
Terkait demokrasi, rasa-rasanya dalam kehidupan modern ini tidak ada negara yang mengatakan dirinya sebagai negara non-demokratis. Jadi, semua negara dalam abad modern ini mengakui dirinya paling demokratis. Tetapi apakah fakta yang terjadi di lapangan sesuai dengan yang digaungkan. Kita bisa tengok di negara kita sendiri, di Indonesia yang sangat mendambakan sekali tatanan kehidupan demokrasi dalam kehidupannya, belakangan ini justru mengalami penurunan indeks demokrasi yang cukup drastis. Hal tersebut dibuktikan misalnya berdasarkan laporan dari V-Dem Institute (2021: 31-34) bahwa demokrasi Indonesia mengalami pergeseran dari demokrasi elektoral ke flawed democracy atau demokrasi yang cacat.
Perlu diketahui bahwa salah satu wujud pengamalan dari sistem demokrasi itu sendiri adalah dengan diselenggarakannya suatu pemilihan umum. Dapat dikatakan bahwa agar terbentuknya suatu pemerintahan yang demokratis, maka harus melalui pemilu. Jadi, pemilu menjadi tonggak primer dalam mendukung suatu sistem politik yang demokratis. Bahkan, menurut Liphart (dalam Santoso dan Budhiati, 2019: 3) bahwa demokrasi, lembaga perwakilan serta pemilihan umum adalah tiga konsep yang sangat terpaut dan tidak dapat dihindari.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa terdapat kemungkinan bahwa indeks demokrasi Indonesia akan kembali mengalami penurunan. Hal tersebut ditandai dengan mencuatnya isu mengenai penudaan Pemilu 2024. Pemilu yang seyogyanya akan digelar pada tahun 2024 mendatang, diwacanakan oleh sejumlah elite politik akan ditunda. Bagi sebagian elite politik tersebut merupakan sebuah keuntungan, tetapi jika disisir dari kepentingan rakyat atau masyarakat luas, maka hal tersebut merupakan sebuah kerugian yang amat berarti.
Wacana terkait penundaan pemilu tersebut menyulut reaksi dari berbagai kalangan, mulai dari pengamat politik hingga akademisi. Banyak kalangan menganggap bahwa manakala pelaksanaan pemilu pada tahun 2024 ditunda tanpa pertimbangan yang berarti, maka hal tersebut memungkinkan terjadinya kerusuhan ataupun kegaduhan di berbagai daerah yang dapat menyebabkan kondisi negara dalam keadaan genting.
Dari sekelumit permasalahan yang sudah dibahas sebelumnya, maka menurut penulis kiranya diperlukan kajian-kajian terhadap perlu atau tidaknya penundaan Pemilu 2024 mendatang. Oleh karenanya, penulis selanjutnya akan memaparkan bahwa penundaan Pemilu 2024 itu merupakan suatu bayang-bayang dari kemunduran demokrasi.
Ada beberapa hujjah atau argumen penulis mengapa dikatakan bahwa penundaan Pemilu 2024 merupakan sebuah bayang-bayang kemunduran demokrasi, argumen tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak adanya sirkulasi kepemimpinan dan tidak adanya pembatasan kekuasaan. Dengan adanya penundaan Pemilu 2024, otomatis akan berdampak juga pada perpanjangan periode beberapa jabatan, baik presiden dan wakil presiden, menteri, DPR, DPD, DPRD serta jabatan-jabatan publik lainnya. Padahal pemilu yang bersifat rutin merupakan hal yang paling asas dalam demokrasi elektoral. Jika asasnya saja berubah, maka demokrasi elektoral tersebut bisa mengalami dekadensi.
Penundaan pemilu juga tentunya menyalahi salah satu syarat yang bisa menjadi indikator pelaksanaan demokrasi, yaitu adanya sirkulasi kepemimpinan. Kesempatan akan adanya sirkulasi kepemimpinan wajib ada serta dilaksanakan secara teratur (Gaffar, 2000: 7). Lebih lanjut menurut Lord Acton (dalam Budiyanto, 2012: 54) bahwa pembatasan kekuasaan mutlak dibutuhkan karena pemerintahan diadakan oleh manusia yang memiliki banyak kekurangan.
Hal tersebut juga dikuatkan oleh pendapat ahli hukum tata negara, Asshiddiqie (2016: 415), yakni bahwa pemilihan umum penting untuk dilaksanakan secara berkala guna menjamin terselenggarakannya sirkulasi kepimpinan negara, baik di bidang eksekutif ataupun legislatif.
Kedua, mereduksi kedaulatan rakyat. Jika penundaan Pemilu 2024 benar-benar dilaksanakan, maka kedaulatan rakyat itu akan tereduksi. Hal tersebut dikarenakan rakyat tidak berdaulat dalam memutuskan serta memberi arah penyelenggaraan negara—dalam hal ini adalah penentuan wakil dan pemimpin mereka—, padahal rakyatlah yang memegang peranan penting dalam sebuah tatanan negara yang demokratis.
Bahkan menurut Kusnardi dan Ibrahim (1981: 329) bahwa apabila pemerintah tidak melangsungkan ataupun memperlambat pemilihan umum, maka itu merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi. Karena kedaulatan rakyat menjadi salah satu asas dalam konstitusi, maka konsekuensinya adalah keharusan menyelenggarakan pemilihan umum dalam kurun waktu tertentu (Ibrahim, 1980: 10).
Melalui beberapa argumentasi di atas, maka bisa dikatakan bahwa penundaan Pemilu 2024 bukan merupakan sesuatu yang diperlukan dan wacana tersebut sudah selayaknya untuk ditolak. Seperti apa yang dikatakan oleh Karim (dalam Tutik, 2010: 331) bahwa pemilu merupakan salah satu media primer untuk menegakkan tatanan demokrasi. Maka, apa jadinya jika pemilu yang menjadi sarana penegakan demokrasi itu ditunda dengan waktu yang tak jelas kapan datangnya. Artinya, penundaan pemilu menjadi salah satu indikator dari dekadensi demokrasi. Oleh karenanya, kiranya pantas dikatakan bahwa penundaan Pemilu 2024 mendatang adalah sebuah bayang-bayang dari kemunduran sebuah demokrasi.