
Persoalan wakaf dan perwakafan dalam tradisi masyarakat mungkin tidak asing lagi terdengar di telinga. Sebab tradisi perwakafan ini sudah menggejala, atau bahkan melembaga sepanjang sejarah umat manusia, khususnya umat Islam.
Tidak bisa dipungkiri bahwa wakaf memiliki kontribusi besar bagi berbagai bidang kehidupan. Besarnya peran wakaf secara lebih spesifik sangat terasa bagi perjalanan perkembangan Islam. Berbagai instititusi yang merupakan sarana pengembangan dan pembangunan peradaban Islam seperti tempat ibadah, lembaga pendidikan, kesehatan dan sosial yang dikelola oleh umat Islam sebagai implementasi ajaran Islam sulit dibayangkan dapat tersebar tanpa wakaf. Sedemikian besarnya peran wakaf, sehingga sulit untuk menggambarkan Islam tanpa wakaf.
Di Indonesia peran wakaf tidak jauh dari gambaran di atas. Namun muncul berbagai kritik yang perlu diperhatikan demi pengembangan pengelolaan wakaf di masa depan. Misalnya banyak praktek wakaf yang bersifat konsumtif. Terlebih dalam pengelolaan wakaf tanah. Artinya wakaf tidak menghasilkan keuntungan secara ekonomi, namun justru memerlukan biaya untuk keberlangsungannya. Wujud wakaf-wakaf tersebut misalnya masjid, pondok pesantren, madrasah, panti asuhan, kuburan, rumah sakit dan sebagainya.
Selama ini praktik perwakafan tidak jarang dilakukan dengan cara-cara konvensional yang dalam praktiknya rentan bagi timbulnya persoalan, bahkan terkadang harus berakhir di pengadilan lantaran adanya perbedaan persepsi dan sengketa dalam perwakafan. Kondisi ini diperparah dengan maraknya indikasi yang mengarah pada praktik penyimpangan dalam pengelolaan benda-benda wakaf dan tidak sedikit pula harta wakaf hilang bahkan menjadi hak milik seseorang yang dipercaya untuk mengelola.
Ironinya lagi wakaf oleh sebagian orang dianggap sebagai aset yang sangat menguntungkan untuk kepentingan pribadi atau bahkan dianggap aset yang bisa diperjual belikan yang manfaatnya hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang saja. Kondisi terakhir ini jelas sangat bertentangan dengan tujuan dan fungsi wakaf yang diatur dalam Pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Pertentangan ini akan berdampak buruk bagi tradisi wakaf juga akan menodai nilai-nilai luhur agama Islam yang mengkategorikan wakaf sebagai bentuk ketaaatan manusia kepada sang pencipta juga sebagai salah satu sarana untuk memajukan kesejahteraan umum.
Sebenarnya, wakaf yang diajarkan oleh agama Islam selain mempunyai sandaran ideologi yang kuat dalam hal ketauhidan, yaitu segala sesuatu yang bertumpu pada keesaan Allah. Selain itu, juga mengajarkan manusia untuk mewujudkan keadilan sosial.
Islam melarang dalam hal penguasaan harta kekayaan baik yang telah dimiliki secara perorangan maupun lembaga tanpa memperhatikan aspek sosial, karena pada dasarnya di dalam harta yang dimiliki terkandung hak orang lain juga, sehingga prinsip pemilikan harta dalam Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang.
Sebagai salah satu instrumen keagamaan bernilai ekonomis dan berdimensi sosial, perwakafan tanah merupakan konsekuensi logis dalam sistem pemilikan dalam Islam. Pemilikan harta benda dalam Islam harus disertai dengan pertanggungjawaban moral. Semua yang ada di langit dan di bumi ini adalah milik Allah. Pemilikan manusia atas harta benda merupakan amanah atau titipan belaka. Hal tersebut sebagaimana sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 103: “Ambillah dari sebagian harta mereka sedekah (zakat), guna membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Di Indonesia, praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf masih bersifat konvensional atau lebih dikenal sistem kepercayaan, masyarakat hanya menyerahkan kepada tokoh masyarakat atau orang yang kredibel dan mampu untuk mengelola wakaf dengan sistem kepercayaan atau di bawah tangan. Faktor kepercayaan dan rasa ta’dzim terhadap orang yang ditokohkan menjadi proses peralihan dari tanah yang tadinya berstatus hak milik menjadi tanah wakaf.
Praktik semacam ini tentunya sangat rentan terhadap risiko yang akan dihadapi oleh masyarakat, karena faktor legalitas tanah wakaf hanya di bawah tangan dan hanya berdasarkan kepercayaan saja. Sehingga dalam berbagai kasus harta wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, beralih fungsi, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian sangatlah merugikan masyarakat, karena harta wakaf tidak akan berjalan sebagaimana mestinya dan tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan fungsinya.
