Dalam rangka Hari Susu Sedunia dan Hari Susu Nusantara, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Prof Dr drg Sandra Fikawati, MPH, mengingatkan bahwa selain sebagai sumber protein, kandungan gizi pada susu sangat lengkap. Susu mengandung sumber energi, lemak, dan aneka vitamin dan mineral.
“Saat ini bahkan banyak produk susu yang sudah difortifikasi dengan zat gizi yang tidak ada atau kurang misalnya Fe (zat besi),” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Republika, Ahad (5/6/2022), kemarin.
Selain itu, lanjut Prof Fika, susu sangat praktis dan bisa diminum tanpa makanan pendamping apapun. Susu langsung dikonsumsi, sementara telur misalnya harus dimasak tidak mungkin (diberikan) mentah.
Peran susu dalam mencegah kekurangan gizi sebenarnya sangat panjang. Susu diperlukan sejak bayi baru lahir, dewasa hingga lansia. Untuk bayi (melalui ASI), anak-anak, dan remaja, susu diperlukan untuk pertumbuhan karena kandungan gizinya.
Sedangkan menurut Dokter spesialis anak, dr Kurniawan Satria Denta MSc SpA, susu untuk anak tidak harus susu pertumbuhan formula yang mahal. Untuk anak di atas satu tahun bisa diberikan susu UHT atau paesteurisasi.
“Tetapi pastikan pola makan dengan gizi seimbang dipenuhi, dan susu bisa menjadi melengkapi sumber protein hewani. pelengkap,” tambahnya.
Menurut Prof Fika, pada saat dewasa, kandungan kalsium yang tinggi pada susu dapat mencegah osteoporosis, susu juga mendukung daya tahan tubuh. Jadi dari bayi lahir, dewasa hingga lansia, pasti semua butuh susu karena kebutuhan gizi lengkap di susu.
Kandungan gizi susu juga bisa dimodifikasi sesuai kebutuhan. Misalnya susu untuk ibu hamil
Diforrtifikasi dengan zat besi dan folat, sedangkan susu untuk lansia kandungan kalsiumnya direndahkan. Pada lansia dengan gangguan nafsu makan sudah menurun, pemberian susu juga sangat praktis,” beber Prof. Fika.
Sementara itu, Dokter Denta menambahkan masa kritis terjadinya masalah gizi adalah di masa pemberian ASI dan periode MPASI. Di tahap MPASI ini bisanya terjadi masa kritis, atau risiko kekurangan gizi. Kebutuhan nutrisi di usia enam bulan selepas ASI ekslusif ini meningkat. Nah, orang tua harus bisa memenuhi kebutuhan gizi karena ada gap yang lebar antara kebutuhan nutrisi dan kebutuhan kalori yang tidak bisa dipenuhi dengan ASI saja.
“Kalau gap ini tidak terpenuhi, maka tentu akan terjadi gangguan pertumbuhan, ganggun status gizi, dan bila dibiarkan saja tanpa intervensi, maka terjadilah stunting,” ungkap dr Denta.
Di masa ini, kerap dialami kesulitan penambahan berat badan bayi. Namun, menurutnya, tidak naik berat badan di awal kehidupan, tidak serta merta menjadi stunting, meskipun memang berisiko. Inilah perlunya dilakukan intervensi dini.
“Stunting itu diagnosis yang cukup berat, tidak naik berat badan tidak serta merta dikatakan stunting. Di usia berapa stunting paling sering ditemukan? Tergantung. Bahkan bayi bari lahir pun bisa stunting kalau sejak dalam kandungan tidak mendapatkan asupan gizi yang baik. Ibunya selama hamil kurang gizi. Ada istilah keterlambatan pertumbuhan janin, jadi begitu lahir kondisinya sudah stunting. Atau menimpa bayi-bayi dengan kelainan (sindrom tertentu) maka biasanya lahir sudah stunting, pendek dan kecil,” jelasnya.
Jadi, tambah dr Denta, kalau selama hamil, asupan gizi dari ibu baik, maka bayi tidak mungkin kekurangan gizi. Setelah itu langsung diberikan ASI ekslusif enam bulan, dilanjutkan MPASI.rep/ron