Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I (Praktisi Pendidikan & Pemerhati Remaja)
Kurikulum Merdeka baru saja diluncurkan pada 11/2/2022 lalu sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar episode ke-15. Bersamaan dengan itu, Pemerintah juga meluncurkan aplikasi pembelajaran bagi guru untuk memudahkan implementasi kurikulum baru tersebut, yakni Platform Merdeka Mengajar. Sejak tahun ajaran 2021/2022, Kurikulum Merdeka ini (sebelumnya dikenal dengan Kurikulum Prototipe) telah diimplementasikan pada 2.500 Sekolah Penggerak dan 901 SMK Pusat Keunggulan.
Dalam rangka mendukung kementerian Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai upaya memulihkan krisis pendidikan. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) pada tahun 2022 kembali mengajukan 11 sekolah yang ada di Kalsel agar menjadi sekolah penggerak untuk menjalankan kurikulum yang baru yaitu “Kurikulum Merdeka”.
Kepala Disdikbud Kalsel, M. Yusuf Effendi mengungkapkan kurikulum merdeka ini merupakan perubahan yang sebelumnya kurikulum prototipe. “Jadi untuk di Kalsel, pada tahun 2021 sudah ada 9 sekolah yang ada di 3 Kabupaten/Kota menggunakan kurikulum prototipe,” ucapnya. 9 sekolah tersebut merupakan piloting sekolah penggerak yang ada di Kalsel yaitu SMAN 1 Kelumpang Hulu, SMAN 1 Kelumpang Utara, SMAN 1 Kelumpang Hilir, SMAN 1 Pamukan Utara, SMAN 1 Pulau Laut Timur, SMA Plus Citra Madinatul Ilmi, SMA Islam Terpadu Ukhuwah Banjarmasin, SMAN 13 Banjarmasin dan SMAN 5 Banjarmasin.
Yusuf mengatakan salah satu keuntungan penggunaan kurikulum ini dapat mendukung para siswa dalam menentukan minatnya. “Yang mana tidak ada lagi penyekatan seperti program peminatan di SMA dan siswa dapat memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat dan aspirasinya,” ungkapnya. Yusuf berharap dengan penggunaan kurikulum yang baru ini di tahun ajaran baru,nantinya dapat memudahkan proses belajar mengajar serta meningkatkan pemahaman bagi peserta didik.
“Dan bagi guru juga dapat menikmati manfaat dari kurikulum ini, karena bisa mengajar sesuai dengan capaian dan perkembangan peserta didik. Sehingga, sekolah bisa mengembangkan dan mengelola sesuai karakteristik satuan pendidik,” pungkasnya. Kurikulum Merdeka diadopsi dari penyederhanaan kurikulum di masa pandemi (yakni Kurikulum Darurat). Menurut Mendikbudristek, penyederhanaan kurikulum dalam bentuk kurikulum darurat efektif memitigasi ketertinggalan pembelajaran pada masa pandemi.
Menurutnya, Kurikulum Merdeka juga dinilai memiliki beberapa keunggulan. Di antaranya, lebih sederhana dan mendalam, lebih merdeka dan lebih relevan serta interaktif. Berbagai kalangan pendidikan pun menyambut antusias, terutama para guru yang merasa tidak lagi dibebani materi ajar yang padat sebagaimana pada Kurikulum 2013.
Hal terpenting bagi suatu bangsa adalah menyiapkan generasi berkualitas. Bangsa yang visioner akan menjadikan pendidikan sebagai bagian dari langkah strategisnya. Hanya saja, problem mendasar sistem pendidikan di negeri ini terletak pada sistem yang diadopsinya hari ini, yakni kapitalisme sekuler. Dalam sistem ini, pendidikan hanya berorientasi pada dunia kerja. Wajar jika dalam kebijakan yang pemerintah putuskan, selalu mempertimbangkan kesiapan peserta didik untuk terserap di dunia kerja.