Harta wakaf pada prinsipnya adalah milik umat dan manfaatnya akan dikembalikan kepada umat. Idealnya, keberadaan, pengelolaan dan pengembangan harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat. Keberhasilan pengelolaan wakaf tidak semata-mata ditentukan oleh banyaknya wakaf yang dikelola, melainkan sejauh mana pengelolaan dan pemberdayaan wakaf akan memberikan nilai tambah bagi pengembangan kegiatan produktif maupun untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang bersumber dari kesenjangan ekonomi.
Dengan demikian, keberadaan lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian negara-negara Islam seperti di negara Arab Saudi. Di negara ini wakaf ada beberapa macam, ada yang berbentuk bangunan fisik yang peruntukannya untuk tempat ibadah. Selain itu ada juga wakaf yang peruntukannya untuk pemeliharaan dan pembangunan Masjidil Haram di kota Makah dan masjid Nabawi di Madinah, bangunan penginapan jamah haji berupa bangunan seperti hotel serta ada juga yang peruntukannya untuk kesejahteraan masyarakat seperti pembangunan rumah untuk penduduk.
Di Indonesia, masalah pengurusan dan pengelolaan wakaf masih terkesan lamban, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam dan menempati rangking pertama dari populasi umat Islam dunia. Implikasi dari kelambanan ini menyebabkan banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus dan bahkan masih ada yang belum dimanfaatkan. Di sinilah peran semua elemen baik masyarakat maupun pemerintah agar wakaf bisa berkembang.
Terlebih saat situasi seperti sekarang ini, pandemi Covid-19 telah merubah segala bentuk kenormalan hidup yang dialami oleh seluruh umat manusia yang sudah hampir satu setengah tahun lebih. Segala aspek kehidupan umat manusia di serang oleh Covid-19 bahkan membuatnya menjadi lumpuh. Tidak hanya itu, keadaan semakin diperparah dengan situasi perekonomian yang tidak stabil berbagai negara di dunia Apalagi di Indonesia yang hampir mengalami krisis dalam mencukupi kebutuhan nasional selama pandemi.
Untuk itu, pemanfaatan harta wakaf secara produktif merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk membantu memulihkan, bahkan tidak mungkin untuk membuat normal kembali perekonomian nasional. Optimisme ini tentu memiliki alasan yang kuat, melihat banyaknya harta wakaf di Indonesia yang belum terkelola dengan baik selama ini dan hanya dibiarkan saja tidak terurus.
Tentu hal ini dapat menjadi kerugian sendiri oleh negara Indonesia jika pengelolaan harta wakaf tidak dioptimalkan. Mengingat potensi yang dijanjikan oleh harta wakaf jika dikelola dengan baik sangatlah besar. Apabila harta wajaf dikelola secara produktif tentu akan menjanjikan perekonomian yang lebih baik terlebih di masa pandemi Covid-19 yang masih terjadi saat ini.
Solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengoptimalkan pengelolaan dan fungsi sosial wakaf yang akan menjadikan wakaf lebih produktif. Salah satu wujud atau bentuk produktifitas wakaf adalah dengan memberdayakan wakaf tunai sebagai problem solving yang tepat, apalagi dalam kondisi masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan langsung dibandingkan wakaf tanah yang hasilnya tidak jelas.
Sulitnya lapangan kerja menjadikan sulitnya masyarakat mengatasi masalah perekonomian. Sehingga mereka memerlukan uluran bantuan modal untuk menciptakan atau mengembangkan usahanya. Di sinilah lembaga-lembaga wakaf seharusnya lebih tanggap terhadap permasalahan masyarakat dalam bidang ekonomi.
Mereka sudah sepatutnya berpikir tentang wakaf yang lebih berguna dan dirasakan sangat membantu dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Dan wakaf tunai atau uang ternyata sangat bermanfaat dalam kondisi yang seperti sekarang ini, karena wakaf uang ternyata tidak hanya sekedar mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun juga mampu menciptakan pemerataan pendapatan, terutama bagi masyarakat yang semula tidak memiliki peluang usaha menjadi memiliki peluang usaha dan bagi masyarakat yang semula tidak memiliki pendapatan menjadi memiliki pendapatan.
Dengan demikian sudah seharusnya pengelola wakaf harus lebih berani berinovasi jangan hanya terpaku dengan harta yang ada. Melainkan membuat terobosan baru di bidang wakaf yaitu dengan mengelola wakaf lebih produktif salah satunya dengan pengembangan wakaf tunai atau uang, apalagi di masa pandemi saat sekarang ini yang tentunya manfaat wakaf harusnya dapat dinikmati oleh seluruh kalangan di masyarakat.