Jumat, Juni 13, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Rumus Tiga H (Halal, Haram, Hantam)

by matabanua
7 April 2022
in Opini
0
D:\Data\April 2022\0804\8\8\penadi kurniawan.jpg
Oleh : Penadi Kurniawan ,Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Ilmu Sosial UNP dan Member JCI (Junior Chamber International) West Sumatera

Pemerintah resmi memberlakukan kewajiban bersertifikat halal atas seluruh produk yang beredar di Indonesia mulai 17 Oktober. Kewajiban diterapkan untuk melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pemerintah konteks ini adalah Kementrian Agama yang mengatur agar setiap produsen berupa barang, produknya harus memiliki sertifikasi halal.

Kemudian dalam pelaksanaannya terjadi Penggantian label dilandasi oleh Peraturan Pemerintah (PP) RI No 39 Tahun 2021 tentang Jaminan Produk Halal. Tepatnya pasal 90 yang mengamanatkan label halal dialihkan dari MUI kepada suatu badan dalam Kemenag yakni BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) bunyi dari peraturan itu sebagai berikut:

Artikel Lainnya

D:\2025\Juni 2025\13 Juni 2025\8\master opini.jpg

Pemenuhan Bertahap Pendidikan Gratis

12 Juni 2025
Beras 5 Kg Tak Sesuai Takaran

AI Tidak Dapat Dibendung, Maka Manusialah yang Harus Dipersiapkan

12 Juni 2025
Load More

“Logo dalam Label Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) huruf a merupakan wujud keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh BPJPH.”

Kementrian Agama (Kemenag) mengganti bentuk lebel halal dengan corak artefak budaya sedikit kewayangan. Perubahan itu dianggap mencerminkan ciri khas Halal ke indonesiaan dalam artian mengandung nilai filosofis adaptasi dari nilai keindonesiaan seperti bentuk gunung lancip dan wayang kulit.

Logo halal milik MUI yang di ambil alih kemenag. Pada tataran bentuk tidak lebih baik, pada nilai tidak lebih bernilai, pada estetika (keindahan) tidak lebih estetis, pada ranah logika juga tidak masuk diakal. Untuk mengurai permasalahn ini perlu kita telisik lebih lanjut dalam sebuah pernyataan yang diutarakan Albert Enstein “ Pertanyaan lebih penting dari jawaban, jawaban itu akan selalu ada di dunia ini kalau kita mau bertanya, kita tidak akan menemukan apa-apa kalau kita tidak pernah bertanya”. Pertanyaan yang dimaksud tentunya pertanyaan yang rasional, riil, dan material sederhananya adalah ilmiah.

Selanjutnya, pertanyaan pula memiliki tingkatan yang akan menentukan tingkatan jawaban yang diterima, kalau pertanyaan kecil maka jawabannya kecil dan kebalikannya besar pertanyaan besar pula jawaban, kalau pertanyaan itu destruktif (merusak) jawabannya merusak pula, dan jika pertanyaannya besar dan membangun (konstruktif), bertemu pula jawaban yang besar dan membangun.

Atas pertimbangan diatas kita coba untuk membangun pertanyaan yang bersifat besar dan konstruktif untuk memecahkan permasalahan yang rumit dan destruktif yang banyak terjadi di negara tercinta ini. Membangun pertanyaan besar dan konstruktif melalui prepared mind (pikiran yang siap), sebuah tingkatan berfikir yang dibangun diatas pondasi pendidikan, latihan dan pengalaman lingkungan yang kita alami.

Mari kita Urai menggunakan kosep tersebut. Mengapa mesti dari MUI ke kemenag dialihkan? Mengapa mesti diganti ? apa urgensinya? Banyak produk di pasaran tidak berlebel halal, apakah setiap produk yang tidak terjamah lebel halal dinyatakan tidak halal? Sampai pada pertanyaan, apa dasar pemikiran sehingga setiap produk mesti dilebel halalkan?

Disini poinnya apabila kita berani berpikir kembali lebih dalam, mengapa harus dibuat logo halal padahal secara usul fiqih “segala sesuatu di dunia itu halal sebelum ada dalil yang melarang” maka betabrakan perbuatan membuat logo halal dengan usul fiqih itu yang membuat segala sesuatu harus ada lebel halalnya, sehingga menyusahkan manusia dengan pekerjaan yang tidak kepalang banyaknya. Maksudnya pemangku kepentingan dalam hal ini MUI atau Kemenag harus bekerja keras memberi cap halal di setiap benda di dunia ini agar umat muslim bisa terhindar dari yang haram, bukankah hal itu terdengar seperti pekerjaan menghitung biji beras di dalam gudang bulog?

