masyarakat hingga menimbulkan korban jiwa.
Bukan hanya di perguruan tinggi saja, kejahatan seksual juga marak terjadi di lingkungan kerja, sekolah, lingkangan sosial dan bahkan terjadi dalam lingkungan keluarga.
Begitulah keadaan negeri yang menerapkan sistem sekularisme liberal yang menjunjung tinggi kebebasan atas nama Hak Asasi Manusia (HAM).
Meskipun negara sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kekerasan seksual, tetapi jika masih mengadopsi akidah sekularisme liberal yang mengakomodasi kebebasan berekspresi tidak akan ada ujungnya kekerasan seksual di negeri yang mayoritas muslim ini.
Islam menjadi solusi dalam menangani pandemi kekerasan seksual, mulai dari pencegahan (preventif) dan penanggulangannya (kuratif). Islam dalam mengatasi kekerasan seksual dengan tiga mekanisme,:
Pertama, upaya pencegahan. Menerapkan sistem pergaulan islam dalam mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan khos ( khusus) maupun kehidupan amm (umum). Interaksi antara laki-laki da merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Islam membatasi hubungan lawan jenis atau hubungan seksual antara pria dan wanita hanya dengan perkawinan dan pemilikan hamba sahaya. Sebaliknya islam telah menetapkan bahwa setiap hubungan lawan jenis selain dengan dua cara tersebut adalah dosa besar yang layak diganjar dengan hukuman yang paling keras.
Lebih lanjut, Syaikh Taqiyuddin An-nabhani menjelaskan, Islam juga membolehkan wanita atau pria melakukan aktivitas perdagangan, pertanian, industri, dan lain-lain; di samping membolehkan mereka menghadiri kajian keilmuan, melakukan shalat berjamaah, mengemban dakwah, dan sebagainya.
Kedua, upaya pencegahan. Sistem kontrol berupa amar maruf nahi mungkar dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat islam mempunyai kewajiban untuk mendakwahkan islam serta meyampaikan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Semua itu dilakukan sesuai dengan koridor syariat islam.
Ketiga, upaya penanganan. Sistem sanksi yang tegas yang dijalanakan khalifah terhadap para pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi para pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhson) yakni dicambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun dan jika pelakunya yang sudah menikah (muhson) sanksinya berupa had zina, yaitu dirajam (ditanam sampai leher kemudian dilempari batu) sampai mati.
Selain itu perlu adanya edukasi Islami tentang seksual serta aturan yang tegas tentang perzinahan dan kekerasan seksual.
Negaralah yang semestinya berperan dalam hal ini dengan menerapkan aturan Islam pada seluruh aspek kehidupan.
Tentu saja, semua hukum islam ini akan terlaksana dengan baik dalam institusi yang akan menerapkan islam secara kaffah. Islam kaffah akan menjadi vaksin dalam mengatasi pandemi kekerasan seksual.
Wallahu alam bishowab