Zahra Kamila (HST)
Tayangan televisi, enggak di layar datar, nggak di layar cembung, sama saja lebih banyak nonjolin bagian-bagian tertentu dari wanita . Perempuan dieksploitasi.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata eksploitasi memiliki dua makna, positif dan negatif. Pertama, eksploitasi dalam arti positif bermakna pengusahaan dan pendayagunaan ( perkebunan, perikanan, pertambangan dan sebagainya). Kedua, eksploitasi dalam arti negatif, yaitu pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, pengisapan, pemerasan ( tenaga orang). Jadi, ketika kita-kita berbincang tentang eksploitasi perempuan di TV, kita tengah ngomongin makna ekploitasi yang kedua.
Three in one, itu yang kita saksikan. Betapa tidak, 95% berkisar seputar film, musik dan iklan. Dalam ketiga sajian tersebut selalu saja perempuan dieksploitasi.
Coba kita amati film dan sinetron, temanya tidak lepas dari yang namanya cinta ( ke arah sex), kekerasan (violence), dan kejahatan (crime).
Perempuan yang muncul dalam tayangan tivi kita memang lebih banyak nonjolin segala hal yang terkait dengan ‘ daya tarik perempuan’. Unsur sensualitasnya, daya tariknya dan kecantikannya. Sex. Itulah intinya. Setidaknya, selalu melibatkan perempuan dengan gaya pakaian, mimik, dan nada bicara yang ‘ serrr…’.
Tidakkah kita, khususnya kaum hawa tidak merasa terhina karena kedudukan perempuan dilecehkan seperti itu, bahkan oleh perempuan sendiri.
Musik pun tidak kalah. Penari latar, goyangan pinggul, gonjang-ganjing cewek yang mengobral tubuhnya, penyanyi dengan pakaian seronok secara sadar dipertontonkan. Iklan lebih heboh lagi. Banyak iklan produk yang merangsang perempuan untuk mengeksploitasi tubuhnya. Misalnya, iklan produk agar payudara besar, kaki indah, memutihkan kulit, menghaluskan lutut dan betis, meluruskan rambut, dan make up biar ABG tampil jreng. Iklan tersebut meletakkan perempuan sebagai objek dagangan bahkan menganggap perempuan sebagai objek penarik laki-laki.
Kehidupan sekarang dikuasai oleh ideologi kapitalisme. Tolok ukur yang digunakannya adalah materi seperti kecantikan, uang, jabatan, popularitas, dan lain-lain. Yang penting laku. Halal dan haram. Tidak ada dalam kamus kehidupan kapitalisme.
Berbeda dengan itu, Islam memandang bahwa seks bukanlah tenaga pendorang kehidupan. Tenaga pendorong itu adalah naluri ( gharaiz) dan kebutuhan jasmani ( hajatul ‘ udhawiyah) yang dipenuhi atas dasar keimanan. Persoalan seksual hanyalah sarana terhadap pemenuhan terhadap naluri melanjutkan semata ( gharizah nau’). Itupun sangat sakral dan suci. Karena itu, hanya ada setelah pernikahan. Bahkan segala hal yang dapat merangsang terjadinya perzinaan diharamkan. Firman Allah SWT:
“Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina merupakan perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan.” (TQS. Al Isra{17}:32).
Perempuan amatlah tinggi kedudukannya dalam Islam. Perempuan adalah aurat yang harus dijaga dan dipelihara , bukan dieksploitasi. Adanya hukum Islam tentang jilbab, kerudung( khimar), mahram, mempertontonkan kecantikan kepada bukan mahram ( tabarruj).
Pada sisi lain, baik laki-laki maupun perempuan dilarang nelakukan perbuatan atau pekerjaan apapun yang dapat membahayakan akhlak atau yang dapat merusak tatanan masyarakat Islam.
Perempuan boleh bekerja menjadi bintang iklan yang benar-benar memanfaatkan tenaga dan keahliannya dalam mempromosikan iklan yang terkait dengan produk tersebut, bukan promosi dengan daya tarik kecantikannya. Tentu saja harus dengan memenuhi hukum syara lainnya. Diantaranya adalah: