
Bak petir yang menyambar ke bumi, mungkin itulah penggambaran yang tepat untuk pembuatan RUU Cipta Kerja. Banyak kejanggalan yang mungkin di sadari dari banyak pihak, salah satunya Saat rapat paripurna, tak ada naskah RUU yang dibagikan kepada para peserta rapat yang hadir. Hal itu sangat tidak wajar, mengingat UU Cipta Kerja adalah UU yang sangat disoroti dan sangat ditolak oleh banyak kalangan masyarakat.
“Tidak selembar pun naskah RUU Cipta Kerja ada di meja kami. Harusnya pimpinan DPR memastikan dulu bahwa RUU yang begitu sangat penting dan krusial yang berdampak pada nasib buruh, pekerja, UMKM, lingkungan hidup dan lain-lain, sudah ada di tangan seluruh anggota DPR,” tutur Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin. Sungguh Indonesia sekarang sedang gempar gemparnya dengan topik omnibus Law, RUU Cipta kerja yang sedang kisruh, ditolak oleh kalangan buruh dan didemokan oleh para mahasiswa. Sebelumnya saya ragu , apakah masyarakat memahami apa itu Omnibus Law, dan anehnya lagi ada saja yang menyebutnya dengan Melly Goeslaw di sosial media. Berdasarkan riset pribadi saya, hanya 4 dari 10 orang di lingkungan masyarakat yang memahami betul apa itu Omnibus Law. Dari bahasa latin omnibus law yang berarti untuk semuanya. dengan kata lain omnibus Law artinya metode atau konsep perbuatan regulasi yang Menggabungkan beberapa aturannya yang substansi pengaturannya berbeda-beda menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. Dan pada tanggal 5 Oktober 2020 rancangan undang-undang atau RUU omnibus Law Cipta kerja resmi disahkan.
Dan pada pembahasan kali ini saya menyorot kepada Hak otonomi di daerah, terutama masalah upah, RUU Cipta kerja mungkin saja berpotensi mengembalikan kewenangan daerah ke pusat, di dalam draf rancangan undang-undang Cipta kerja menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. RUU Cipta kerja mungkin berpotensi menggerus otonomi daerah dan kewenangan pemda untuk mengatur daerahnya sendiri. berpotensi menggerus otonomi daerah dan kewenangan pemda untuk mengatur daerahnya sendiri , Sementara itu, Pasal 251 versi UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa Perda provinsi hingga Perda kabupaten/kota serta peraturan kepala daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berkenaan dengan upah pada Omnibus Law Merupakan revisi pasal 88 dan 89 dengan menyelipkan poin pasal 88 B:
1. Upah ditetapkan berdasarkan:
a. satuan waktu dan/atau
b. satuan hasil.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Sedangkan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Tidak ada pengaturan terkait upah berdasarkan satuan hasil dan waktu. Jelas di sini sangat merugikan untuk para pekerja atau buruh, mengingat setiap pekerjaan memiliki acuan tersendiri , terlebih beban setiap pekerjaan pastilah bebeda, seperti sektor jasa yang tidak bisa di samakan dengan sektor manufaktur dan masih banyak yang lain , dan yang jelas lebih mengandalkan fisik. Mungkin mengembalikan kewenangan pengambilan keputusan atas pengelolaan kekayaan mulai dari perizinan hingga pembinaan pada tingkat pemerintah pusat, mencederai otonomi daerah sebab bertentangan dengan RUU Omnibus Law. Dan lebihnya lagi pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten atau kota tidak memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya ekonomi sendiri dan cenderung harus menunggu delegasi tugas dari pemerintah pusat. Seharusnya Pemerintah Daerah diberi kekuasaan sepenuhnya memiliki kewanangan dalam tanda kutip masih ada pengawasan dari pusat , sehingga otonomi daerah lebih menjadi hidup. Karena pada dasarnya pemerintahan daerah lah yang memahami dan mengerti keadaan di daerahnya sendiri
Oleh karena banyaknya ketidak sinkronan dalam UU Cipta Kerja yang semestinya menguntungkan pekerja ataupun buruh serta Pemerintah Daerah dalam mengelola atau menghandle jalannya pemerintahan di daerah mereka sendiri. Maka saya cenderung kontra dengan UU Cipta kerja, harapan nya pemerintah atau pihak DPR RI lebih mempertimbangkan dan mengkaji lebih dalam, serta lebih terbuka atau transparan kepada rakyat dalam proses pembuatan undang undang. Demi terciptanya Indonesia sejahtera dan maju kedepannya.