BANJARMASIN – Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarmasin Hajriansyah angkat bicara soal polemik pemindahan ibukota Provinsi ke Banjarbaru. Kini, soal status ibukota provinsi yang awalnya di Banjarmasin bergulir di meja hijau Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jadi, ketika masalah ibukota Provinsi Kalimantan Selatan akan bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), tentu putusan yang dihadapi adalah gagal atau tertolak atau berhasil mengembalikan status Banjarmasin sebagai ibukota Kalsel lagi. Sebab, dalam UU Provinsi Kalsel Nomor 8 Tahun 2022 yang jadi objek gugatan memang mencantumkan frasa kedudukan ibukota Provinsi Kalsel di Banjarbaru,” ucap Hajriansyah kepada jejakrekam.com, Senin (18/4).
Menurut Hajriansyah, gugatan judicial review ke MK merupakan hak konstitusi warga atau pemerintah daerah, ketika proses pemindahan ibukota Kalsel melalui UU Nomor 8 Tahun 2022 memang ditengarai sarat masalah.
“Saya secara pribadi sebenarnya perlu dipahami, ketika Banjarmasin tak lagi menjadi ibukota Kalsel jelas akan berimbas pada kebudayaan. Selama ini, Kalsel memang identic dengan budaya sungai, nah ketika dipindah ke Banjarbaru berarti mengubah kebudayaan sungai menjadi daratan,” papar budayawan dan perupa muda Kalsel ini.
Bagi Hajri, identitas urang (orang) Banjar adalah budaya sungai bukan budaya daratan, sehingga dampaknya pemindahan ibukota Kalsel ke Banjarbaru bukan hanya soal ekonomi, pendapatan, politik dan lainnya.
“Tapi kebudayaan juga pasti akan berubah. Dampaknya bukan hanya dirasakan Banjarmasin yang awalnya ibukota Kalsel, tapi juga Banjarbaru,” kata mahasiswa doktoral UIN Antasari Banjarmasin ini.
Di mata Hajri, kehilangan identitas kebanjaran akan mengemuka saat ibukota Kalsel tak lagi di Banjarmasin, tapi ke Banjarbaru. “Dalam hal ini, saya melihat memang ada proses berkebudayaan yang terkesan ditinggalkan dalam penggodokan dan pengesahan UU Provinsi Kalsel menjadi produk hukum,” kata seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Padahal, menurut Hajri, kebudayaan sungai dan identitas kebanjaran ini merupakan bagian tak terpisahkan dari Kalsel yang disimbolkan dengan Banjarmasin sebagai pusat peradabannya.
“Saya melihat imbas yang dirasakan adalah Banjarmasin dan Banjarbaru yang ke depan akan mengalami perubahan-perubahan signifikan, khususnya soal kebudayaannya. Sedangkan, bagi kabupaten lain di Kalsel sepertinya acuh saja soal ini,” tutup perupa jebolan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta ini. Jjr