Sebagaimana diketahui, Kemendikbudristek telah meluncurkan 19 kebijakan Merdeka Belajar selama tiga tahun terakhir. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai, belasan kebijakan yang termuat dalam model episode itu belum menghadirkan solusi bagi kemajuan pendidikan. Satriwan mengatakan solusi sejauh ini hanya bersifat parsial. Menurutnya, pemerintah perlu menghadirkan peta jalan pendidikan.
Hal itu untuk menjadi pedoman menghadirkan kebijakan yang mampu memberikan solusi terhadap dunia pendidikan. Bukan hanya kritik pada kebijakan merdeka belajar yang prematur saja tentunya. Poin penting kebijakan ini sesungguhnya ada pada spirit merdeka belajar yang membuat tujuan pendidikan kehilangan arah. Kolaborasi pendidikan dengan dunia industri menguatkan visi pendidikan yang hanya berorientasi pada output pekerja, bukan pemikir.
Benar bahwa dunia kerja membutuhkan strata pendidikan tertentu, mengingat keahlian adalah bagian dari penopang dunia kerja. Hanya saja, penyelenggaraan dunia pendidikan tidak melulu berbicara dunia kerja. Dunia pendidikan berpeluang besar dalam mencetak individu yang ahli dalam beragam ilmu universal, juga paham akan kedudukannya sebagai ahli ilmu. Inilah visi pendidikan sebenarnya, yakni mencetak individu berkarakter sekaligus mampu menjadikan ilmu untuk membentuk karakter yang khas tersebut.
Selanjutnya, disusunlah Kurikulum Merdeka dengan arah: pertama, struktur kurikulum lebih fleksibel, jam pelajaran ditargetkan untuk satu tahun, bukan per minggu sebagaimana yang selama ini berjalan. Kedua, fokus pada materi esensial, tidak terlalu padat seperti sekarang. Ketiga, memberikan keleluasaan bagi guru menggunakan berbagai perangkat ajar sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik.
Dalam hal ini guru juga dapat memberikan pembelajaran sesuai dengan konteks dan muatan lokal. Keempat, adanya aplikasi yang menyediakan berbagai referensi bagi guru untuk terus mengembangkan praktik mengajar secara mandiri dan berbagai praktik baik Terkait pelaksanaannya, satuan pendidikan dapat mengimplementasikan Kurikulum Merdeka secara bertahap sesuai kesiapan masing-masing.
Ada tiga pilihan yang dapat diputuskan satuan pendidikan, yaitu 1) menerapkan beberapa bagian dan prinsip kurikulum merdeka tanpa mengganti kurikulum yang sedang diterapkan, 2) menerapkan Kurikulum Merdeka menggunakan perangkat ajar yang ada ada, atau 3) menerapkan Kurikulum Merdeka dengan mengembangkan sendiri berbagai perangkat ajar. Penyederhanaan kurikulum dan fleksibilitas menjadi hal paling menonjol sehingga paling mudah diterima oleh banyak kalangan sebagai solusi di masa pandemi.
Namun, senyatanya ada beberapa hal yang layak dikritisi dari kurikulum yang mengusung jargon kemerdekaan ini. Salah satu hal yang layak dicermati adalah muatan kebebasan. Tampak dari nama yang diusung yakni Merdeka. Kemerdekaan inilah yang selalu digaungkan, baik bagi siswa maupun guru atau pendidik. Sayangnya, justru dari sinilah celah masalah itu muncul.
Pertama, tidak adanya pemaksaan (keseragaman) dalam penggunaan Kurikulum Merdeka (setidaknya hingga 2024) justru berpeluang memunculkan disparitas dalam kualitas pembelajaran.
Sekolah yang menggunakan Kurikulum Merdeka bisa dianggap sebagai sekolah maju (unggulan) dalam persepsi masyarakat. Sementara, hingga saat ini pun masih disangsikan peran Negara dalam memajukan pendidikan terutama di daerah 3T.
Kedua, kebebasan yang bertumpu pada membangun minat siswa juga berpotensi masuknya pembelajaran unfaedah bagi siswa.
