Trimester awal tahun 2022, kita dikejutkan dengan peristiwa di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah yakni Kanti Utami, seorang ibu muda yang menjadi pembicaraan hangat di masyarakat sebab tega “menghilangkan” dan menganiaya ketiga buah hatinya, dua di antaranya menderita luka amat serius sedangkan satu tewas di tempat. Berdasarkan video yang beredar di media sosial, terucap alasan mengapa dirinya menghilangkan nyawa buah hatinya. Ada kekhawatiran terhadap anak-anaknya akan menderita di lingkungan tempat tinggalnya sehingga Kanti memilih untuk menghilangkan nyawa buah hatinya agar tidak mengalami kesedihan serta penderitaan yang dideritanya sedari kecil.
Melansir berbagai sumber, kasus Kanti ini dilatarbelakangi himpitan ekonomi dan ditambah pula kondisi traumatis psikologi yang menjadi penyebab utama peristiwa tragis ini. Menurut psikolog Irna Minauli yang dikutip dari Harian Indozone mengatakan bahwa:
“Ibu yang kurang mendapatkan dukungan sosial atau bantuan dari suami dan keluarga besarnya lebih rentan mengalami depresi karena mereka seri merasa kewalahan karena harus menanggung semua kerepotan seorang diri.”
Bila diperhatikan dengan seksama pada kasus Kanti ini begitu tampak adanya keputusasaan dan kemarahan amat besar dari pelaku yang juga seorang istri dan ibu kandung tiga anak tersebut. Peristiwa ini memberi tamparan keras terhadap rasa kemanusiaan kita selaku makhluk sosial, oleh karena itu, pada tulisan kali ini penulis ingin mengutarakan kepada pembaca untuk menjadi Pelopor dan Pelapor dalam Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak.
Perempuan
Masih belum bisa terelakkan, walaupun saat ini telah memasuki peradaban abad 21 era globalisasi dan beragam berkembangnya penegakan Hak Asasi Manusia akan tetapi menyangkut stigmatisasi terhadap seksualitas perempuan tampaknya masih kuat berakar dalam budaya masyarakat. Kacamata yang dikenakan masyarakat acapkali kacamata yang dikotomis sehingga pada akhirnya membuat perempuan tidak mudah untuk mengakses hak-haknya, baik ketika masyarakat maupun aparat memosisikanya sebagai korban kejahatan.
Dalam kasus kekerasan, baik yang terjadi di rumah tangga maupun dalam masyarakat, misalnya penganiayaan fisik atau seksual seperti pemerkosaan, perempuan selaku korban, sedari awal telah dicurigai bahwa ia sedikit banyaknya turut berkontribusi terhadap kejadian yang telah menimpanya atau dikenal dengan istilah victim participating.
Lebih lanjut lagi, masih ada pandangan masyarakat yang menempatkan perempuan rendah, sebab dianggap kodratnya sebagai makhluk lemah lembut, perasa, sabar dan lain-lain. Akibatnya, ketika perempuan kebetulan berada di posisi sebagai pelaku kejahatan maka penghakiman sedari awal telah berlangsung. Komentar penghakiman yang disampaikan seperti “dasar perempuan sadis sampai tak punya nurani membunuh suaminya sendiri”, atau “kok bisa-bisanya membunuh buah hatinya sendiri..” komentar-komentar ini kerap muncul tanpa mempertimbangkan konteks latar belakang, yang ternyata setelah diselami begitu kompleks dan rumit dari yang diperkirakan.
Anak
Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akan menggantikan generasi tua dalam meneruskan roda kehidupan negara, dengan demikian anak perlu dibina dengan baik agar mereka tidak keliru dalam kehidupannya kelak. Anak dalam masyarakat merupakan pembawa kebahagiaan, hal ini dapat dibuktikan dalam setiap upacara perkawinan, terdapat doa restu dan harapan semoga kedua insan atau kedua mempelai dikaruniai anak.
Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja baik individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah sekalipun baik secara langsung maupun tidak langsung. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan negara, setiap anak perlu mendapat perlindungan dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, maupun sosial.
Untuk itu, perlu dilakukan upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa adanya perlakuan diskriminatif. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan atau perbuatan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Dalam hal menjamin seorang anak agar kehidupannya bisa berjalan dengan normal, maka negara telah memberikan payung hukum yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
Perempuan dan Anak yang Rawan
Muncul pertanyaan yang terlintas dalam benak pikiran, ada apa dengan perempuan dan anak masuk kategori rawan? Disebut rawan adalah dikarenakan kedudukan perempuan dan anak yang dapat dikatakan kurang menguntungkan. Perempuan dan anak yang rawan merupakan perempuan dan anak yang memiliki risiko besar untuk mengalami gangguan atau masalah dalam perkembangannya, entah secara psikologis (mental), sosial maupun fisik.
Dalam Catatan Tahunan 2022 Komnas Perempuan jumlah perempuan korban kekerasan tahun 2021 berjumlah 338.496 kasus dan jumlah anak korban kekerasan sebagaimana disampaikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 14.517 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2021. Dari jumlah itu, hampir setengahnya merupakan kekerasan seksual.
Menjadi Pelopor dan Pelapor dalam Perlindungan Perempuan dan Anak
Berkaca dari peristiwa tragis di Brebes, Jawa Tengah yang memberi pukulan telak rasa kemanusiaan kita. Mari kita ber-muhasabah kembali untuk menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya.
Dalam terwujudnya atau tercapainya perlindungan terhadap perempuan dan anak diperlukan adanya aktor yang mengambil peran sebagai Pelopor dan Pelapor. Pelopor dimaksudkan ialah bagaimana tiap individu dapat memulai aksi atau berkontribusi positif dan sebagai agen perubahan dalam masyarakat, misalnya turut menyuarakan terkait hak-hak perempuan dan anak di lingkungan sekitar maupun di sosial media. Sementara sebagai Pelapor, masyarakat diharapkan dapat bersinergi dalam melaporkan segala hal yang berkaitan dengan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak di lingkungan sekitar melalui berbagai macam saluran yang telah disediakan oleh negara.
Salah satu saluran yang disediakan oleh negara dalam memberikan perlindungan perempuan dan anak di Indonesia sebagaimana telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 4 tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak.
Unit Pelaksana Teknis daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) merupakan usaha dan upaya pemerintah dalam memberikan layanan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Setiap provinsi maupun kabupaten/kota diwajibkan untuk memiliki unit ini. UPTD PPA memiliki tugas untuk memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami masalah kekerasan,, diskriminasi, perlindungan khusus, dan masalah lainnya. Adapun fungsi UPTD PPA adalah menyelenggarakan layanan:
a.Pengaduan Masyarakat;
b.Penjangkauan Korban;
c.Pengelolaan Kasus;
d.Penampungan Sementara;
e.Mediasi; dan
f.Pendampingan Korban (Kesehatan, Hukum dan Psikolog).
Untuk dapat menjangkau perempuan dan anak yang menjadi korban, silakan melaporkan ke Hotline Kemenppa SAPA 129 dan Hotline Kominfo 112, tidak perlu khawatir sebab ini tidak memerlukan pulsa dan siap sedia 24 jam. Dan informasi berikutnya adalah segala layanan yang disediakan di UPTD PPA tidak memungut biaya sepeser pun sehingga masyarakat tidak perlu khawatir untuk melaporkan peristiwa yang terdapat indikasi kekerasan terhadap perempuan dan anak dan informasi akan terjaga baik pelapor maupun korban.
Dalam menutup tulisan ini , penulis tentu berharap kepada pembaca untuk berkolaborasi untuk bersama-sama dalam mengambil peran sebagai Pelopor dan Pelapor dalam perlindungan terhadap Perempuan dan Anak.