
Apa yang ditanam itulah yang dituai pribahasa ini seharusnya tentu dapat menyadarkan kita terhadap segala perbuatan yang ingin kita perbuat. Sebab suatu perbuatan tentu akan mempunyai sebuah dampak, baik dampak positif maupun itu dampak negatif. Hukum tersebut bukan hanya berlaku terhadap diri seseorang melainkan juga menyinggung segala bentuk perbuatan, baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, instansi pemerintahan ataupun negara.
Dewasa ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang masih beranggapan bahwa pendidikan itu tidak perlu atau penting. Spekulasi ini timbul tentu karena adanya sebuah faktor pendorong yang menjadi latar belakang lahirnya pendapat yang menggelitik perut tersebut. Sebut saja salah satu faktornya adalah sempitnya lapangan kerja atau susahnya mencari pekerjaan di negara ini.
Di tengah masih banyaknya jumlah pengangguran atau pencari kerja di Tanah Air, isu membanjirnya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia telah membuat banyak pihak menjadi resah. Sebab hal itu tentu akan berdampak kepada sempitnya lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Dilansir dari Republika.co.id, Indonesia saat ini dilaporkan angka pengangguran masih ada 7,04 juta jiwa, belum termasuk para pekerja di sektor informal yang secara ekonomi sangat rentan terjerumus menjadi orang miskin baru yang papa.
Bahkan banyak sarjana yang menjadi pengangguran setelah tamat kuliah karena terbatasnya lowongan pekerjaan yang ada, tentu akan menimbulkan permasalahan yang lain dalam lingkungan masyarakat. Salah satunya mengenai dilema pendidikan. Melihat kenyataan tersebut, masyarakat atau orang tua tentu akan berpendapat bahwa pendidikan hanyalah sebuah hal yang sia-sia, bahkan mereka tidak akan lagi mempedulikan pendidikan bagi anaknya. Apalagi dengan orang tua yang tidak berkecukupan, untung-untung setelah sarjana anaknya bisa mengubah nasib, tapi kalau tidak juga ada dapat pekerjaan karena lapangan kerja yang sempit, tentu itu akan merugikan waktu dan uang, pikir logisnya.
Permasalahan tersebut pernah diangkat dalam sebuah film yang berjudul Alangkah Lucunya Negeri Ini. Film ini merupakan film drama komedi satire Indonesia yang dirilis pada 15 April 2010 yang disutradarai oleh Deddy Mizwar. Film ini dibintangi oleh Reza Rahadian, Tika Bravani, Asrul Dahlan, dan Deddy Mizwar. Alur cerita dalam film tersebut mencoba menggambarkan secara nyata permasalahan yang terjadi dalam kehidupan bangsa tercinta kita ini.
Film ini mengangkat cerita tentang Muluk (Reza Rahadian) seorang Sarjana Manajemen yang kesulitan mendapat pekerjaan. Sejak lulus S1, hampir 2 tahun Muluk belum mendapatkan pekerjaan. Sudah lama sekali ia luntang-lantung, melamar sana-sini, namun belum juga membuahkan hasil. Selain itu tokoh pipit (Tika Bravani) dan Samsul (Asrul Dahlan) juga memiliki nasib yang sama-sama sarjana tapi masih juga menganggur. Tiap harinya Pipit tiada henti mengikuti kuis berhadiah di televisi, sementara Samsul menghabiskan waktu dengan bermain Gaple.
Melihat hal itu, Haji Sarbini yang diperankan oleh Jaja Mihardja beranggapan bahwa pendidikan itu tidaklah penting, sebab gelar sarjana tidak menjamin seseorang mudah mendapat pekerjaan. Haji Sarbini selalu membanding-bandingkan Muluk dengan anaknya yang hanya tamatan sekolah Aliyah dan Tsanawiyah yang kini telah dapat dikatakan sebagai pengusaha sukses. Namun Pak Makbul (Dedi Mizwar) ayah Muluk tidak setuju dengan pendapat tersebut. Hal inilah yang selalu memperuncing perbedaan pandangan antara Pak Makbul dengan calon besannya, Haji Sarbini.
Sebelumnya Muluk dan Rahma yang diperankan oleh Sonia, anak dari Haji Sarbini telah lama saling jatuh cinta. Tapi mengingat Muluk belum juga mendapat pekerjaan, Haji Sarbini mempunyai ide untuk menikahkan anaknya tersebut dengan calon DPR dalam menyiasati kehidupan anak gadisnya agar serba berkecukupan di hari depan. Pemikiran dari tokoh Haji Sarbini ini adalah pemikiran dari orang tua keseluruhan. Tidak mungkin setiap orang tua tega untuk melepas anaknya pada lelaki yang belum tau apa pekerjaannya. Dan pendapat Haji Sarbini mengenai tidak perlunya pendidikan itu tentu tidak juga bisa kita salahkan sepenuhnya. Mengingat memang banyak sarjana yang menjadi pengangguran dan begitulah realita yang nyata tampak di mata kepala kita sendiri.
Sebenarnya film ini mengangkat dua masalah utama yang terjadi dan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, khususnya di kota besar, yaitu anak jalanan dan sulitnya mencari pekerjaan. Namun penulis sangat tertarik dengan konflik yang terjadi antara Haji Sarbini dan Pak Makbul tentang mengenai penting atau tidaknya pendidikan dalam mencari pekerjaan. Sebab sering sekali didengar bahwa anggapan mengenai tidak pentingnya pendidikan itu lahir akibat para sarjana masih banyak saja yang menganggur selepas wisuda.
Maka dari pendapat Haji Sarbini ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa pemikiran masyarakat atau orang tua mengenai tidak pentingnya pendidikan tersebut dilatarbelakangi oleh masih banyaknya pengangguran yang berasal dari golongan atau tamatan sarjana. Jadi bagaimana upaya untuk merubah pandangan masyarakat tersebut terhadap pendidikan mungkin hanya ada satu cara, pemerintah harus mampu membuat pemetaan kebutuhan tenaga kerja. Pemetaan itu amat penting sebagai tujuan dan arah pendidikan di kampus. Sehingga kampus selaku penggodok calon-calon tenaga kerja handal yang profesional memiliki sinergitas sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha kontemporer.
Namun sebelum membuat pemetaan tersebut, tentu peraturan yang memberi kelonggaran terhadap tenaga kerja asing harus terlebih dahulu dapat disesuaikan oleh negara. Seperti Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang akhirnya resmi memiliki aturan turunan, baik Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres). Salah satunya PP Nomor 34 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Hal itu merasa mempersempit lapangan kerja untuk orang lokal—meski secara umum tidak ada korelasi antara jumlah tenaga kerja asing dengan jumlah pengangguran.