Sebagai contoh, tentu disayangkan ketika sebuah sekolah akhirnya mengadopsi pembelajaran ekstra kurikuler -seperti- e-sport atau yang lainnya, hanya gegara banyaknya siswa yang berminat pada bidang tersebut. Padahal sejatinya, e-sport atau yang semisalnya, tidak layak masuk kurikulum pendidikan, apalagi pada jenjang menengah. Sebab, dalam e-sport bukan hanya terjadi transfer keahlian dalam dunia digital, namun juga penanaman budaya.
Jika demikian, hadirnya Kurikulum Merdeka berpeluang menjadi ancaman ideologis, yakni masuknya budaya dan ideologi asing (Barat). Ini tentu bisa menjadi jalan pembajakan potensi generasi demi kepentingan eksistensi peradaban Barat. Ancaman bahaya ini muncul, karena Kurikulum Merdeka tidak dibangun di atas asas akidah Islam. Namun, pada asas kapitalistik yang mengedepankan manfaat materi yang sering berseberangan dengan aturan Islam.
Ketiga, kebebasan yang memberikan fleksibilitas bagi guru dalam menentukan metode pembelajaran juga bukan tanpa peluang masalah. Dalam kondisi banyaknya problem guru (seperti beban ekonomi, dll.), hal itu tidak serta-merta memudahkan guru untuk memampukan dirinya mengikuti perkembangan belajar siswa.Padahal, Kurikulum Merdeka sangat menjaga kemerdekaan siswa. Jika siswa mampu berlari, guru harus mampu memfasilitasinya. Sebaliknya, guru juga harus bersabar terhadap kondisi siswa yang tertinggal.
Masalahnya, bekal aplikasi atau platform Merdeka Mengajar yang disediakan bagi guru belum tentu optimal. Di tengah disparitas pemenuhan sarana atau perangkat mengajar dan belajar bagi guru, adanya aplikasi tidak otomatis berguna. Selain masalah di balik semangat “merdeka” tersebut, kurikulum ini juga berpotensi mengukuhkan konsep kapitalistik dalam tata kelola pelayanan publik.
Sekolah memiliki otoritas yang tepat mengenai cara membangun pembelajaran yang kontekstual itu. Sebab, pembelajaran mesti sesuai kebutuhan belajar anak, daerah, dan sumber daya manusia yang ada di sekolah. Di satu sisi, fleksibilitas bisa ditangkap positif yakni jika satuan pendidikan mampu mengarahkan pembelajaran sesuai misi pendidikan sahih. Namun, di sisi lain, otoritas sekolah yang terlalu besar juga berpeluang masuknya pihak luar yang hendak mengambil keuntungan dari bisnis pendidikan.
Terlebih sebelumnya ada penerapan konsep otonomi sekolah, yakni model pengelolaan MBS (manajemen berbasis sekolah). MBS diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi dan fleksibilitas kepada sekolah sekaligus mendorong partisipasi warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan) secara langsung untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional, serta peraturan undang-undang yang berlaku.
Negara seharusnya menyediakan kurikulum pendidikan berkualitas beserta semua perangkat yang dibutuhkan, baik kerangka maupun implementasinya. Negara harus memastikan pembelajaran berjalan bagus sesuai tujuan yang diharapkan. Adapun saat ini, sikap menyerahkan berbagai urusan kepada satuan pendidikan (guru dan kepala sekolah, bahkan orang tua) begitu menonjol. Bagaimanapun, negara harus sangat berhati-hati dan bertanggung jawab penuh dalam menetapkan kurikulum. Sebab, kurikulum menentukan performa output pendidikan.
Oleh sebab itu, salah satunya, negara harus mendukung penuh terwujudnya kompetensi guru. Sementara, dalam kebijakan Merdeka Belajar saat ini, negara lebih mengandalkan pelatihan yang bersifat mandiri melalui platform (Merdeka Mengajar) ataupun pelatihan digital, baik yang bisa diakses melalui aplikasi maupun lewat flashdisk bagi yang terkendala dalam jaringan dan perangkat.
Sementara itu, berbagai komunitas pembelajaran yang difasilitasi pemerintah tidak sepenuhnya berjalan dengan baik untuk mendongkrak kompetensi guru. Pertemuan pun hanya formalitas sehingga tidak semua guru bersemangat untuk belajar bersama. Pada akhirnya, berbagai komunitas tersebut pun banyak mandul. Kini, peran negara bahkan banyak diambil alih oleh swasta dan kelompok masyarakat melalui berbagai tawaran pelatihan guru yang tentu saja berbayar.
Demikianlah, ketika peran negara minim, akan banyak tugas pelayanan yang terbengkalai di tengah jalan. Ini karena paradigma kapitalistik yang berlaku selama ini. Sayangnya, ini pun menimpa implementasi kurikulum baru. Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Setiap manusia berhak mendapatkan layanan pendidikan yang dikelola negara agar mereka menjadi manusia yang berkepribadian Islami, menguasai ilmu (tsaqafah dan pengetahuan umum), serta menguasai kecakapan hidup untuk mengelola bumi dengan sebaik-baiknya.
Inilah fungsi penting pendidikan dan ini pula yang harus diwujudkan oleh negara. Dengan demikian, tentunya siswa tidak hanya membutuhkan penguatan numerasi dan literasi. Namun, mereka membutuhkan penguatan syakhshiyyah (kepribadian). Bahkan, ini merupakan bagian terbesar yang harus dipastikan pembentukannya sejak pendidikan dasar dan berlanjut hingga pendidikan tinggi.
Perumusan Kurikulum Merdeka juga tidak bisa terlepas dari paradigma pendidikan kapitalistik. Standar mutu pendidikan lebih didominasi oleh pemeringkatan internasional semisal PISA (Program for International Student Assessment). Alhasil, target literasi dan numerasi menjadi tolok ukur utama. Adapun aspek kepribadian (yang di dalamnya bahkan menyangkut visi misi hidup manusia) berada di urutan berikutnya. Konsep seperti ini tentu tidak sejalan dengan hak pendidikan yang harus diterima setiap warga negara.
Jika tidak, sungguh menjadi kelalaian yang disengaja oleh negara. Bahkan, sangat berbahaya karena tidak mampu menyusun kurikulum pendidikan yang mampu melahirkan output unggul dan berkualitas, apalagi mampu membentengi siswa dari serangan budaya Barat. Melalui pembacaan di atas, pemberlakuan Kurikulum Merdeka secara umum masih belum bisa membawa pendidikan menuju tujuan sahih pendidikan. Akselerasi literasi dan numerasi mungkin saja terjadi, tetapi itu semua hanya menjadi kemajuan semu dalam proses pendidikan.
Kurikulum Islam merupakan bagian dari sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, seluruh aturan atau kebijakan akan diambil berdasarkan akidah Islam. Hal ini juga berlaku bagi Kurikulum Islam. Tujuan kurikulum disesuaikan dengan hasil yang ingin diraih sistem pendidikan Islam, yakni membangun kepribadian Islam warga negara, serta menjaga ketersediaan ulama/mujtahid dan para ahli dalam berbagai ilmu.
Kurikulum yang berlaku bagi Islam hanya satu, kurikulum negara. Sekolah swasta dan perguruan tinggi swasta tetap boleh beroperasi, tetapi harus mengikuti ketetapan negara. Pendidikan formal dalam Kurikulum Islam dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan sekolah dan perguruan tinggi. Pada sekolah dasar, materi tentang akidah dan tsaqafah Islam akan diberikan dan diutamakan agar peserta didik memiliki landasan keimanan yang kukuh untuk menerima ilmu dan menerapkannya.
