
Dalam negara demokrasi kebebasan menyampaikan pendapat, aspirasi ataupun kritik terhadap suatu kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak merupakan suatu fenomena yang lumrah dan biasa untuk dilakukan. Bukan tanpa alasan, mengingat secara konseptual saja, demokrasi selalu mengedepankan kesepakatan bersama demi terwujudnya kesejahteraan secara bersama pula.
Tidak hanya itu, kebebasan berpendapat dalam negara demokrasi sebenarnya juga telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tertinggi setingkat kontistusi. Karena, kebebasan dalam menyampaikan pendapat merupakan hak asasi yang wajib dihargai oleh setiap tingkatan kelompok kehidupan, mulai dari yang paling kecil semisal keluarga, lingkungan masyarakat, bahkan dalam lingkup bangsa dan negara sekalipun wajib menghargai kebebasan berpendapat.
Tentu kita semua sepakat bahwa kebebasan berpendapat yang dimaksudkan adalah kebebasan yang memiliki batasan dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, pembatasan yang diberikan haruslah bersifat rasional dan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam konstitusi, dan yang sangat fundamental adalah tidak untuk menutup pintu kritik atas kebijakan penguasa pemerintahan sebagai ujung tombak pemutus setiap kebijakan.
Di Indonesia sendiri kebebasan berpendapat telah diatur dalam telah diatur dalam kontitusi sejak awal ditetapkannya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditetapkan sebagai konstitusi resmi negara Indonesia. Sebut saja dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat.” Hal ini bermakna sejak awal pengakuan kebebasan tersebut, memiliki sejarah yang sama dengan lahirnya negara Indonesia.
Tidak sampai disitu, dalam Pasal 28F UUD 1945 kembali ditegaskan bahwa “Setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Melihat begitu konkritnya konstitusi mengatur tentang kebebasan warga negara dalam menyampaikan pendapat, merupakan pedoman yang seharusnya dapat dimengerti bersama oleh segala elemen dalam kehidupan bernegara. Akan tetapi, melihat fenomena saat sekarang ini dimana banyaknya pengkritik yang seakan dibungkam untuk berbicara bahkan dikriminalisasi. Lantas apakah jaminan dalam menyampaikan pendapat ataupun kritik khususnya kepada pemerintah masih terasa relevan untuk dilindungi lewat konstitusi?
Jika kita melihat pada fenomena kehidupan bernegara di Indonesia, nampaknya kebebasan dalam menyampaikan pendapat ataupun kritik tidak lagi mendapatkan porsi yang utuh. Apalagi pada zaman yang serba digital seperti sekarang, ketika seseorang berbicara tentang keresahannya terhadap suatu kebijakan di media sosial, bisa saja karena tindakan tersebut membuat dirinya berujung pamanggilan dari atasan, penegak hukum, bahkan tak jarang yang berujung jeruji besi.
Banyak saat sekarang ini kita jumpai di media, orang-orang yang menyampaikan kritik berujung dengan penahanan. Sebut saja kasus Prita Mulyasari yang dilaporkan pihak Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera tahun 2009, kasus Benny Handoko akibat serangkaian perdebatan panas dengan sejumlah akun di media sosial Twitter, Buni Yani yang dipidana karena dugaan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian yang berbau Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA), serta yang terbaru adalah pemanggilan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia Leon Alvinda Putra oleh pihak rektorat lantaran mengunggah postingan yang mengkritik Presiden Joko Widodo.
Tentu kita miris melihat kejadian seperti ini, disaat aturan mengenai kebebasan berpendapat banyak dikeluarkan, seakan itu menjadi bumerang yang kapan saja siap berbalik kepada rakyat yang memberikan kritik. Pemerintah mulai menampakkan sikap anti-kritik yang dapat dikatakan jauh dari nilai-nilai demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Sikap yang seperti ini harusnya segera dihentikan demi terciptanya lingkungan yang bebas menyampaikan pendapat atau kritik. Dengan demikian Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 benar-benar terealisasi dalam kehidupan bernegara.
