
BANJARMASIN – Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita.
Kalimantan Selatan menempati urutan ke-6 kasus stunting tertinggi di Indonesia dengan angka 30 poin. Enam kabupaten dengan angka stunting lebih tinggi dari rata-rata provinsi, yaitu Kabupaten Tanah Laut (Tala), Balangan, Barito Kuala (Batola), Tapin, dan Banjar.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalsel Muhammad Syaripuddin mengaku prihatin dengan hal tersebut. Keprihatinan ini semakin besar karena belum kuatnya persamaan persepsi, terkait penanggulangan stunting di Kalsel.
“Pemerintah Kalsel berencana memberikan susu formula sebagai tambahan asupan gizi. Saya berharapnya itu harus tepat sasaran, umur berapa yang dikasih, harus di awasi benar-benar. Libatkan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia),” ujarnya, Selasa (14/6).
Ia mengatakan, menurut pakar Gizi dan Nutrisi Prof Soekirman SKM MPS-ID PhD pemberian susu formula pada anak-anak bukanlah solusi tepat mengatasi stunting yang tengah menjerat Indonesia.
Pemberian susu formula bahkan menjadi salah satu penghambat masyarakat memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif kepada anaknya. Padahal ASI adalah nutrisi terbaik yang sangat dibutuhkan oleh anak.
“Saya lebih ke arah bagaimana menggalakkan pemberian ASI ekslusif untuk bayi. Selain murah meriah, ASI adalah nutrisi paling hebat ciptaan Allah. Jangan dikira yang kena stunting itu adalah orang dari ekonomi miskin saja, orang berkecukupan pun anaknya bisa kena stunting, karena ini berkaitan dengan pola asuh dan budaya memberi ASI,” jelas politisi asal Tanah Bumbu ini.
Jika dikaitkan dengan rekomendasi WHO dan UNICEF, pemberian ASI eksklusif harus dilakukan hingga bayi berumur enam bulan. ASI ekslusif artinya bayi tidak mendapat asupan lainnya selain ASI.
Masih menurut WHO, risiko stunting ini dapat meningkat jika bayi menerima makanan pendamping ASI, atau melepas ASI eksklusif terlalu dini. Saat bayi mulai dikenalkan dengan makanan sebelum usia enam bulan, akan membuat bayi lebih tertarik dengan makanan tersebut dibandingkan ASI.
Hal tersebut, berakibat bayi kehilangan nutrisi penting yang terdapat pada ASI, sehingga pertumbuhannya jadi terhambat. “Bagaimana caranya agar pemberian ASI eksklusif dapat berjalan, inilah gunanya posyandu yang sudah ada sejak 70 tahunan lalu. Aktifkan kembali posyandu-posyandu yang mati suri. Atau kalau cakupannya terlalu luas, bisa dilakukan pengkaderan” pungkasnya. Rds