JAKARTA – Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menanggapi perilaku Ketua DPR Puan Maharani yang kembali mematikan mikrofon, saat anggota DPR dari PKS melakukan interupsi. Menurutnya, kebiasaan Puan tersebut sangat tidak terpuji.
“Puan harus menyadari, sebagai Ketua DPR bukanlah atasan para anggotanya. Karena itu, Puan tidak bisa semena-mena kepada anggota DPR RI untuk berpendapat,” katanya, Kamis (26/5) seperti dikutip republika.co.id.
Ritonga melanjutkan, dalam memimpin rapat paripurna hanyalah menjalankan fungsi untuk melancarkan jalannya rapat. Ia tidak berhak untuk meniadakan setiap anggota DPR untuk berpendapat selama relevan dengan agenda rapat paripurna.
“Karena itu, Puan tidak selayaknya mematikan mikrofon di kala anggota DPR melakukan interupsi. Sebab, setiap anggota DPR mempunyai hak konstitusi yang sama untuk berpendapat,” kata dia.
Ia menambahkan seharusnya Puan mengakomodir setiap anggota DPR dalam berpendapat. Fungsi itu harus dilakukan Puan agar rapat yang dipimpinnya berjalan lancar.
Jadi, Puan tidak boleh otoriter dalam memimpin Rapat Paripurna. Puan harus demokratis dengan memberi peluang yang sama kepada setiap anggota DPR untuk menjalankan hak konstitusinya.
“Kiranya Puan harus menyadari dirinya bukan atasan dari anggota DPR. Karena itu, Puan tidak boleh mengkebiri hak konstitusi anggota DPR,” kata Ritonga.
Aksi Ketua DPR RI Puan Maharani mematikan mikrofon tersebut kembali menjadi sorotan. Untuk ketiga kalinya, Puan terekam kembali mematikan mikrofon anggota DPR lain saat Rapat Paripurna.
Pada video yang beredar, Puan yang akan menutup Rapat Paripurna pada Selasa (24/5), terlihat mematikan mikrofon seorang anggota DPR yang melayangkan interupsi.
Diketahui, anggota DPR yang mikrofonnya dimatikan adalah Amin AK dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Amin AK saat itu melakukan interupsi menyinggung soal kekerasan seksual pada RKUHP.
“Menjadi sangat penting untuk mengesahkan RKUHP yang di dalamnya mengatur soal tindak pidana kesusilaan secara lengkap, integral, dan komprehensif, meliputi perbuatan yang mengandung kekerasan seksual…” ujar Amin AK sebelum suaranya tiba-tiba hilang karena mikrofon dimatikan.
Melalui akun Twitter, Amin AK membenarkan kejadian mikrofonnya yang dimatikan. Ia mengaku marasa kecewa dengan Puan selaku pimpinan rapat.
“Saya kecewa dengan respons pimpinan DPR RI terkait kekhawatiran terhadap bahaya perzinahan dan penyimpangan seksual LGBT ini,” tulis Amin AK pada akun Twitternya, Selasa (24/5), seperti dikutip suara.com.
“Saat kami menyuarakan ini, justru pimpinan sidang sengaja mematikan mik,” imbuhnya.
Aksi Puan pertama kali dirasakan oleh anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman. Benny kala itu mengajukan interupsi saat Rapat Pengesahan UU Cipta kerja pada Oktober 2021.
Kedua kalinya, hanya berselang sebulan pada Nobember 2021 Puan mematikan mikrofon Anggota Komisi X dari Fraksi PKS, Fahmi Alaydroes mengajukan interupsi. web