Belum lagi, pernyataan Presiden Joko Widodo saat peluncuran laporan tahunan Ombudsman Republik Indonesia beberapa waktu lalu yang ramai jadi perbincangan beberapa waktu belakangan. Jokowi meminta rakyat untuk aktif mengkritik pemerintah demi perbaikan layanan publik. Seakan selama ini rakyat hanya diam saja dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Padahal hal tersebut tidaklah benar, saat sekarang ini kebanyakan dari masyarakat banyak diam karena kebebasan berpendapat sudah tidak sepenuhnya terjamin lagi. Ini bahkan terlihat begitu kontradiktif.
Selain itu, baru-baru ini pihak kepolisian juga sudah mengenalkan ke publik terkait dengan penggunaan virtual police atau polisi virtual yang bertugas memantau aktivitas di media sosial. Polisi virtual ini akan mengawasi setiap kegiatan masyarakat dalam menggunakan media sosial guna mendeteksi berupa pelanggaran-pelanggaran yang berhubungan dengan undang-undang.
Melihat apa yang diminta oleh Presiden dan gebrakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan polisi virtualnya, dapat dinilai pernyataan masyarakat diminta aktif mengkritik tersebut dinilai kontadiktif dan paradoks. Bagaimana tidak, jika nantinya menyampaikan kritik terhadap pemerintah, malah takutnya nanti akan menjadi sebuah petaka bagi si pengkritik.
Ketakutan dalam menyampaikan kritik bisa jadi juga merupakan imbas adanya pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait dengan pencemaran nama baik. Juga dengan Pasal 45a dan 45b yang banyak menjerat pengguna media sosial terkait penyempaian ujaran kebencian, ancaman kekerasan dan menakut-nakuti dan sejumlah pasal lainnya yang dinilai layaknya pasal karet. Terlebih, ketika aktif dan lantang mengkritik penguasan, rasa takut memuncak memuncak juga dengan adanya Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penghinaan terhadap Penguasa.
Tidak hanya dengan ketakutan yang ditimbulkan oleh beberapa undang-undang yang bersifat karet saja. Kebebasan dalam menyampaikan kritik di negara Indonesia juga dihadang beberapa tantangan besar seperti tindakan represif dari aparat jika terjadi aksi demonstrasi, penggiringan opini publik dan cara yang paling anyar saat sekarang ini yaitu menggunakan buzzer di media sosial.
Tindakan-tindakan diatas dapat dikatakan sudah menciderai kebebasan berpendapat yang sudah dijamin oleh konstitusi negara Indonesia. Mau bagaimanapun juga, yang namanya negara demokrasi tidak bisa jauh-jauh dari kebebasan menyampaikan pendapat ataupun kritik. Sebab hal itulah yang menjadi pembeda telak antara sistem demokrasi dengan sistem-sistem kenegaraan lainnya.
Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah besar yang harus segera diatasi dan dituntut dengan kebijakan yang tidak membuat rakyat menjadi takut dan bingung ketika menyampaikan kritik terhadap kebijakan yang nantinya rakyat juga yang akan menjalani kebijakan tersebut. Pemerintah sebagai penerima kritik harusnya bisa menerima dengan baik apapun kritik yang diberikan oleh rakyat sebagaimana amanat dari konstitusi. Begitu juga dengan rakyat sebagai penyampai kritik, tentu harus lebih memahami bagaimana mekanisme penyampaian kritik secara aktif dan bertanggungjawab.
Pada akhirnya, ketentuan hukum tentang kebebasan dalam menyampaikan pendapat harus dikaji ulang. Hal ini tentu perlu dilakukan agar kenyamanan dan keamanan dalam menyampaikan pendapat dan kritik dalam kehidupan bernegara dapat terjamin. Dengan begitu, kecemasan dan ketakutan akan menyampaikan kritik dalam diri masyarakat tidak akan ada lagi. Sebab, kritik yang bersifat membangun akan sangat diperlukan demi mencapai kemajuan dan kemaslahatan dalam kehidupan bernegara.
Apalagi negara kita Indonesia, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila, merupakan hal yang fundamental jika kebebasan berpendapat dan mengkritik dapat diterapkan dan dinarasikan dengan baik. Terlebih dalam dasar negara Indonesia yakni dalam sila ke-4 yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya keputusan atau kebijakan adalah yang disepakati secara bersama. Jika hal ini tidak segera kita benahi, maka sia-sia sudah demokrasi yang kita anut selama ini.