Puasa dalam perspektif fiqh yakniperbuatan menahan diri dari segala yang merusak dengan maksud mendekatkan diri pada Allah. Selain laku menahan diri, terutama dari makan dan minum, puasa juga mengandung pesan sosial yang luhur, yakni tegaknya nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial di bumi.
Di samping sebagai instrumen pengendalian diri (self control), Alquran juga telah meriwayatkan bahwa orang-orang yang kerap membanggakan ritual agama tetapi tidak melaksanakan dalam kehidupan nyata (seperti sikap sombong, gemar ber-KKN, senang menebar fitnah dan kekerasan serta nirtoleransi, radikalisme, ektrimismedan terorisme dan tidakempati pada penderitaan orang), orang-orang itu tidak lebih dari para pendusta agama.
Islam mengajarkan adanya keseimbangan teosentris (dimensi vertikal) dan antroposentris (dimensi horizontal) dalam konteks keberagamaan. Melalui ibadah puasa, relasi manusia dengan Tuhannya (hablun minallah) serta relasi manusia dengan sesama manusia dan lingkungannya (hablun minan nas) diharapkan dapat berjalan seiring.
Islam tidakpernah memandang kemiskinan sebagai problem pribadi, seperti diyakini para penganut doktrin ekonomi liberal. Filsafat ekonomi kapitalisme menganggap soal pemenuhan kebutuhan harta adalah mutlak urusan individu. Hak kepemilikan atas faktor produksi, aset, dan uang bersifat absolut alias tanpa batas. Individu bebas mengeruk keuntungan dan menimbun harta bagi dirinya, bahkan dengan cara apa saja.
Pemahaman parsial itu merupakan pengingkaran dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial sekaligus spiritual. Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Islam hadir dengan pesan moral kemanusiaan yang utuh: kepekaan, toleransi, solidaritas, kemaslahatan, dan kemanusiaan sejati. Inilah bagian integral dari pesan ruhaniyah puasa dalam konteks sosio-antroposentris yang wajib disemai melalui kerja-kerja konkret pemberdayaan umat.
Puasa Pengikis Egoisme
Disamping itu, puasa juga termasuk instrumen ruhaniyah pengikis sikap egoisme sekaligus penumbuh sikap empati. Dalam perspektif Islam, kebersamaan mendapat tempat tinggi dalam kehidupan manusia. Artinya, jika orang lain merasa hidup dalam jerat penderitaan, maka setiap pribadi muslim (baik personal maupun kolektif) wajib berempati untuk mengatasi ketidakadilan, keterbelakangan, dan kemiskinan.
Islam mengajak manusia menerima Tuhan dan kemanusiaan yang tunggal sebagai dua hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan. Melalui pemaknaan itu, kebersamaan dan solidaritas dalam kerangka peneguhan keadilan sosial dan kesejahteraan untuk semua berpijak kuat pada pandangan hidup umat Islam (Fazlur Rahman, 1987).
Puasa juga sebuah instrumen penggugah kesadaran progresif dalam beragama, yakni keluar dari belenggu kejumudan menuju pencerahan ruhaniyah. Dalam konteks ini, amat jelas bahwa puasa bukan sekedar agenda ritual-teosentris, tapi sebuah proses penumbuhan kesadaran antasesama untuk melakukan pembacaan agama dalam perspektif sosial, yakni agama sebagai peneguh prinsip keadilan sosial, bukan sebaliknya.
Pemaknaan seperti ini sejalan dengan misi profetik para Nabi, yaitu pembebasan manusia dari segala bentuk kejumudan. Dalam sejarah kenabian, para Nabi tidak pernah melakukan gerakan pembebasan atas pertimbangan agama atau suku, akan tetapi atas dasar keadilan sosial yang terpateri kuat dalam nilai-nilai kemanusiaan.
Ironisnya, hingga kini nilai-nilai keadilan dan solidaritas sosial di negeri ini kian langkadanpudar. Masih banyak umat Islam yang berpuasa, tetapi perilaku hidupnya jauh dari “berpuasa”. Korupsi masih marak, jual beli perkara kian banyak, kemiskinan dan kelaparan menjamur di tengah perut bumi yang makmur, tanpa ada kemampuan dari umat Islam yang mayoritas untuk mengatasinya secara masif, efektif, dan solutif.
Banalisasi perilaku umat juga tak surut di tengah perintah kesederhanaan puasa. Lihat saja peningkatan angka konsumsi mayoritas rumah tangga selama bulan puasa. Ucapan “selamat menunaikan ibadah puasa” tampaknya dijawab kompak oleh para ibu rumah tangga dengan “menaikkan kuantitas menu makanan” selama bulan puasa.
Kita menjadi semakin boros dan konsumtif, meski kita hanya dua kali makan, sekadar buka dan sahur. Luruhnya etos kerja atas nama puasa juga terasa. Secara resmi, banyak kantor dan instansi pemerintahan yang mengurangi jam kerja atas nama bulan puasa.
Di layar kaca, televisi kita seolah-olah pun menjelma menjadi media religius. Semua media televisidan mediasosial kompak menayangkan acara berbalut agama. Namun, apabila kita cermati, ruh kapitalismelah (baca: iklan komersial) yang sesungguhnya tengah berpesta. Di altar televisi, pesan puasa mengalami reduksi, yakni ajang komodifikasi dan komersialisasi.
Kelanjutan dari “fikih” hidup konsumtif, membuat kita berlaku “ria” (berlebihan) dalam mempersiapkan Lebaran. Atas nama gemerlap berlebaran, kita galau alias tidak “pede” jika tidakak punya baju baru, sepatu baru, mobil baru, bahkan HP ataugadget baru.
Tidaksedikit kelas menengah-atas lebih happy “tarawih” di mal, “tadarus” sambil shoping, “tahajud” bersama midnight sale, atau menunggu saat berbuka dengan “ngabuburit” di pusat-pusat perbelanjaan ketimbang membaca Alquran atau itikaf di masjid.
Terkadang, sebagian kita bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan rupiah. Tengoklah kenaikan angka kriminalitas bermotif ekonomi (money driven crime) yang biasanya masif terjadi pada bulan-bulan menjelang Lebaran. Pencurian, perampokan, penjambretan, penodongan, dan street crime cenderung meninggi di bulan puasa.
Pantas jika ulama Islam terkemuka, KH Salahuddin Wahid, bertanya: apakah masyarakat kita telah menjalani puasa dengan ikhlas dan benar? Apakah kita mampu menahan rasa lapar seperti seharusnya, sehingga tidak melampiaskan nafsu kita ketika puasa berakhir?
Sejatinya Puasa
Sejatinya puasa menjadi media penggemblengan moral, mental, dan sikap dari setiap pribadi muslim agar terasah kepekaan, toleransi, dan solidaritas sosialnya. Puasa sejatinya bisa menuntun kita untuk merekonstruksi pesan ruhaniyah puasa sebagai jalan untuk mengatasi problem krusial berbangsa kita.
Problem kemiskinan, seperti terungkap dalam statistik angka anak jalanan, busung lapar, buta huruf, putus sekolah, angka kematian bayi dan ibu melahirkan; termasuk meningginya kasus penggusuran, intensitas kekerasan, dan lain-lain
Sebagai bangsa dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, kita sepertinya belum mampu menangkap pesan esoteris puasa: keikhlasan, kesederhanaan, dan kecerdasan untuk membuat puasa bicara dan memberi solusi. Tanpa komitmen dan kecerdasan itu, puasa bisa dipastikan puasa hanya akan menjadi ritual ibadah rutin tahunan.