
Kesuksesan siswa tergantung dari cara mereka menerapkan apa yang sudah dipelajari. Namun pada proses pembelajaran yang telah dilakukan, Banyak siswa Indonesia yang masih kesulitan dalam memahami materi pelajaran. Ada yang menyatakan bahwa sulit mengerjakan pelajaran yang diberikan sekolah bahkan tidak paham sama sekali. Melihat situasi ini menjadikan kualitas pendidikan indonesia belum bisa bersaing di ranah internasional.
Hal ini ditunjukan oleh hasil assessment yang dilakukan PISA (Programme for International Students Assessment) terkait kemampuan literasi dasar siswa yaitu membaca, matematika, dan saint. Rata-rata dari hasil yang diperoleh Indonesia menempati posisi 10 terbawah dari 79 negara yang berpartisipasi (puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id). kemampuan siswa Indonesia berada pada level 2 karena hanya mampu memahami teks bacaan.
Demi meningkatkan kualitas tersebut, kemampuan siswa dalam belajar harus ditingkatkan. Belajar memiliki arti bahwa sebuah proses memahami dan membangun makna tentang realita melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi mereka sendiri. Piaget (1995) mengatakan bahwa siswa akan memahami pelajaran apabila peserta didik aktif sendiri menghasilkan pengertian dari berbagai sesuatu yang inderanya. Siswa harus sadar bagaimana memahami belajar yang dibutuhkan dalam proses pembelajarannya kesadaran ini dikenal dengan metakognisi.
Metakognisi (metacognition) merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976. Flavell menjelaskan definisi dari metakognisi adalah pengetahuan seseorang yang berkaitan dengan proses berpikir dan hasil dari kegiatan tersebut. Pendapat lain mengatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang sistem kognitifnya, cara berpikir seseorang tentang berpikirnya, dan keterampilan esensial seseorang dalam belajar untuk belajar (Zakariya, 2015).
Dari pengertian tersebut didapat bahwa metakognisi adalah pengetahuan siswa yang berkaitan dengan sifat-sifat dalam belajar, strategi belajar efektif, keunggulan dan kelemahannya dalam belajar, dan pembelajaran melalui informasi yang tersedia untuk mengambil keputusan. Suatu kesadaran mengenai proses berpikir serta Keterampilan dalam mengontrol diri, seperti perencanaan, pengaturan proses kegiatan, dan kemampuan evaluatif.
Metakognisi erat kaitanya dengan cara berpikir. Seorang pembelajar dengan kemampuan metakognitif yang baik akan dapat memprediksi sejauh mana mereka dapat memahami apa yang mereka pelajari dan apa yang harus dilakukan agar pembelajaran mereka lebih efektif. Sehingga seakan-akan kita mencoba merenungkan cara kita berpikir atau proses kognitif yang kita lakukan.
Melalui kesadaran metakognisi, siswa akan terlatih dalam merancang strategi yang terbaik, mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang dihadapinya dalam menyelesaikan masalah. Menurut Kindsvatter bahwa metakognisi bukanlah kemampuan bawaan. Metakognisi dapat diajarkan, dipelajari, dan ditingkatkan dengan cara mempelajari strategi belajar, mengetahui tujuan mata pelajaran, mengasah kemampuan, menganalisis pengaruh strategi belajar yang digunakan, dan kemampuan monitor strategi-strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan belajarnya.
Gagnon dan Collay mengatakan bahwa metakognisi adalah aktivitas pemusatan pikiran siswa pada apa yang sedang dipikirkan ketika mereka menjalani suatu situasi belajar. Hal ini terjadi karena siswa menggunakan pikiran, perasaan, gembira, dan bahasa yang dapat membantunya dalam menjalani kegiatan belajar.
Terdapat dua komponen utama dari metakognisi: (a) pengetahuan seseorang tentang strategi-strategi kognitif serta bagaimana mengatur dan mengontrol strategi-strategi tersebut dalam belajar, berpikir, dan memecahkan masalah, dan (b) pengetahuan-diri dan bagaimana memilih serta menggunakan strategi belajar, berpikir, dan memecahkan masalah yang sesuai dengan keadaan dirinya. Ketika siswa mampu menerapkan dimensi metakognisi dalam proses belajarnya, maka semakin tinggi hasil yang diraihnya. Contoh dari metakognisi seperti komitmen, selalu mengevaluasi, melakukan perencanaan belajar, menyusun prosedur belajar, dan pengkondisian diri dalam belajar suatu mata pelajaran.
Seseorang tentunya memiliki berbagai macam perbedaan begitupun dalam metakognisi. Swart dan Perkins dalam NCREL (1989), membedakan empat tingkatan metakognisi:
Tingkat tacit use
Tingkatan metakognisi seseorang yang pada saat diminta alas an tentang proses yang dilakukan dinyatakan bahwa keputusan yang diambil tanpa memikirkannya. Sebagai contoh, saat seseorang diminta memberi alas an mengapa ia memilih suatu langkah penyelesaian masalah, ia mengatakan bahwa memang seharusnya begitu seperti yang diajarkan oleh guru.
Tingkat aware use
Tingkatan metakognisi seseorang yang menyadari tentang apa dan mengapa melakukan proses berpikir tertentu. Sebagai contoh, seseorang menyadari bahwa ia harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan penjelasan mengapa ia menggunakan masalah tersebut.
Tingkat strategic use
Tingkatan metakognisi seseorang yang dapat mengatur pemikiran sendiri, secara sadar menggunakan strategi-strategi khusus yang meningkatkan ketepatan berpikirnya. Sebagai contoh, seseorang dapat memberikan argumen-argumen yang mendukung apa yang telah dipikirkannnya.
Tingkat reflective use
Tingkatan metakognisi seseorang yang ditunjukkan dengan adanya kemampuan merefleksi berpikirnya sendiri, sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung, memikirkan bagaimana untuk melanjutkan dan bagaimana memperbaiki.
Dengan memahami metakognisi, seorang siswa diharapkan mampu mempertajam cara berpikir mereka guna menganalisis dirinya sendiri. Ketika mampu menganalisis serta menerapkan berbagai dimensi metakognisi dalam belajarnya, maka kemampuan akademik siswa meningkat dan menjadikannya mampu bersaing dengan dalam ranah internasional. Metakognisi mampu menjadikan pendidikan menuju Indonesia emas 2045.