Mereka yang berilmu akan memahami hakikat ilmu sekaligus memahami peran pentingnya di masyarakat. Ini jugalah yang menjadi spirit penyelenggaraan pendidikan dalam Islam, yakni membentuk kepribadian Islam yang mampu menyatukan pola pikir dan sikap. Konsep ini ampuh mencetak individu yang ahli dan bermental negarawan. Ilmu mereka semata untuk membangun masyarakat sebagai refleksi iman dari seorang ahli ilmu.
Di sisi lain, negara berperan besar dalam mewujudkan visi pendidikan dengan menyiapkan infrastruktur dalam kondisi apa pun. Filosofi bahwa penguasa adalah pelayan dan pengurus rakyatnya menjadikan pembangunan sarana pendukung pendidikan tegak atas filosofi tersebut. Pendidikan adalah kebutuhan dasar rakyat, maka negara wajib menyelenggarakannya dengan dukungan infrastruktur yang memadai.
Demikian pula ketersediaan sumber daya manusia. Keberadaan para guru adalah hal penting dalam dunia pendidikan. Posisi guru sendiri amat mulia. Islam sendiri mengistimewakan dan memuliakan para guru berikut para ahli ilmu. Masyhur dalam kisah, Kekhalifahan Islam memuliakan kedudukan guru dan mencukupi kebutuhan mereka dengan gaji yang fantastis, bahkan untuk ukuran dunia modern saat ini. Penghargaan yang Khalifah Umar bin Khaththab berikan kepada para guru adalah contohnya.
Pada tingkat ini akan diajarkan tsaqafah Islam, sains, pertanian, dan khusus perempuan mendapat pendidikan mengenai kerumahtanggaan. Sedangkan ilmu yang berhubungan dengan seni akan diseleksi, jika bertentangan dengan Islam, tidak akan diajarkan. Sementara, perguruan tinggi akan dibagi dua, yaitu tingkat diploma/sarjana dan doktoral. Pada tingkat ini akan diberikan tsaqafah asing, seperti kapitalisme, sekularisme, komunisme, sosialisme, materialisme, dlll. untuk mempelajari kesalahannya.
Seluruh kurikulum itu diperlukan dukungan sarana dan prasarana, baik dari keberadaan tenaga pendidik maupun ketersediaan tempat dan fasilitas yang memadai. Keberhasilan penerapan kurikulum Islam telah dilihat dunia selama berabad-abad. Keberhasilan pendidikan hanya akan diperoleh jika berani mengambil Islam sebagai kurikulum yang sempurna. Untuk mewujudkan kurikulum yang mumpuni, perlu adanya sarana pendukung (sistem yang komprehensif).
Hanya melalui penerapan sistem pendidikan Islam dalam sistem Khilafah yang mampu melahirkan generasi berkualitas yang menguasai ilmu agama sekaligus pakar dalam ilmu sains dan teknologi. Bahkan, mampu memimpin peradaban sebagaimana pada masa kejayaan Islam. Dalam sejarahnya, Islam mengabadikan ribuan ulama yang memiliki sifat-sifat ilmuwan yang sempurna yang terlahir dari proses pendidikan yang tidak memisahkan antara ilmu agama dan sains.
Seluruh proses pendidikan ini seutuhnya lahir dari pemahaman bahwa penyelenggaraan pendidikan tidak boleh terpisah dari spirit keimanan. Kontras dengan kondisi pendidikan hari ini yang memisahkan agama dari kehidupan. Padahal, menjauhkan Islam dari penyelenggaraan pendidikan tidak akan membawa hasil selain kehilangan arah visi pendidikan. Dengan demikian, jika gonta-ganti kurikulum yang pemerintah lakukan saat ini belum mampu memberi gambaran ke mana sebenarnya arah pendidikan kita, mengkaji sistem pendidikan ala Islam adalah alternatif tunggal.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita meninggalkan sistem sekuler dan beralih ke sistem Islam yang telah Allah Swt. wajibkan agar umat ini mendapatkan keberkahan dan mampu mewujudkan generasi berkualitas. Allah Swt. berfirman, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah: 50)