Oleh: Sriyati (Ibu Rumah Tangga di Batola)
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menyatakan, kebijakan penghapusan pekerja honorer bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebab, selama ini tenaga honorer direkrut dengan sistem yang tidak jelas, sehingga mereka kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR).
Selama ini sudah beberapa gelombang dalam penerimaan tenaga honorer meskipun gajinya di bawah UMR yang tidak sesuai dengan kinerja mereka yang nyaris full time.Adapun tujuan yang sebenarnya dari kebijakan penghapusan tenaga honorer adalah untuk menyelesaikan masalah penumpukan jumlah tenaga honorer agar tidak memberatkan tanggungan keuangan negara.
Penerapan dari kebijakan ini akan berdampak pada ratusan ribu tenaga honorer yang kehilangan pekerjaan dan akan menimbulkan masalah sosial, ekonomi bahkan akan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah.
Indikasi berlepas tangannya pemerintah pusat dengan mengambil langkah menerapkan kebijakan penghapusan tenaga honorer terhadap kebutuhan sekolah akan adanya guru dan kebutuhan akan kesejahteraan guru. Ini juga mencerminkan rendahnya perhatian pemerintah terhadap nilai pada sektor pendidikan bagi pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).
Penetapan penghapusan honorer sekilas terkesan indah, para honorer pasti merasa arah dari status mereka semakin menunjukkan kepastiannya. Namun, patut untuk dicurigai rencana penghapusan honorer ini apakah memang betul-betul nasib honorer berujung kejelasan ataukah justru ada hal yang dikorbankan pemerintah?
Tumpang tindihnya pengurusan rakyat merupakan pengalaman pahit yang selalu berulang. Jika pun benar penghapusan honorer ini terlaksana, berarti secara otomatis semua akan diangkat sebagai pegawai pemerintah. Namun hal ini justru akan menghilangkan lapangan kerja yang selama ini didapat oleh honorer.
Bukan tidak mungkin penetapan ini bermakna tidak akan ada lagi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan untuk honorer. Dengan kata lain penghapusan lapangan pekerjaan sehingga pemerintah dalam hal ini tidak mengalokasikan dana APBD untuk gaji honorer lagi. Bukankah ini sebuah kedzoliman? Lalu dimanakah nanti dana APBD akan dialokasikan? Kebijakan ini patut untuk dipertanyakan karena ujungnya selalu ilusi dan merugikan rakyat.
Persoalan rakyat hari ini tidak lepas dari kebijakan para penguasa yang selalu membuat rakyat menelan pil pahit akibat lemahnya pengaturan rakyat yang bersifat kapitalistik.
Dalam Islam kesejahteraan guru sangatlah diutamakan,ketika guru sudah sejahtera kehidupannya otomatis akan berimbas kepada output anak didiknya.Kalau para guru sudah mapan hidupnya maka mereka akan fokus dalam membentuk generasi yang bersyaksyiah Islam.
Dalam penerapannya sistem Islam berawal dari paradigma bahwa pendidikan adalah salah satu hak warga negara yang harus dijamin oleh negara maka Khilafah Islamiyyah akan menjamin kebutuhan masyarakatnya.Tingginya penghargaan yang diberikan negara Islam kepada para guru telah menjadikan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dimasa keemasan Islam, pengaturan rakyat termasuk aparatur negara sangat jelas tak ada istilah honorer. Adapun sistem penggajian dan alokasi dana untuk tiap-tiap rakyat yang menjadi Aparatur Negara sangat berbanding terbalik dengan yang terjadi dalam sistem kapitalisme.
Dalam Islam, gaji aparatur negara baik guru, tenaga kesehatan maupun yang bertugas dalam administratif digaji oleh negara yang diambil dari dana baitul mal melalui pos fa’i dan milkiyyah. Pun status mereka jelas sebagai seorang aparatur negara, bukan honorer ataupun pegawai harian yang tak jelas status maupun penggajiannya.
Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab. Beliau pernah menggaji pendidik dengan gaji 15 dinar yang jika dikonversikan dalam mata uang rupiah berkisar 51 juta rupiah. Dan dimasa Abasiyyah beliau pernah menggaji beserta tunjangan untuk Zujaj pada setiap bulan beliau dapat gaji 200 dinar sementara Ibnu Duraid digaji sekitar 40 dinar per bulan oleh Al Muqtadir. Pun jika dikonversikan ke rupiah maka tunjangan mereka rata-rata ratusan juta.
Sehingga para aparatur negara tidak lagi khawatir ataupun mencari-cari pekerjaan lain untuk menunjang hidunya. Mereka hanya fokus pada bidang masing-masing secara profesional. Hal itu hanya terjadi di sistem Islam yang tidak hanya peduli pada status rakyatnya tetapi juga peduli dengan kesejahteraannya.
Bahkan rakyat yang hidup dalam sistem Islam tidak susah mencari lapangan pekerjaan karena dalam sistem Islam, kebijakan negara selalu terfokus pada terlaksananya aturan-aturan kehidupan sesuai dengan Al-qur’an As sunnah. Maka, jika ada sistem yang lebih mementingkan urusan rakyatnya, tidakkah kita rindu untuk menerapkannya? Wallahua’lam bishowab.
Tidak seperti saat ini dalam sistem kapitalisme sekuler,nasib para guru malah diabaikan bahkan dianggap menjadi beban pengeluaran dana negara, padahal ditangan para guru inilah yang akan tumbuh generasi-generasi penentu masa depan bangsa.
Islam sangat memprioritaskan bidang pendidikan,demikian juga tenaga pengajar/guru , tidak ada satupun hak rakyat yang terabaikan, pendidikan adalah hak asasi semua manusia, dan tenaga kependidikan juga adalah tanggung jawab pemerintah yang yang tidak boleh diabaikan keberadaannya.Sungguh saat ini keberadaan sistem Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah sangat dirindukan kehadirannya.