Bagaimana jika sederhanakan pemikiran ini dengan logika; apabila label yang dibuat adalah lebel haram saja, contoh kemasan yang mengandung daging babi di buat lebel haram, bukankah lebih menyederhanakan pekerjaan pemerintah terutama MUI dan Kemenag?

Dasar pemikiran usul fiqih di atas dan pemikiran dalam tulisan ini adalah prinsip yang terkandung di dalam Al-Quran sebagai pedoman bagi umat muslim, bahwa Al-Quran dalam kalimat yang tertulis di dalamnya hanya mencantumkan apa yang dilarang untuk setiap urusan duniawi, maka Al-Quran dapat dijadikan satu buah mushaf yang berisi 30 juz. Membayangkan apabila Al-Quran berisi semua hal duniawi yang di halalkan sudah dipastikan Al-Quran tidak akan kurang dari 1000 juz.

Konteks perbincangan ini nampak jelas bahwa ada hal yang sangat janggal dari apa yang diperbuat oleh MUI dan Kemenag, pekerjaan melabeli halal itu terkesan menyulitkan diri sendiri dan umat islam. Dalam kegiatan mendalami kasus dan mencari kenapa bisa demikian, maka yang perlu kita lihat adalah siapa yang diuntungkan, agaknya bukanlah umat islam yang di untungkan dari pelebelan halal ini melainkan lembaga pemberi lebel itu yang teramat di untungkan dengan banyaknya pekerjaan. Berapa produk yang perlu diluluskan kehalalannya tentu kita pikir pelabelan itu tidak “gratis” dan tidaklah mudah sehingga membuka peluang terjadinya rasuah yang masif. Mohon maaf, kalau saya sebut pelebelan halal itu “bisnis penunggang syariat Islam”.

Secara historis (sejarah), kita pinjam pepatah lama berbunyi;”biarkan waktu yang bicara”, Sejak pertama Islam mengudara di muka bumi tidak ada satupun diantara pemerintahan khalifah Islam membuat lebel halal untuk setiap urusan duniawi, yang ada hanya menetapkan apa-apa saja yang haram dan dilarang di kekhalifahan itu. Bagitupun di masa kesultanan Islam Nusantara tidak satupun ditemukan bukti keras bahwa kesultanan dari samudera pasai, malaka, demak, goa, bahkan ternate-tidore membuat label halal untuk setiap produk yang masuk, melainkan menandai apa saja yang terlarang untuk umat muslim. Bahkan di masa orde lama dan orde baru pun demikian dengan pengaturan kewajiban baru diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 280 Tahun 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang mengandung Bahan Berasal dari Babi. Dalam peraturan tersebut, Menteri Kesehatan GA Siwabessy yang sebenarnya beragama Kristen mengharuskan semua makanan dan minuman mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan “mengandung babi” dan diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih.baru di akhir orde baru dan masa sekarang setiap orang sibuk melabeli halal produk mereka. Apakah nanti perlu pula pelabelan “tayyiban” karena selain halal dalam islam ada derajat satu lagi di atas halal yakni “halalan tayyiban” atau halal dan baik. Jadi ada dua proyek untuk pemangku kepentingan nanti yaitu proyek pelabelan halal dan pelabelan tayyiban.

Konklusi dari semua pemaparan di atas, baik secara keagaaman, akal sehat, dan sejarah menunjukkan ada sebuah kejanggalan dari kebijakan pelabelan halal ini. Agaknya kita perlu berpikir ulang mengenai teknis halal-haram untuk sebuah produk, sebagai barang duniawi dengan kita umat muslim berpandangan asal segalanya boleh sebelum ada dalil yang melarang.

Akhir kata, sebagai kutipan: “Telah diciptakan manusia supaya sifat rohaniah memasuki jasmaninya; dan kini sifat jasmaniah merasuki hingga ke dalam rohnya”

Tags: BPJPHKader Himpunan Mahasiswa IslammuiPenadi Kurniawan
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA