Sabtu, Juli 26, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Dilema Akademik “Ketidakpastian Bimbingan di Balik Tumpukan Skripsi”

by Mata Banua
24 Juli 2025
in Opini
0
D:\2025\Juli 2025\25 Juli 2025\8\8\Yunia Riska.jpg
Yunia Riska (Alumni Mahasiswi Jurusan Pg- PAUD UNP Th. 2024 )

 

Bagi mahasiswa tingkat akhir, skripsi merupakan puncak dari perjalanan akademik yang panjang sekaligus momok yang menakutkan. Di balik tumpukan draft dan revisi, tersimpan berbagai dinamika emosionalmulai dari rasa takut gagal, tekanan ekspektasi keluarga, hingga kebingungan menghadapi dosen pembimbing yang tak kunjung memberikan kejelasan.Seiring waktu yang terus berjalan dan batas masa studi yang semakin dekat, muncul satu dilema yang kerap menghantui benak mahasiswa.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\25 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Gaza Makin Menderita, Penyadaran Umat Harus Segera

24 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\24 Juli 2025\8\master opini.jpg

Kecurangan Beras Premium, Mengapa Regulasi Tak Bergigi

23 Juli 2025
Load More

Apakah keterlambatan menyelesaikan skripsi sepenuhnya merupakan kesalahan mahasiswa, atau justru sistem bimbingan yang tidak pasti dan minim arahan turut andil dalam memperpanjang penderitaan akademik ini?Pertanyaan ini tidak sesederhana kelihatannya. Di dalamnya terselip dinamika relasi kuasa, manajemen waktu, dan kualitas komunikasi antara mahasiswa dan dosen. Terlalu sering kegagalan mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi dikaitkan dengan kelemahan pribadi yang malas, tidak disiplin, atau tidak mampu berpikir kritis. Namun, benarkah itu satu-satunya penyebab?

Memang tak bisa dipungkiri bahwa sebagian mahasiswa terjebak dalam lingkaran prokrastinasi. Ada yang merasa tidak cukup cakap untuk memulai, ada pula yang bingung menentukan topik karena minimnya literasi. Tekanan keluarga, kecemasan akan masa depan, hingga masalah ekonomi kerap kali menjadi beban tambahan yang menggerogoti fokus dan motivasi. Namun, menyederhanakan semua permasalahan ini sebagai “kemalasan” adalah bentuk generalisasi yang tidak adil.

Banyak mahasiswa justru sudah memiliki semangat tinggi, namun terhambat oleh sistem yang kurang suportif.Di sisi lain, bimbingan yang tidak menentu, tidak responsif, atau bahkan tidak ramah menjadi tembok penghalang yang besar. Mahasiswa bisa menunggu berminggu-minggu tanpa kejelasan revisi, atau harus menyusun ulang bab hanya karena selera pembimbing yang berubah-ubah.

Tak sedikit dosen yang sulit ditemui karena disibukkan oleh jabatan struktural atau proyek riset pribadi. Skripsi pun berubah dari proses akademik menjadi pertarungan mentalbukan hanya soal logika dan metodologi, tetapi juga tentang bertahan dalam ketidakpastian.

Ketika sistem akademik menggantungkan masa depan mahasiswa pada satu figur dosen pembimbing tanpa adanya mekanisme akuntabilitas yang jelas, maka ketimpangan pun menjadi tak terhindarkan. Dalam konteks ini, menyelesaikan skripsi bukanlah tanggung jawab sepihak. Dosen pembimbing bukan sekadar pemberi nilai, tetapi seharusnya berperan sebagai mitra intelektual yang membimbing dengan empati dan kejelasan. Sebaliknya, mahasiswa juga perlu membekali diri dengan kesiapan, inisiatif, dan kemampuan komunikasi yang baik.

Lembaga pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan sistem bimbingan yang transparan dan berorientasi pada penyelesaian. Evaluasi rutin terhadap kinerja dosen pembimbing, penyediaan ruang konsultasi akademik tambahan, serta pelatihan manajemen waktu bagi mahasiswa merupakan langkah awal yang penting untuk meningkatkan kesadaran bagi mahasiswa dan dosen. Skripsi seharusnya menjadi ruang tumbuh intelektual, bukan ladang trauma. Jika ingin melahirkan lulusan yang berkualitas, maka relasi bimbingan pun harus dibangun secara manusiawi.Namun, kesadaran saja tidak cukup untuk mendorong perubahan nyata. Dibutuhkan langkah konkret dari berbagai elemen dalam ekosistem pendidikan tinggitidak hanya mahasiswa dan dosen, tetapi juga institusi, birokrasi kampus, bahkan regulasi nasional yang mengatur pendidikan tinggi. Ketika beban skripsi menjadi titik temu dari berbagai tekanan, maka solusinya pun tidak bisa bersifat satu dimensi.Salah satu langkah penting adalah reformasi sistem bimbingan. Perguruan tinggi perlu mendesain ulang pola relasi akademik agar lebih setara dan terstruktur. Misalnya, dengan menetapkan batas waktu maksimal bagi dosen untuk memberikan umpan balik. Jika mahasiswa diwajibkan menyelesaikan revisi dalam waktu tertentu, maka sudah seharusnya dosen juga memiliki tenggat waktu yang serupa. Hal ini tidak hanya memperjelas alur kerja, tetapi juga mendorong tanggung jawab dosen dalam menjalankan fungsi bimbingan.

Digitalisasi proses bimbingan bisa menjadi solusi pendukung. Platform daring yang mencatat seluruh proses bimbingandari pengajuan topik, revisi, hingga komentar dosendapat menjadi alat akuntabilitas yang kuat. Mahasiswa tidak perlu lagi merasa tersesat akibat kehilangan jejak revisi, dan dosen pun dapat meninjau kembali proses sebelumnya secara sistematis. Transparansi ini membuka ruang evaluasi yang lebih objektif terhadap kualitas pembimbingan.Lebih dari itu, pendekatan bimbingan yang berpusat pada mahasiswa perlu diutamakan.

Artinya, dosen pembimbing tidak lagi menjadi sumber otoritas tunggal yang tidak bisa digugat, tetapi berperan sebagai fasilitator yang mendukung mahasiswa dalam menemukan arah danpenelitiannya sendiri. Pendekatan ini menuntut empati, kesabaran, serta kemampuan mendengar dari pihak dosen. Tidak semua mahasiswa datang dengan kesiapan yang sama, dan di situlah pentingnya pendekatan yang adaptif, bukan seragam.

Di sisi mahasiswa, kesadaran akan peran aktif dalam proses bimbingan perlu ditanamkan sejak awal. Mahasiswa harus mengembangkan kemampuan untuk menyampaikan gagasan secara lugas, mengelola waktu dengan bijak, dan membangun komunikasi yang sehat dengan dosen pembimbing.

Meskipun tantangan ini tidak mudah, terutama di tengah budaya akademik yang masih hierarkis, keterampilan tersebut merupakan bekal penting tidak hanya untuk menyelesaikan skripsi, tetapi juga untuk menghadapi dunia kerja dan kehidupan profesional.

Aspek kesehatan mental juga tidak bisa diabaikan. Tekanan akademik yang berlebihan sering kali dibiarkan menggerogoti kondisi psikologis mahasiswa tanpa adanya sistem pendukung yang memadai. Rasa cemas, burnout, hingga depresi bukanlah hal asing dalam proses penulisan skripsi.

Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu menyediakan layanan konseling yang mudah diakses dan membangun lingkungan yang inklusif terhadap isu kesehatan mental. Membiarkan mahasiswa bergulat sendirian dalam ketidakpastian bukan hanya tidak manusiawi, tetapi juga kontraproduktif.

Tak dapat dipungkiri bahwa sebagian dosen pun bekerja di bawah tekanan besar. Beban administratif, tuntutan publikasi, hingga tanggung jawab struktural sering kali menyita waktu dan energi mereka. Di sinilah pentingnya kebijakan institusional yang adil, yang tidak hanya menuntut produktivitas akademik, tetapi juga menghargai kualitas pembimbingan.

Evaluasi kinerja dosen seharusnya tidak semata-mata berdasarkan jumlah publikasi, melainkan juga mencakup dampak langsung terhadap proses dan hasil bimbingan mahasiswa.Dalam kerangka itu, pembentukan unit pendamping skripsi bisa menjadi solusi alternatif.

Unit ini dapat berisi akademisi atau tenaga ahli yang bertugas membantu mahasiswa, baik secara teknis maupun emosional, selama proses penulisan. Mereka bukan pengganti dosen pembimbing, melainkan pelengkap sistem yang membantu mahasiswa keluar dari kebuntuan tanpa rasa takut dihakimi.

Penting pula untuk membangun kultur akademik yang sehat. Budaya saling mendukung antarmahasiswa, diskusi lintas jurusan, serta penghargaan terhadap proses (bukan hanya hasil akhir) dapat menumbuhkan semangat kolektif. Skripsi bukanlah perlombaan untuk lulus tercepat, melainkan proses pembelajaran yang melatih kedewasaan berpikir dan ketekunan menghadapi tantangan.

Ketika skripsi diposisikan sebagai perjalanan intelektual, bukan sekadar syarat administratif, maka tekanannya pun dapat didistribusikan secara lebih adil.Tentu, semua ini memerlukan komitmen jangka panjang. Reformasi sistem tidak bisa dilakukan dalam semalam.

Dibutuhkan kemauan politik dari pimpinan kampus, keberanian mahasiswa untuk menyuarakan pengalaman mereka, dan kesediaan dosen untuk merefleksikan peran mereka secara jujur. Perubahan dapat dimulai dari langkah-langkah kecil seperti forum evaluasi terbuka, survei kepuasan terhadap bimbingan, hingga pelatihan komunikasi dosen dan mahasiswa. Semua ini merupakan bagian dari transformasi yang lebih besar.

Pada akhirnya, skripsi bukan sekadar soal kelulusan. Ia mencerminkan bagaimana sistem pendidikan memperlakukan para pesertanya. Jika kita ingin menciptakan lulusan yang tangguh, berpikir kritis, dan siap berdialog dengan realitas, maka proses skripsi harus mencerminkan nilai-nilai tersebut.

Skripsi bukan hukuman atau beban tak berujung, melainkan kesempatan untuk tumbuh dan membuktikan diridengan integritas dan dukungan yang layak.Sebab menyalahkan mahasiswa semata tidak akan menyelesaikan masalah, begitu pula membenarkan sistem tanpa kritik. Kita harus mulai melihat skripsi sebagai kerja bersama antara mahasiswa, dosen, dan institusi.

Hanya dalam kerja bersama itulah ruang yang manusiawi bisa tumbuh bagi mahasiswa untuk berkembang. Jika skripsi adalah gerbang akhir menuju dunia profesional, maka biarkan itu menjadi gerbang yang membebaskan, bukan yang memenjarakan.

 

ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA