Mayoritas bangsa ini memegang pendapat bahwa Pancasila sebagai dasar negara sekaligus menjadi pandangan dunia negara-bangsa tidak tergantikan. Berpijak hal itu, maka Pancasila juga menjadi fondasi membangun ekonomi Indonesia yang menyejahterakan, bukan yang menestapakan, apalagi sampai memiskinkan rakyat.
Masalahnya, sudahkah ekonomi Indonesia sejiwa dengan doktrin perikemanusiaan yang diajarkan Pancasila? Sudah sejalankah prinsip keadilan dalam perikemanusiaan yang diwariskan oleh the founding fathers dalam Pancasila dengan realitas kinerja sistem perekonomian negeri ini?
Membahas sistem ekonomi Indonesia, tidak lepas dari realitas kehidupan masyarakat, yang setidaknya terbelah dalam dua kelompok. Pertama, sistem ekonomi yang membuat sebagian orang mampu meraih, merebut, atau menggapai kemakmuran. Kedua, sistem ekonomi yang mengakibatkan sebagian rakyat menjalani ketidakberdayaan, seperti tidak sejahtera, gagal melanjutkan pendidikan yang lebih baik, tidak mempunyai cadangan pangan memadai dan bergizi, hidup menganggur, dan terjerat kemiskinan.
Ketika ketidakberdayaan masyarakat demikian komplikatif, maka salah satu yang “didakwa” bersalah adalah sistem ekonomi yang gagal menunjukkan peran perikemanusiaannya. Dan sebaliknya, sistem ekonomi tersebut masih lebih memihak sekelompok orang atau kepentingan negara.
Meski ada sejumlah kemajuan, kondisi Indonesia saat ini secara umum masih jauh dari harapan banyak orang. Bahkan isu terpenting dalam pemberantasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan perbaikan kualitas hidup serta kesejahteraan masyarakat, justru belum menunjukkan perkembangan berarti minimal yang dirasakan di masyarakat kalangan bawah, atau belum mencerminkan keberhasilan di sektor pembangunan ekonomi secara menyeluruh dari Sabang sampai Merauke.
Memahami kondisi tersebut, maka selayaknya kita, khususnya elite pemimpin negeri ini, wajib kembali ke “khitah” doktrin yang terumus dalam jati diri Pancasila, terutama dalam hubungannya dengan konstruksi sistem ekonomi Indonesia.
Mereka itu perlu melakukan rekonstruksi pembelajaran pada sila kedua Pancasila yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila kedua ini mencerminkan keyakinan bangsa Indonesia terhadap hakikat sifat manusia sebagai makhluk sosial (homo socius). Hakikat sifat ini berpasangan dengan hakikat manusia sebagai makhluk individu. Dengan adanya kedua sifat hakikat ini, manusia akan berada dalam posisi yang proporsional, yang diisyaratkan oleh Nabi Muhammad Saw, sebagai satu sikap yang terbaik, suatu perkara (termasuk sikap individu) yang terbaik adalah yang berada di tengah-tengah (moderat dan demokratis).
Menggunakan istilah “kemanusiaan” saja tanpa disertai dengan kata sifat yang adil dan beradab sudah cukup mengisyaratkan satu ungkapan maksud yang di dalamnya terkandung sifat-sifat manusia yang luhur lagi mulia, yang tentu saja menuntut konsekuensi bahwa setiap manusia, termasuk pejabat negara, harus berjiwa adil dan beradab.
Dalam menjelaskan makna perikemanusiaan (menselijkheid atau humanisme) Bung Karno menyatakan bahwa jika kita berbuat sesuatu yang rendah, yang membikin celaka kepada manusia lain, kita berkata bahwa kita melanggar perikemanusiaan, kita melanggar hukum menselijkheid (Soekarno, 1964: 121).
Confusius mengajarkan sikap hidup yang berperikemanusiaan (jen) dengan sangat sederhana sekali, namun memadai. Sikap kasih sayang atau manusiawi di antara sesama manusia mempunyai dua segi. Pertama, chung (positif), mengandung makna apa yang engkau sukai orang lain berbuat baik kepadamu, maka berbuat baiklah kepada orang lain; kedua, shu (negatif), mengandung makna apa yang engkau tidak sukai orang lain berbuat sesuatu kepadamu, maka janganlah engkau berbuat seperti itu kepada orang lain (Tjie Tjay, Ing, tth).
Prinsip kemanusiaan dalam Pancasila secara tegas mengandung konsekuensi adanya penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia yang luhur, tanpa harus didiskriminasikan satu dengan lainnya. Ini mengingat adanya perbedaan keyakinan hidup, politik, status sosial dan ekonomi, asal usul, keturunan, ras, warna kulit, bahasa, agama, budaya, adat kebiasaan, suku dan sebagainya.
Sayangnya, sistem ekonomi di negeri ini masih lebih sering memanjakan pihak yang bermodal kuat. Sedangkan kalangan ekonomi kecil menjadi korban praktik ketidakadilan dan monopolistik.
Sejatinya, Tuhan menciptakan umat manusia dalam kedudukan egaliter dan tak berstrata, tanpa ada yang dilebihkan dan dianakemaskan. Sebagaimana ungkapan man kind is one, kemanusiaan itu adalah satu, sehingga manusia dalam kapasitas sebagai khalifah filardh, semestinya selalu berusaha keras menjadikan orang lain, khususnya rakyat, sebagai unsur dalam jiwa kemanusiaannya.
Sudah seharusnya apabila satu sama lain harus hormat-menghormati, saling menghargai, saling mencintai, dan memperlakukan siapa pun dengan berpijak pada perlakuan yang manusiawi. Sineca menyifati manusia sebagai homo sacra res homini, manusia adalah makhluk yang dapat menghargai terhadap sesamanya. Dalam agama Hindu, ada ajaran yang diungkapkan dalam kalimat yang sangat singkat, tat twan asi, “aku adalah engkau, engkau adalah aku”.
Manusia yang paling dituntut bisa atau harus mewujudkan misi kemanusiaan lintas etnis dan universal adalah negara. Negara bukan hanya menjadi corong yang terus-menerus mengobarkan semangat pada masyarakat supaya menjauhi sifat miskin perikemanusiaan, tetapi juga harus menjadi organisator atau generator tegaknya keadilan ekonomi Indonesia yang benar-benar berbasis pemanusiaan manusia negeri ini. Tanpa peran aktif negara dalam mewujudkan misi besar yang digariskan Pancasila, jangan diharapkan rakyat negeri ini menuai apa yang disebut hidup berkelayakan.