JAKARTA – PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga akan membatasi pembelian BBM Pertalite dan Solar, dengan cara penggunaan aplikasi MyPertamina.
Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai apa yang dilakukan Pertamina berpotensi tak efektif dalam membatasi konsumsi Pertalite dan Solar. Pasalnya, pemerintah belum selesai merevisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014.
“Yang menentukan siapa yang dapat dan tidak kan bukan domain Pertamina, tapi domain negara. Pertamina hanya menampung data, tapi ini boleh atau tidak kan negara,” ungkap Komaidi.
Jika membedah lagi Perpres Nomor 191 Tahun 2014, pemerintah baru mengatur pengguna yang berhak membeli Solar bersubsidi.
Beberapa contoh yang berhak membeli Solar bersubsidi adalah kendaraan bermotor perseorangan di jalan untuk angkutan orang dengan plat nomor berwarna dasar hitam dan tulisan putih, serta semua jenis kendaraan untuk pelayanan umum seperti ambulance, mobil jenazah, mobil pemadam kebakaran, dan mobil pengangkut sampah.
Namun, belum ada aturan mengenai rincian pihak yang berhak membeli Pertalite. Dengan demikian, keputusan perseroan mengenai siapa yang boleh dan tidak membeli Pertalite akan menjadi ‘abu-abu’ jika tak ada landasan hukum yang jelas.
Bukan cuma soal itu, Komaidi juga khawatir Pertamina mengucurkan biaya cukup banyak untuk menerapkan sistem pendaftaran dalam pembelian Pertalite dan Solar. Pasalnya, perusahaan harus berkoordinasi dengan banyak pihak.
“Pertamina harus berkoordinasi dengan banyak pihak, misalnya pemerintah daerah (pemda), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk data kemiskinan. Kalau melibatkan pihak di luar tupoksi biasanya ada tambahan biaya, misalnya rapat sama pemda, nah ada uang transportasi,” papar Komaidi.
Risikonya, biaya yang dikucurkan Pertamina tak sebanding dengan penghematan yang sedang dilakukan perusahaan dalam menyalurkan Pertalite dan Solar. Belum lagi jika terjadi keruwetan di lapangan. Misalnya, banyak yang protes karena tak dianggap berhak membeli Pertalite.
“Saya khawatir kalau ada yang maksa bagaimana? Bocor juga ujung-ujungnya. Masyarakat ini kan ada yang bisa dibilangin, ada yang tidak bisa. Itu harus diantisipasi,” katanya.
Oleh karena itu, jika memang tujuannya untuk menekan subsidi energi, Komaidi menyarankan pemerintah menaikkan saja harga Pertalite sesuai dengan kondisi pasar sekarang.
Menurut dia, harga Pertalite naik dari Rp7.650 per liter menjadi sekitar Rp9 ribu masih memungkinkan bagi masyarakat. Begitu juga dengan Solar bersubsidi bisa dinaikkan dari sekitar Rp5.000 menjadi Rp7.000 per liter.
“Jauh lebih efektif ini. Kalau ada pembatasan di lapangan nanti rentan bocor. Kalau bocor, subsidi bocor juga, keruwetan di lapangan itu pasti ada,” terang Komaidi.
Namun, ia mengingatkan pemerintah dan Pertamina untuk menurunkan harga BBM ketika harga minyak mentah dunia sedang murah meriah. cnn/mb06